Duka di Bawah Langit Diplomasi
Menari-nari di atas mimbar demokrasi,
Mendongengkan kemerdekaan ini,
melawan ilusi dengan harmonisasi,
Mereka senang sekali,
Hingga menjadi kiri,
Air matanya deras menyebar dalam kata,
Atas ketidakadilan yang mereka rasa,
Ketidakadilan yang memaksanya,
bercumbu dengan kekerasan negara,
Rupanya bahagia menjelma duka.
Duka atas pengakuan,
Duka atas cinta yang tak terbalaskan,
Duka atas cemoohan kekalahan.
Dan ternyata bukan Kemerdekaan,
apa lagi kemenangan,
Ia hadir bukan karena pengakuan
yang terus dirawat oleh sejarawan.
Kemerdekaan itu kini tinggal pengakuan,
Di balik euforia perayaan
terdengar jeritan,
Di bawah atap dunia anak Kuliahan,
yang di bungkam oleh kekerasan.
Dan untuk kesekian kalinya kita kembali,
berdesakan merayakan ilusi,
pengakuan atas resolusi yang usang ini.
Makassar 14 agustus 2018, karya 93rahmathidayat
(Tidak Ada Judul)
Dilehermu, merah putih melingkar
Sebuah ikatan abdi untuk bangsa Indonesia
Kita mahasiswa…
Adalah harapan pertiwi dan nusantara, pejuang tangguh penuh wibawa
Tak kenal lelah, tetap teguh berdiri menenangkan ombak
Yang akan menjadikan tanah air kita tetap menjadi surga
Yang akan menjadikan kita tanah di atas tanah air kita
Bukanlah seragam yang membesarkan kita
Bukan pangkat yang ada dipundak kita
Bukan seorang profesor atau ilmuwan bergelar
Kami, dengan segala keistimewaannya sebagai Mahasiswa
Karya uccynurhidayah
Terimakasihku
Terimakasih, Pak
Hanya itu dapat ku ucap
Sejarah mengenalkanku padamu
Tumpah darah diceritakan dalam buku
Api melambug tinggi tiap sudut kota
Cerita pilu tersusun apik
Demi satu tujuan
Mengibarkan sang saka merah putih
Terimakasih, Bu
Hanya itu dapat ku ucap
Menggendongku di medan perang
Mendekap hingga tangis terhenti
Menenangkan diri untuk tersenyum lembut
Belum dapat ku rekam pilu itu
Namun, kau yakinkanku
Merah putih ‘kan berkibar jaya
Terimakasih, Teman
Bukan sekedar ucapan kali ini
Kenapa?
Tak kutemui lagi pertumpahan darah
Tak kutemui lagi ribuan rumah dibakar
Tak kutemui lagi Ibu memasang senyum semu
Bersama semangat muda lanjutkan perjuangan
Bukan untuk mengibarkan
Tetapi mempertahankan sang merah putih
Yogyakarta, 10 Agustus 2018, karya lucialfreda
Kau dan Senjata
kau miliki beribu laras senjata api
beribu-ribu pasukan tangguh
kami punya segenap lantang suara
kau miliki molotov di gudang-gudang
kau miliki tank berlapis baja
yang siap menerjang lapang jiwa kami
kami punya keberanian tak surut
yang siap melawan di garis depan
kau punya berlapis pengaman di dada
kau punya atasan yang mengintrusi
serangan bertubi-tubi ke arah kami
kami punya doa tiada henti terucap
kau miliki dukungan dari penguasa
kau miliki segala yang mereka penuhi
kami punya kekuatan rakyat jelata
sadarilah, kau yang maha kuasa
serupa Tuhan yang adil, tapi kau tidak
kami yang maha luka, dan kau riang
kau yang melahirkan riuh perang
dan kami merasakan berang,
kau yang mewujudkan anti perdamaian
dan kami yang mencari kedamaian
kau berlindung di selangkangan penguasa
dan kami menjerit di ladang tandus
kau yang merampas hak asisi
dan kami yang mengkritik demokrasi
ketahuilah, demokrasi kita bagai mati suri
telah dilacurkan oleh sebagian pemodal
sebab hari ini kami masih menyaksikan
kau dengan senjata dan keangkuhanmu
bebas membunuh, kehidupan kaum kecil
Bogor, 2018, karya ras_adonara
Pesta
Sebuah pesta tampak begitu riah
Bergairah dengan pameran
Begitu memanjakan mata
Tanah bergetar hentak, alunan musik
Dunia harus tahu
Secerut kebebasan telah kita raih
Ditanah lapang, pasukan berbaris tunaikan pengabdian
Bendera berkibar
Nasionalisme berkobar
Pesta, apa kabar pestaku?
Apakah kebebasan masih dalam genggamanmu?
Harapku tak hanya pameran
Inginku tak hanya sekedar perayaan
Tapi langkah kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan
Ayo Bangkitlah anak negeri, bawalah bangsa ini menuju pesta mulia gemilang.
Medan, 07 Agustus 2018, karya sugitagirsang
Perayaan yang Berbeda
Pada aku merdeka itu.
Laparnya perut pada makanan,
Jauhnya ibu ayah dari dakapan,
Putusnya cinta pada kekasih pujaan.
Habisnya uang dalam bekalan.
Pada mereka merdeka itu.
Tempat kediaman digesel trak,
Harta benda alam serba serbi dirompak,
Tempat habitat dipijak-pijak,
Pohon-pohon dicincang sampai botak,
Tanah lahir diinjak-injak.
Siapakah aku berbanding mereka?
Belasan kalender telah tanggal,
Saat agustus menolak tinggal.
Sang Saka akan dikibarkan,
Dan penghormatan datang bersama senyum yang kembang. “Hiduplah Indonesia Raya”
Lalu hilang.
Aku tak ingin merayakan kehilangan.
Manado, Rabu 8 Agustus 2018, karya firmanrusyaid_
Nafas Republika
Kutukan itu nyata
Nyatanya merdeka itu tak didapat
Rakyatku menjerit
Dengan fakta dolar yang melejit
Tak ada yang lebih duka,
Dari pada jasad dibalik nisan
Yang mengacungkan seujung bambu untuk merobek durjana
Siapa durjana?
Kau yang duduk di singgasana?.
Atau
Mungkinkah aku pula?
Takut aku, takut berakhir seperti Bapakku.
Tasikmalaya, 2017, karya dindamegasuci
Pada Bebasku
Pikiranku tak terbelenggu ruang
Pikiranku menembus dimensi sejarah Masa lampau
Pikiranku mencipta bayangan masa depan
Mengerti gelam masa lampau
Mengerti asa terang masa mendatang
Gelap masa depan kutolak lantang
Hanya asa terang tujuanku melangkah, Merasai sakitnya duri perjuangan, Menggusur moral kerakusan dan watak pemangsa
tujuku
hanya asa terang.
Purwokerto, 4 agust 2018, karya arda_d_alanza
Melangkahlah!
Banyak orang bilang,
Jadi mahasiswa itu ‘keren
Makin ke sini mulai meragukan
Masih pantaskah mahasiswa dibilang ‘keren’?
Mencapai sesuatu saja hangin ingin prestise
‘Iya, iya, iya’ begitulah ucapnya
Kerjanya? Jangan ditanya
Lebih giat pemulung tiap hari ambil sampah berserakan di jalan
Mahasiswa sekarang serba instan
Lantas, apakah Indonesia bangga?
Memiliki anak yang tak punya nyali
Masih bagus berusaha,
Liat kiri-kanan saja tak sudi!
Mahasiswa tidak tahu cara bangkit
Yang ada saling menjatuhkan
Selalu tergantung pada teknologi
Tak sadar itulah yang mengubah gaya hidupnya
Sungguh menydihkan mahasiswa kini
Tidak melihat dari sejarah
Tidak belajar mengambil hikmah
Terlalu takut untuk melangkah
Tak selamanya harus menunggu
Buka mata dan sadarlah
Bahwa Indonesia milik kita bersama!
Kita berhak menyuarakan pendapat, mendapat keadilan, dan memajukan Ibu Pertiwi
Ayolah, bangun dari tidur lelapmu!
Katanya mahasiswa, kok diam saja?
Yakin tak mau bertualang?
Atau masih betah di ranjang?
Buat Indonesia merdeka kawan
Pastikan negeri ini tetap hebat!
Ingat, Indonesia milik kita bersama
Untuk kita jaga bersama
Untuk kita bela bersama
Untuk kita cintai bersama.
Jakarta, 10 Agustus 2018, blytonvelist
Pembangunan Merdeka
Sehebat-hebatnya orasi tak ‘kan mampu menceritakan perihnya luka bangsa
Huruf-huruf mati yang telah lama mengendap dalam buaian masa kecil tanpa jiwa
Maka aku pun berlari keluar membawa bambu runcing dan bendera
Menatap tak percaya pada berjuta muka di abad merdeka
Pada muka kusut orang pinggiran
Pada muka cemas orang buangan
Pada muka letih orang yang mengais rupiah di jalan
Pada muka lusuh orang yang meminta di pinggir jalan pembangunan
Pada muka berbinar semu yang hanya bisa menganga
Melihat berbagai indahnya produk dunia
Di berbagai etalase dan indahnya plaza
Muka yang sama yang lebih sering diam menjerit bertanya
Bukankah tanah air kita satu?
Bukankah bangsa kita satu?
Bukankah bahasa kita satu?
Bukankah bendera kita satu?
Tapi mengapa jalan pembangunan melebar di mana-mana
Menghubungkan semua kota dan desa
Jembatan pembangunan memang kokoh melintasi sungai di mana-mana
Tapi siapakah yang bisa menjembatani jurang di antara kita?
Pada tali kusam perahu layar yang tertambat pasrah
Pada puncak-puncak lusuh tiang tembaga yang terjual murah
Pada lembah-lembah kaya yang kini kering dan hampa
Pada pidato kenegaraan yang menjual negeri ini di ujung dunia
Mungkin dulu aku salah berjuang bersama
Mungkin dulu aku salah mengangkat senjata
Mungkin dulu aku semestinya tidak meneriakkan merdeka
Mungkin dulu sudah sewajarnya aku terima tawaran nikmat Belanda
Yang aku lihat rakyatmu terkoyak Yang Mulia
Bendera hati diinjak ketidakpedulian pada saudara
Yang aku lihat hujan deras tak lagi menutup luka
Menganga mengiris pada jiwa mereka
Yogyakarta, 12 November 2014, karya Yose Rizal Triarto
Merdeka Bukan Judul Sebenarnya
Dalam resah pagi aku membaca
Tiap penggalan dalam berita dan media
Pagi ini dilantik Gubernur Baru Jayakarta
Pribadi keras namun welas asih untuk keluarga
Ada lagi wacana di seputaran masyarakat kota dan desa
Pemerintah kembali ingin menaikkan BBM dan sejenisnya
Pasti harga-harga lain akan ikut terseret ke sana
Padahal gaji saja tidak naik apalagi yang berwiraswasta
Kepala Negeri Baru ingin tiga tahun lagi pangan berswasembada
Padahal rakyat sudah cinta produk impor yang mempesona
Di perbatasan konon katanya jarang sekali ada produk Indonesia
Mungkin para Punggawa Negeri terlalu sibuk dengan agenda politiknya
Kemarin memang sempat santer tersiar wacana
Para pejabat berlomba-lomba blusukan ke tiap desa
Ah ya tidak lupa juga pers ikut mengiring dengan setia
Rakyat senang lupa semua itu hanya euforia
Kabarnya kita hendak bekerja sama lagi dengan Bank Dunia
Bagaimana bisa tak tahulah aku apa isi beritanya
Padahal kita tahu bersama itu hanyalah siasat belaka
Agar bumi Indonesia makin terambil manusia dan sumber dayanya
Para Dewan Rakyat yang terhormat berkelahi di depan layar kaca
Yah pikir mereka ini buat rakyat tak peduli pada malu dan norma
Dewan yang lain sibuk dengan acara keartisan dan agenda politiknya
Memang siapa saja bisa jadi anggota dewan asal berani keluar dana gila
Oh ya jangan kau lupakan perusahaan asing di tanah kita
Banyak sudah anak negeri berlomba bekerja di sana
Serasa bermasa depan cerah saat memegang nama
Walau nanti dimaki yang penting gaji berjuta-juta
Enam puluh sembilan tahun kita merdeka
Kita bekerja tapi bukan untuk negara
Di saat uang sama kita kembali merana
Impian semu untuk sukses dan berbahagia
Yogyakarta, 15 November 2014, karya Yose Rizal Triarto
Aku Bangga Jadi Orang Indonesia (I)
Aku bangga jadi orang Indonesia
Banyak tahu para wakil rakyat mengutil padahal duitnya lebih sepeti
Tidak selalu ada makanan namun tak memilih mencuri
Selalu masih bisa tersenyum padahal amat lapar sekali
Merasa bernegara yah memang sudah harus begini
Yakin kekayaan dan balasan ada di sorga nanti
Hanya bisa diam karena teramat mencintai negeri permai ini
Aku bangga jadi orang Indonesia
Melihat sarjana bersekolah bergelar tinggi tak malu nyambi jadi sales asuransi
Semua manut manggut pasrah lowongan SMA akhirnya diisi sarjana jadi tukang kuli
Tidak juga berani bersuara bertanya salah siapa supaya hidup masih bisa terus dijalani
Hanya termangu karena teramat mencintai bumi pertiwi ini
Aku bangga jadi orang Indonesia
Doa tulus orang tua yang tak mampu bersekolah tinggi supaya anak nanti jadi orang berarti
Diberikan penguasa bermanis-manis janji
Dibohongi pemerintah berulang-ulang kali
Tapi mereka tentu masih kuat karena merasa hidup memang harus begini
Yogyakarta, 19 Februari 2015, karya Yose Rizal Triarto
Aku Bangga Jadi Orang Indonesia (II)
Aku berusaha lagi bangga jadi orang Indonesia
Harus keras bekerja walau hilang waktu agar asap dapur terus mengepul
Tidak ada kusumat dari yang berjasa terabaikan yang mengabdi tersingkirkan
Terseok-seok rintih siswa berprestasi menjual murah keping-keping medali buat makanan
Walau hujan batu di negeri orang tetap pergi karena emas di negeri ini tak memberi pekerjaan
Tidak berani bertanya itu minyak dari bumi ini buat siapa kalau minyak tanah langka nanti
Kalau mereka hanya duduk terdiam merenung karena teramat mencntai negeri sepenuh hati
Aku berusaha lagi bangga jadi orang Indonesia
Tidak pernah menggugat negeri gemah ripah tapi beli minyak tanah beras gas saja susah
Walau sudah lebih dari setengah abad merdeka tapi tak pernah meminta hak istimewa
Tetap setia membayar pajak tapi pendidikan kesehatan pembangunan tak lekas berkembang
Masih tekun mengais demi sesuap nasi kapan suatu saat bisa hidup pantas akan tiba
Jadi kalau mereka masih tidak pernah bertanya tidak juga berani berkata-kata
Karena mereka teramat mencintai negeri republik sepermai ini
Aku berusaha lagi bangga aku jadi orang Indonesia
Masih bisa terdiam tercekat walau hati dan jiwa sudah perih sekali
Masih bisa menerima menengadah walau asa dan sukma sudah pilu sekali
Masih bisa berdiri bertahan walau raga dan dompet sudah payah sekali
Menahan diri tidak menangis dari jatuh-bangun perubahan hidup berkali-kali
Sudah biasa dibohongi pejabat dan media berulang-ulang kali
Mereka masih kuat karena hidup memang harus begini
Yogyakarta, 19 Februari 2015, karya Yose Rizal Triarto
Nyala Api Damai Abadi
untuk Salim Kancil dan kita semua
Tersungkur seorang petani pasrah
Karena tanah adalah tanah
Tanah dan darah memutar sejarah
Mereka berkata yang berkuasa
Tapi merampas rakyatnya
Mesti turun tahta sebelum dipaksa
Dulu praktik tanam paksa
Sekarang praktik perampasan tanah paksa
Akankah kita masih terjebak jaman Belanda?
Di mana negara, di mana
Hukum dan keadilan bersama
Dan di mana nurani mereka?
Sebab di tanah kami
Nyawa tak semahal tambang pasir dan besi
Pikiran bebas adalah dosa untuk kami
Salim Kancil dibunuh dibungkam paksa
Tapi kami masih sibuk beropini saling tanya
Maafkan kami yang masih tidak seberani Anda
Salim adalah korban perbedaan
Saat tiap penyelesaian adalah kekerasan
Saat perintah berarti pengiriman preman
Mungkin esok waktunya
Anak dan cucu kami akan kembali bertanya
Di mana Indonesia saat ia tiada?
Yogyakarta, 14 Oktober 2015, karya Yose Rizal Triarto
Harapan Bahagia Negeri Kami
Nah, jadi sekali lagi aku ingin berkata
Memang beginilah selalu bagian kasar hidup ini
Engkau di atas sana berbahagia dan menikmati dunia
Biar dipecat, ditendang, esok aku ‘kan bekerja sampai pagi
Kuhisap udara, makin sesaklah dada
Dulu kau berkibar di tiang tertinggi
Sayup-sayup kudengar bisikan orang berkata
Lambang harapan walau dollar terus meninggi
Walau aku tak bisa juga menerima
Tapi baiklah mari kita saling memberi
Tak usahlah saling banyak bertanya
Nasionalisme? Bela negara? Ah keduanya tak kumengerti
Sudah tujuh puluh tahun Indonesia merdeka
Kita adalah orang-orang dengan satu mimpi
Kekerasan manusia dan pengabaian negara
Mungkin sudah tidak terlalu aneh di negeri ini
Urusan meneruskan pertambangan, gas dan minyak negara
Jauh lebih penting dari harapan bahagia rakyat negeri ini
Kemerdekaan dan kemanusiaan hanya isapan jempol belaka
Nusantara beriringan berjalan berilah kami arti
Yogyakarta, 25 Oktober 2015, karya Yose Rizal Triarto
Balada Si Tak Punya
untuk sahabatku duhai para mahasiswa Indonesia kekinian
Hari ini mari kita membuat konferensi bersama
Baiklah kita undang segala pengusaha, penguasa, akademia
Si tak punya bersedih hati namanya tak ada
Padahal konfirmasi sms ia kirim berhari-hari lamanya
Hari ini tua muda hadir dengan kemewahan mereka
Topik acara menarik tapi jangan salah ya
Kita semua sudah tahu ke mana arah pembicaraannya
Tidak usahlah lagi kita perhatikan kesimpulannya
-mari kita sibuk bermain kuku, HP dan notebook mewah kita
Hari ini mari kita bicara
Tentang impian hukum, bisnis, dan HAM dunia
Tak lupa pula kami hadirkan para jawara
Pembicara dan pakar ternama di dunia mereka
Si tak punya datang di awal acara
Walau nama tak ada janji manis panitia selalu ada
Nanti ya kalau nanti ya kalau nanti ya
Ia pun duduk manis di bangku pertama
-khusyuk menyimak dan menyalin kata
Hingga akhirnya si tak punya merasa
Janji manis tak kunjung datang padanya
Sungguh nyata ia mendapat perlakuan beda
Hingga tengah hari ia putuskan pulang saja
Toh lebih baik beristirahat di gubuk tuanya
Memikirkan nasib dan bersiap lagi bekerja
Betul tak cukup otak pintar dan semangat membara
Engkau perlu konektivitas untuk masuk dunia si kaya
Walau demikian jelaslah bagi si tak punya
Prioritas dan fasilitas diberikan bagi yang berpunya
Semua wacana tinggal wacana
Karena peserta, panitia, dan pembicara
-enggan beranjak dari kursi nyaman mereka
-sibuk menjamu para penguasa dan pengusaha segala
Hari ini mari kita membuat konferensi bersama
Tak usah kau pedulikan lagi nasib si tak punya
Toh ia bukan bagian dari masyarakat intelektual kita
Biar saja namanya tak ada toh tak ada yang peduli juga
Jika hari ini engkau membela si kaya
Apakah untungnya bagimu?
Uang ia punya, segala ia ada
Tidak akan pernah ia berterima kasih padamu
Jika hari ini engkau membela si tak punya
Apakah untungnya bagimu?
Uang ia tak punya, tak ada pula kemewahan yang ia bawa
Tuhan sendirilah yang akan berterima kasih padamu
Yogyakarta, 5 November 2015, karya Yose Rizal Triarto
Buat Tan Muda di Indonesia
teruntuk Kawan-Kawan Panitia Pemutaran & Diskusi Film Dokumenter Mahaguru Tan Malaka “Shelter UTARA” Koto Padang, Sumatera Barat yang dipaksa batal
Orang bilang tak kenal maka tak sayang.
Makin tak kenal maka kau pun akan makin terlupakan.
Dalam segala berita dan ironi drama palsu yang dipaksa menjadi santapan kami.
Hanya sungguh amat disayangkan intimidasi dan represi masih menjadi budaya tak resmi di negeri kami.
Semoga kawan-kawan muda nan berani tak pernah berhenti untuk terus bermimpi.
Jalan perjuangan dan pembebasan manusia sejak dulu memang selalu sepi dan sunyi.
Dalam perjuangan tak semua orang bisa engkau selamatkan.
Karena memang tak semua orang mau dan mampu untuk ikut serta dalam gerakan pembebasan.
Maaf banyak dari kami yang sudah terlalu tua dan lelah untuk bermimpi.
Terlalu lupa akan mengapa kami hidup dan ada di negeri ini.
Namun bukan berarti engkau musti menyerah dan berhenti.
Terus membaca, terus menulis, terus berjuang, sampai hari akhir tiba.
Tapi bukan untuk membuat dirimu menjadi selebritis, tapi bagi sebuah cita-cita mulia.
Agar semua manusia Indonesia makin kenal dengan Bapaknya.
Agar penerimaan akan perbedaan bukan lagi menjadi jargon politik untuk menjual nama.
Hingga kelak di hari akhir nanti semua usahamu tak akan sia-sia.
Yogyakarta, 22 April 2018, karya Yose Rizal Triarto
Tidak Merdeka Tapi Menderita
Para leluluhur berdarah darah ratusan tahun menanggung beban penjajahan
Semangat semangat muda muncul memberontak merumuskan keadaan
Tidak ada senjata yang hanya organisasi dan bambu runcing
Kolonialisme dan fasism di Rongrong perlawanan perlawanan akar rumput
Merdeka Merdeka Merdeka
Nyanyian kemerdekaan terdengar seantero penjuru nusantara
Baru seumur jagung benturan dari dalam negeri menghantam kuasa rakyat
Gempuran imprealisme membangun blak propaganda palsu
Para penghinat bersenjata bersatu dengan para konservatif membantai jutaan rakyat atas nama enam lima
Buku buku di bakar sejarah palsu di buat para intelektual gadungan menyebar kebencian terhadap komunis
Budaya globalisasi memaksa terasing manusia
Investasi modal asing seperti vampir menghisap darah alam bumi pertiwi
Pikiran kritis di bunuh atas nama stabilitas negara
Sudahkah merdeka jika tanah dan air jadi milik asing
Menderita mengajarkan aku untuk terus berjuang
Menderita mengajarkan aku untuk terus berorganisasi bersama rakyat tertindas, karena para penguasa tak bisa lagi di harapkan
Menderita mengajarkan aku bahwa hanya kekuasaan rakyatlah yang mampu menghapuskan segala bentuk penderitaan,penghisapan,penindasan di muka bumi ini
Menderita adalah guru paling jujur
Karena kemerdekaan saat ini hayalah ilusi Republik mafia
Jogja Agustus 2018, Ali Akbar Muhammad.
Indonesia
Indonesia tanah air beta, air pun di beli tanah pun di rampas
Indonesia tanah pusaka, tanah tertumpah darah oleh senjata aparat
Hiduplah tanah ku hiduplah negeriku, mati di tanah sendiri,lapar di negeriku
Indonesia disanalah aku berdiri kini duduk pun tak bisa
Indonesia jadi pandu ibu, kini i perkosa setiap saat
Indonesia kebangsaanku, bangsa yang ingin merdeka di tuduh saparatis dan teroris
Indonesia merah darahku putih Tulangku, bau bangkai darah hitam dan tulang belulang menjadi fondasi bangsa ini
Indonesia marilah kita berseru para pemodal semakin menjadi jadi
Indonesia ribuan sarjana tertumpah di jalan mengantri di perbudak
Indonesia sehari sudah makan sudah cukup itulah kejamnya
Indonesia pendidikan menjadi momok yang sangat menakutkan
Indonesia para buruh mati di dalam pabrik dan perusahaan
Indonesia para kaum tani harus mati di ribua hektar sawah
Indonesia negeri raja – raja penindas
Indonesia tentara menjadi negara dalam negara
Indonesia pembangunan hanya ilusi kesejahteraan
Indonesia sejak dulu kala selalu di tindas kaum modal
Indonesia merdeka di pucuk senjata namun ribuan bayi mati kelaparan karena harus membayar hutang negara
Indonesia masihkah ku sebut negara berdaulat jika petani Kulonprogo tanahnya di sulap jadi bandara untuk kaum modal
Indonesia negara keberagaman mesjid dan gereja hancur di Kulonprogo
Indonesia jutaan rakyat mati demi kemerdekaanmu
Indonesia nyayian nyayian revolusi terdengar di seluruh penjuru karena beras pun di inport
Indonesia Presidenmu dengan santai menjawab silahkan gebuk mereka yang Berlawan
Indonesia berikan aku perlawanan mu
Indonesia berikan aku perjuanganmu
Indonesia Indonesia Indonesia belum merdeka.
Jogja, Desember 2017, Ali Akbar Muhammad.