Perspektif dan Kajian Mendalam Sebagai Upaya Strategis dalam Metamorfosis Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia

Oleh : Oky Alex S
(Advokat, Lulusan Hukum Pidana Adat Universitas Bengkulu)


Membaca ulasan dalam buku ini, ternyata ada banyak hal yang sangat menarik untuk disimak dan diperhatikan. Tentu hal tersebut tidak terlepas dari identitas penulisnya (R Yando Zakaria) yang juga tak kalah menarik. Pertama, penulis buku ini merupakan seorang antropolog cum aktivis yang konsisten melakukan riset-riset akademis. Juga penulis konsisten melakukan kerja-kerja aktivisme dalam perjuangan masyarakat adat. Kedua, referensi dan sumber sejarah dalam buku ini cukup kridibel sebagai bahan diskursus mutakhir. Karenanya, berangkat dari hal tersebut tentunya buku ini dapat menjadi bentuk penguatan perspektif dan menambah keyakinan serta menjadikannya bahan pembahasan dan diskursus oleh masyarakat, para pemerhati masyarakat adat, aktivis, termasuk para intelektual di Indonesia.

Sebagai premis awal, penulis menyatakan bahwa uraian dalam buku ini tidak lebih dari catatan kesaksian terkait persoalan masyarakat yang ditemuinya selama ini. Dalam hal ini, ada analisa perenungan dan kesaksian dalam melihat fenomena yang terjadi langsung di lapangan. Barangkali dapat disebut buku ini menjadi omnibus dari tulisan, karya yang di publish dari empat buku yang pernah diterbitkan oleh penulis sebelumnya yakni seperti Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde baru, Merebut Negara, Beberapa Catatan Reflektif Tentang Upaya-Upaya Pengakuan, Pengembalian Dan Pemuluhanan Otonomi Desa, Etnografi Tanah-Tanah, Beberapa Konsep Pokok Dan Pedoman Lapangan dan terakahir Kronik Undang-Undang Desa, Dari UU 5/1979 Tentang Pemerintahan Desa Ke UU 6/2014 tentang desa.

Buku ini sendiri dibagi dalam 10 Bab. Didalam setiap babnya tentu ada benang merah yang saling terhubung. Bab 1 uraian tentang lima catatan terkait buku. Dilanjutkan pada bab 2 uraian tentang perspektif alternatif dalam memahami fenomena kebangkitan adat dalam dua dekade terakhir yakni era 90-an sampai pasca reformasi. Didalam bab ini ada persoalan yang diuraikan untuk menekankan pada dua wajah adat yang saling berseberangan. Selanjutnya bab 3 dan 4 membahas tentang lima faktor penyebab utama persoalan yakni, Peralihan Wacana Penanda Identitas Kelompok, Hilangnya Perspektif Kelas pasca Peristiwa 1965, Solidaritas Global Dan Implikasi Pendekatan Indigenitas, Mandeknya Wacana Hukum Adat, Masalah Keadilan Gender dan Interseksionalitas. Selanjutnya pada bab 5, 6 dan 7 menawarkan pemahaman tentang beberapa konsepsi pokok masyarakat adat, tanah adat, dan wilayah adat yang biasanya merupakan persoalan yang menjadi titik tegang pihak-pihak dalam membicarakan masyarakat adat dan persoalan yang dihadapinya. Bab 8 menunjukkan ruang-ruang yang telah disediakan negara sebagai hasil respon sosial politik atas tuntutan gerakan sosial yang peduli terhadap persoalan masyarakat adat beserta keterbatasan capaianya. Lalu di Bab 9 menjelaskan mengapa sampai keterbatasan capaian tersebut terjadi, yang utamanya dengan menyoroti kerangka regulasi yang digunakan dalam proses pengakuan keberadaan masyarakat adat dan berikut hak-hak tradisionalnya. Terakhir pada bab 10 Penulis mengajukan tawaran tentang kerangka kebijakan yang diharapkan lebih kompatibel dengan situasi masyarakat adat pada saat ini. Kemudian tentunya penulis juga memberikan kerangka paradigma untuk peraturan-peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan dalam mengatur keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, sesuai dengan amanat konstitusi.

  • KACAMATA TEORITIK PADA SEGMENTASI BAB BUKU

Ada bagian yang menarik menurut saya dalam buku ini. Yakni, tiap bagiannya menjadi pembahasan yang cukup menarik dan segementatif bagi pembaca nantinya. Minat pada beberapa diskursus atau membaca secara holistik bukan menjadi masalah sebenarnya. Akan tetapi, menurut saya ada beberapa bab yang mungkin saya dapat bagi untuk melihat kerangka teroritik dan kajian risetnya. Didalam bab 2 sampai 4 terkait dengan faktor penyebab persoalan utama yang tentunya dikaji dalam beberapa teori sosiologi, politik identitas, teori kelas sosial, global politik, hukum dan feminisme point of view. Pada Bab 6 dan 7 Pembahasan tentu merujuk pada paradigmatik teori sosio-antropologi, sosio-kultural yang meliputi Susunan Masyarakat Adat serta pengertian tanah dan wilayah adat. Kemudian Pada bab 8 Ada ruang kuasa Inklusi, tentu kita barangkali teringat dan merujuk pada karya Derek Hall, Philip Hirsch & Tania Murray Li (Lih. Murray li, 2020. Kuasa Eksklusi: Dilema Pertanahan di Asia Tenggara. Yogyakarta : INSIST Press ) tentang bahwa empat “kuasa ekslusi” –pengaturan, pasar, pemaksaan, dan legitimasi—bersenyawa membentuk hubungan pertanahan dalam jalur-jalur baru yang mendasari berbagai konflik sosial dan politik di Asia Tenggara.

Senada dengan yang ditulis oleh penulis yakni memeberikan Peta Indikatif Ruang Kuasa Inklusi serta ruang-ruang yang terabaikan dalam perjuangan masyarakat adat. Lalu di bab 9 terkait dengan teori-teori Kebijakan Pemerintah (policy) dan aspek hukum yang dikeluarkan dan diterapkan dalam melihat masyarakat adat sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang harus diberikan ruang dan dipenuhi hak-haknya.

  • DUA WAJAH KEBANGKITAN ADAT YANG DIBUAT BELANG

Sebagaimana penulis sebutkan bahwa saat ini ada dua wajah adat dari kacamata penulis. Wajah pertama adalah, bahwa adat sebagai jalan untuk mengwujudkan keadilan sangatlah muram; hopeless. Lalu yang kedua merupakan pandangan yang sebaliknya, hopeful. Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi?

Dalam Pandangan Huaser-Scabublin, implementasi konsep idealis tentang masyarakat adat melalui pendaanaan lembaga internasional, serta para aktor nasional, regional maupun lokal yang bagaimanapun lebih berorientasi pragmatis dan sering kali memikirkan tujuan mereka sendiri daripada tujuan masyarakat adat tertentu. Ada hal yang bisa kita lihat klaim berbasis adat juga membatasi solidaritas dan kerjasama dikarenakan wacana ini merangsang komunitas untuk berjuang sendiri, perlawanan terisolasi dengan satu perusahaan, alih-alih terlibat dalam mobilisasi berbasis kelas yang cenderung terpisah dalam agenda perjuang reformatif. Jadi cara pandang ekslusifitas dan pemisahan ini tentu salah dan menjadikan gerakan kontraproduktif dalam agenda perjuangan masyarakat adat. Tapi kembali lagi bahwa ini adalah bagian analisa yang tentu menjadi fakta sosial yang harus kita jadikan sebagai bagian dari kondisi sosial yang ada.

Selanjutnya fakta demikian dapat dilihat sebagai serangan balik kepada gerakan masyarakat adat. Menurut penulis pada satu sisi gerakan masyarakat adat pasca-reformasi memang telah membuat masyarakat adat kembali pada wacana politik, hukum dan ketatanegaraan di Indonesia, terutama ketika politik Indonesia bergerak kearah desentraliasi. Namun, pada sisi lain sebagaimana yang sudah banyak dilaporkan dalam beberapa publikasi yang ada, bahwa yang bahkan mendapatkan manfaat justru para elit adat atas upaya sendiri yang justru bukan sasaran dana dari para lembaga donor Internasional yang berniat yang membantu masyarakat adat di Indonesia.

  • DIMANAKAH MASYARAKAT ADAT DALAM SISTEM KELAS SOSIAL ?

Menurut Martin (Lih. Suryajaya, Martin. Perjuangan Kelas dan Holopis Kuntul Baris” – Indoprogress.com), analisis kelas yang benar harusnya bersifat spesifik dan partikular. Hal tersebut dapat dicapai melalui pemahaman tentang hubungan pandangan historis tentang formasi kelas dan kapitalisme. Dalam praktik perjuangan kelas buruh dan tani sepanjang sepengtahuan kita bisa melihat bahwa ada dikotomi yang jernih dalam melihat sisi teoritik yang ada yakni pihak yang di ekploitasi “keringatnya” dengan perebutan ruang kelola yang ekploitatif. Maka juga banyak diterangkan oleh Martin bahwa ada pembeda antara analisis kelas dan labelisasi kelas. Sederhananya, bahwa aspek formal dari analisis kelas bertumpu pada klasifikasi sosial yang dibuat oleh Marx pada aspek sarana produksi. Jika analisis kelas dihentikan pada aspek formal semata maka hasilnya pun bukan benar-benar analisis kelas melainkan sebatas labelisasi kelas semata. Dikarenakan dapat kita lihat bahwa perkawinan kapitalisme dengan oligarki yang melapangkan jalan dan menghapus rintangan melalui politik legal bagi akumulasi kapital di Indonesia tidak hanya melalui pemilik modal dan perusahaan semata akan tetapi juga dalam cengkeraman oligarki politik yang memainkan peranannya. Dengan melihat kondisi hal tersebut akan terbuka lebih ruang pembacaan kita akan teori kelas sosial yang sudah “mapan” itu.

Kita perlu membaca kembali pada level aktual empirik bahwa kita tidak dapat mengadalkan distingsi antara kelas bourjuis dan proletar semata, akan tetapi keragaman dan keunikan kondisi kebangsaan kita harusnya mulai dikerucutkan pada poros oligarki versus anti-oligarki yang membuat terang sudut pandang kita untuk melihat jelas pembagian proposisi sosial yang ada. Hanya dengan cara inilah lebelisasi kelas dapat ditransformasikan menjadi analisis kelas yang sesungguhya. Maka dari itu, untuk memulai menganalisa hal tersebut adalah berangkat dari pandangan Duile (Lih. Duile, Timo. 2020. “Indigenous people, the state, the econonomi In Indonesia : national debates and local process of recognition. Austrian journal of South-East Asian Studies), yakni pilihan atas wacana pribumi telah menjadi identitas politik yang menjanjikan bagi masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi di wilayah pedesaan di seluruh dunia, Termasuk Indonesia. Hal tersebut merupakan alternatif akibat melemahnya identitas kaum kiri. Sementara itu, terdapat perbedaan kelas dan perjuangan indigenisitas. Jika perjuangan kelas lebih pada orientasi pada tujuan yang bersifat distributif maka perjuangan indigenisitas lebih kepada perjuangan untuk pengakuan.

Oleh sebab itu, pendekatan analisis kelas memang menjadi keniscayaan dalam memahami wajah gerakan masyarakat adat di Indonesia. Pendefinisian yang dominan dalam melihat masyarakat adat yang semata-mata dari segi identitas seringkali bersifat romantik. Pandangan tersebut mengisolasi masyarakat adat dari aspek kegiatan produksi mereka yang jauh lebih kompleksitas. Kategori “Penduduk-Pedesaan-Pedalaman” sama sekali tidak memberikan informasi tentang hubungan produksi yang berlangsung di masyarakat semacam itu. Kecuali segera muncul kategori lain di kepala kita, yakni kita andaikan jika mereka yang tinggal di pesisir pantai dibayangan kita tentu mereka adalah nelayan, atau dikombinasikan diantara keduanya. Akibatnya, kita terjebak hegemonisasi antara petani dan nelayan, dan masyarakat adat sebagai kategori tanpa isi. Maka dari itu, Sangaji (Lih. Sangaji, Arianto. 2012. “Masyarakat Adat, Kelas, dan Kuasa Eksklusi’ – Kompas 21 Juni 2012) memberikan usul terkait hal tersebut, yakni masyarakat adat yang terdiri dari petani dan nelayan dijelaskan dengan pendekatan kelas. Dengan memeriksa hubungan-hubungan produksi diantara mereka, negara dan modal. Dengan cara itu kita dapat menemukan stratifikasi dalam susunan masyarakat adat, pun dalam relasinya dengan negara dan modal. Selanjutnya kita dapat menemukan kerangka yang jelas untuk mengkonstruksi langkah strategis dalam perjuangan masyarakat dalam ruang advokasi sosial yang tranformatif.

  • PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT DALAM PERSPEKTIF SOSIO-LEGAL MENUJU LEGAL FORMAL, QOU VADIS?

Salah satu citra muram kebangkitan adat adalah mandeknya wacana hukum adat yang dikembangkan Van Vallenhoven beserta pengikutnya. Semestinya hal tersebut menjadi instrumen strategis dalam upaya masyarakat adat yang emansipatif. Situasi tersebut bahkan juga dipengaruhi oleh mandeknya wacana adat dan isu indigenisitas dalam sistem pengajaran dalam kampus yang menyerabut hukum adat dalam kerangka hukum positif legalistik.

Penjelasan tentang peran warisan idiologis dari pemikiran hukum adat pada masa kolonial yang turut mempengaruhi terbentuknya wajah (muram) hukum adat dapat diperoleh dari pandangan-pandangan para ahli. Menurut beberapa ahli (Indonesia) yang menyebutkan bahwa konsep hukum adat yang dikembangkan oleh Van Vallenhoven adalah “mitos yang membingungkan”. Lalu ada juga istilah “hukum adat pada dasarnya adalah ciptaan Belanda”, Sehingga pemerintah Belanda yang mengikatkan hukum adat dengan otoritas negara kolonial. Karena sebelum Belanda menciptakan hukum adat yang kodefikatif, masyarakat adat hidup dalam aturan yang tidak tertulis yang menjadi kekayaan ingatan kultural yang diteruskan secara turun temurun. Hal ini merupakan commonlaw versi masyarakat adat kita yang identik komunal dan sakral. Kemudian dengan hadirnya mazhab hukum adat dan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada gagasan-gagasan politik konservatif itu melegitimasi otoritas negara kolonial, sekaligus membuat Indonesia terpecah-pecah menjadi komunitas-komunitas yang terpencar-pencar. Artinya, alih-alih menyatukan, Hukum Adat (Kodefikasi Belanda) dianggap justru menjadi faktor pembelah yang nantinya akan menyulitkan kelangsungan negara dan bangsa kedepan.

Istilah “hukum adat” (adatrecht) untuk pertama kalinya muncul dalam publikasi hasil kajian lapangan Snouck Hurgronje yang berjudul De Atjeher (de Aceh) dan de Gajolan (1903). Kemudian Cornelis van Vallenhoven-lah yang menjadikan istilah “Hukum Adat“ sebagai sebuah teori, dimana hal tersebut merujuk pada “adat-adat yang berakibat hukum”. Teorisasi tentang hukum adat tersebut digunakan olehnya untuk menunjukkan pada Pemerintah koloni pada saat itu bahwa upaya unifikasi hukum akan menimbulkan ketidakadilan bagi pribumi. Menurutnya ragam etnik, kebudayaan, kepercayaan dan aturan kebiasaan pribumi yang beragam akan dilibas oleh otoritas Pemerintah Belanda pada saat itu memegang kendali penuh terhadap konstruksi hukum dan aturan. Van Vallenhoven memiiliki keyakinan bahwa “rakyat pribumi hidup dalam hukumnya sendiri, tidak boleh ada unifikasi hukum, pemberlakuan hukum adat pada pribumi memperkaya peradabaan pribumi”. Walapun menurut saya membuat kodefikasi hukum adat dalam kerangka hukum yang Positivistik tentu menjadi heroisme centang prenang juga. Sakralitas aturan dan ketundukan hukum masyarakat pada saat itu terletak pada ingatan “ketua adat” atau “majelis adat’ yang menjadi pusat legitimasi ketertundukan masyarakat. Bukan pada aturan tertulis yang memuat paradigma sanksi penghukuman ala Belanda yang dicocokan pada kerangka sanksi sosial masyarakat adat pada saat itu.

Dalam perkembangan perjuangan merujuk pengalaman di Indonesia telah ada dua kubu dikotomi strategi perjuangan hukum oleh aktor gerakan sosial masyarakat adat. Hal ini dapat kita lihat dari perbedaan tentang beberapa pilihan strategi dalam melaksanakan gerakan masyarakat adat terkait Undang-undang dan pengaturan haknya. Sebagaimana telah dicatat oleh Savitri, Larasati dan lutfhi dalam buku ini setidaknya ada dua perbedaan mendasar antara versi DPR Melalui RUU Masyarakat Adat yang di oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang sudah masuk prolegnas sejak 2018 dengan RUU PPHMA versi DPD tahun 2018 yang menggunakan istilah “Masyarakat Adat” sebagai nomenklatur untuk mengatur pengakuan pada masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional, yang menurut konstitusi sekedar nama fungsi. Sementara RUU versi DPR tetap menggunakan Masyarakat Hukum Adat saja. Perbedaan mendasar kedua adalah bahwa RUU versi DPD lebih merupakan pengaturan pengaturan pada pengakuan objek hak masyarakat adat, sementara versi DPR tetap berorientasi pada pengaturan pengakuan masyarakat adat sebagai subjek. Dengan demikian, kedua versi yakni RUUMA dan RUU PPHMA tentang masyarakat adat saat ini menggambarkan dua kubu pemikiran di kalangan aktivis yang berbeda satu sama lain.

  • SIMPULAN

Buku ini menurut saya sarat akan teori, paradigma dan riset empirik yang penulis kemas secara lengkap, rapi dan sistematis. Maka tidak berlebihan kiranya kalau menurut saya buku ini bisa jadi omnibus pengetahuan terkait Adat, Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat beserta perjuangannya secara komprehensif. Selanjutnya buku ini cocok untuk akademisi, aktivis dan mahasiswa, dan orang yang tertarik ingin memahami tentang gerakan masyarakat adat di Indonesia seiring metamorfosa historiografi perkembangan gerakan dari waktu ke waktu. Tentu dengan analisa penulis yang sangat mendalam  yang membahas dengan multiparadigmatik yang sangat luar biasa, sehingga memberikan pemahaman yang utuh terkait diskursus masyarakat adat dan memadu-padankan perspektif politik kelas yang dihilangkan dalam koridor sosial politik kebangsaan.alam koridor sosial politik kebangsaan.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0