
Oleh Iroy Mahyuni
Karena ketika aku melihat keluarga, aku bisa merasa nyaman dan ketika aku melihatmu itu tempat aku pulang – dalam film Finding Nemo
*
Yang jelasnya ini bukan selebrasi. Tapi ini tentang sebuah refleksi dan rasa syukur karena komitmen dan konsistensi dalam membersamai dan tetap berjuang serta melawan bersama anak muda. Dan hal tersebut tentu bukan sekilas perjalanan yang singkat. Melainkan 12 tahun lamanya – sejak Social Movement Institute (SMI) didirikan dan sampai hari ini. Secara usia SMI terbilang cukup remaja dalam prosesnya. Banyak dari yang tergabung bahkan sudah lulus kuliah selama SMI berdinamika.
Selama berproses, SMI terbilang agak berbeda dengan kelembagaan lainnya. Orang-orang menyebutnya LSM – Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO – Non Government Organitation. Itu tidaklah salah. Memang pada dasarnya SMI bukan lembaga pemerintahan. SMI seperti namanya ialah sebuah lembaga gerakan sosial. SMI adalah rumah bagi anak muda yang berminat menumbuhkan pikiran maju, terbuka, dan berpihak. Sebuah organisasi yang menawarkan pengalaman gerakan sosial kepada para pelajar dan mahasiswa. SMI mengajak anak muda menghidupkan dan mengambil peran dalam gerakan sosial. Mengasah kepekaan, empati, dan kemampuan bersolidaritas kepada para banyak korban ketidakadian dan sebagainya.
Uniknya, SMI membangun tata kelola kelembagaan yang berbeda dengan organisasi lainnya. Yakni lebih bersifat kekeluargaan. Selayaknya keluarga: laki-perempuan, tua-muda, ada yang akur, ada yang tidak, ada yang punya kesamaan hobi dan ada yang tidak, ada yang hanya sekadar makan, tidur, kuliah dan ada yang sangat ambisius dan radikal. Kadang tertawa, kadang berdebat. Ada yang bertahan sejak SMI didirikan, ada yang sudah pulang kampung atau mendapat pekerjaan di belahan lainnya. Ada yang masih terhubung melalui media sosial, ada juga yang lost contact. Tapi yang pasti, SMI selalu jadi rumah bila semuanya pulang ke Jogja. Dan pintu SMI selalu terbuka dengan hal tersebut, tetap dengan kehangatan dan cerita yang selalu penuh tawa. Dari pintu SMI semua disambut dengan penuh harap bahwa keluarga selalu menjadi keluarga. Termasuk aku.
*
Diriku mengambil bagian dari rumah sederhana yang bahkan nyaris tidak ada aturan ketat seperti banyak lembaga lainnya. Karena siapapun dapat hadir tanpa perlu memperlihatkan identitas diri apalagi identifikasi diri. Tidak ada jam operasional, 24 jam terbuka bagi siapa saja yang hendak datang. Tidak diperlukan keahlian khusus untuk terlibat dalam banyak agenda dan rencana perlawanan. Syarat masuk melewati pintu itu hanya dua, yakni meyakini dan berpihak pada kemanusiaan sebagai ajaran Tuhan.
Dan tulisan ini adalah pengalaman empiris sebagai bagian dari riuhnya dinamika di dalam rumah itu. Tentu semua orang dapat menuliskan pengalaman subjektivitasnya masing-masing. Dan sekali lagi ini tentang aku, yang mengawali Aksi Kamisan: menuju Titik Nol Malioboro, kemudian bergeser ke Tugu Jogja. Ini seperti penjajakan bagi SMI. Sekira tempat mana yang lebih cocok utuk membangun sebuah agenda rutinitas gerakan. Dan itu adalah Aksi Kamisan pertama kali SMI. Sampai kemudian Tugu Jogja menjadi tempat tetap di setiap kamis sore bagi mereka yang terpanggil untuk menyuarakan keresahannya terhadap situasi sosial secara nasional ataupun lokalistik. Aksi Kamisan di Tugu selalu jadi momen yang ditunggu. Dari semula yang bebas berdiri di tengah-tengah perempatan dan sekeliling Tugu, sampai kemudian Tugu itu dipagar tembok besi dan akhirnya aksi pindah ke samping jalan di dekat pos polisi.
Saat itu aku belum genap berusia 20 tahun, saat pikiran meng-okupasi ruang publik itu berlangsung. Keresahan dan kegelisahan sebagai perempuan seakan mendapatkan tempat dan kawannya. Terdapat kawan perempuan lainnya yang terpanggil, berkumpul, dan merencanakan perlawanan. Fakta menariknya, kami adalah guru bagi perlawanan itu sendiri. Pulang kamisan, kami pasti mampir ke angkringan, sambil tertawa dan bergurau, kami sekaligus melemparkan ide perlawanan. Dari situ muncullah sekolah perempuan, diskusi rutin isu perempuan, nonton film bersama, bahkan sampai live in secara bergantian dengan kawan-kawan serikat buruh yang didominasi perempuan saat melakukan mogok bersama.
Perlawanan selalu mempertemukan kawan dalam perjalanan. Akademisi yang tidak takut kehilangan jabatan, peneliti yang mempertaruhkan dana hibah, sejarawan yang tidak peduli keselamatannya terancam, ibu-ibu dan bapak-bapak pedagang yang bertahan dari penggusuran, kawan-kawan serikat buruh yang kokoh di hadapan pabrik, serta mahasiswi dan mahasiswa, kaum muda yang berani tanpa aba-aba turun ke jalan. Keyakinan pada keadilan dan kebenaran secara otomatis bergerak dan tidak pilih-pilih lawan – mau aparat ataupun preman keparat suruhan aparat. Tidak disukai persoalan kecil, diintimidasi saja kami melawan. Begitulah kira-kira gambaran bagaimana keyakinan berlawan itu tidak goyah dan berusaha untuk terus konsisten. Walau pada kenyataannya, nama-nama silih datang dan berganti. Kami kuliah, pulang kampung, bekerja, bertahan, dan ada yang kembali ke Jogja lagi.
Jika diingat-ingat, punggung ringkih Mas Eko Prasetyo yang hampir tiap hari bungkuk menulis dan membaca di sudut pustaka itu menjadi pemandangan yang akrab. Ia sama sekali tidak terganggu dengan hiruk-pikuk keributan yang kami lakukan. Tidak akan ada yang mengira bahwa pikiran, tulisan, dan buku-buku yang progresif itu lahir dari laki-laki paruh baya yang bertubuh kecil, berpunggung ringkih, dan takut dengan masakan pedas. Aroma masakan dari dapur yang didominasi gelas plastik itu adalah pertanda bahwa kami sudah beroperasi di kampung tengah. Om Djoko akan muncul sore hari selesai nguli di ladang ubi sebagai panggilan akrab kampus tempatnya bekerja. Wajah bulat dan kepala plontosnya akan semakin bersinar tatkala kami menyambut kedatangannya dengan beragam permintaan poster yang berani dan agitatif. Beberapa kali kami mengabarkan beras habis. Said Tuhulele almarhum (kami memanggilnya pakde) – seorang tokoh Muhammadiyah, akan mengirim beras secara rutin tanpa dikenakan pajak apalagi bayar. Setelah magrib Bunda Irma (istri pak eko) dan Kak Hon (istri djoko) akan datang membawa apa saja bentuk makanan dan sayur-sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Dalam kesederhanaan hidup dan berlawan, solidaritas itu mengakar dan menjadi ingatan yang tidak akan pernah terlupakan. Hari ini, mungkin tidak akan ada yang percaya bahwa rumah kecil itu pernah bertahan hidup sedemikian rupa.
SMI tumbuh. Tentu semakin berkembang, semarak, dan progresif. Jika dihitung angka, 12 tahun adalah usia beranjak remaja. Untuk sebuah organisasi gerakan anak muda, hal ini merupakan gambaran konsistensi dan komitmen semangat perjuangan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dinamika berkawan dan berlawan hiruk pikuk mewarnai kisah dan perjalanan setiap nama di dalamnya. Tapi kasih sebagai bagian dari keluarga akan senantiasa menjadi alasan yang mempersatukan. Begitu juga kerinduan yang dipupuk oleh jarak dan waktu. Karena pada akhirnya, perlawanan paling hakiki dilakukan seseorang pada dirinya. Seberapa lama akan berlawan adalah jawaban yang ukurannya ada pada setiap keyakinan yang sangat personal.
*
Kepada seluruh kawan yang jumlahnya banyak sekali dan tidak bisa diriku urut nama satu persatu, entah di Jogja atau di manapun, hendaknya doa tidak putus dan kita dapat berlawan di mana, kapan, dan dengan siapa saja. Semoga pengalaman berlawan di rumah SMI dapat menumbuhkan keberanian guna membela hakmu di hadapan sistem yang sangat patriarki, kapitalistik, dan militeristik. Besar ucapan terimakasih dan salut, karena kita pernah memutuskan hal paling berani yang menjadi ketentuan dalam hidup, yakni meyakini dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Teruntuk Mas Eko Prasetyo, Om Djoko, Bunda Irma, dan Kak Hon, kalian orang tua membanggakan dengan seluruh dinamika rumitnya membersamai kami sebagai anak muda. Dan SMI akan sealu jadi rumah yang penuh kehangatan, kekeluargan dan keceriahan. Tapi tetap melakukan perlawanan pada setiap ketidakadilan dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Panjang umur perlawanan. Tetap berkawan dan melawan.
(Jogja, 24 Mei 2025)