Food Estate, Apa kabar Bumi kita?

Penulis:  Martunas Dosniroha Munthe

Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Berdasarkan data dari Harian Kompas (2023), indeks biodiversitas Indonesia mencapai 418,78, mencakup 729 spesies mamalia, 772 spesies reptil, 1.723 spesies burung, 383 spesies amfibi, 4.813 spesies ikan, dan 19.232 spesies tumbuhan berpembuluh. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai paru-paru dunia karena memiliki luas hutan yang signifikan. Pada tahun 2022, luas hutan di seluruh daratan Indonesia tercatat sebesar 96 juta hektare atau 51,2 persen dari total daratan (Media Indonesia, 2024). Keberadaan hutan dan biodiversitas yang terkandung di dalamnya memiliki peran penting, seperti penyediaan oksigen, penyebaran biji tumbuhan, serta menjadi indikator kesehatan lingkungan di Indonesia.

Namun, luas hutan di Indonesia semakin berkurang setiap tahunnya. Kerusakan hutan di Indonesia mencapai tiga juta hektare per tahun, dengan rekor tertinggi sebesar 3,8 juta hektare per tahun. Beberapa penyebab utama kerusakan hutan adalah kebakaran hutan, aktivitas pertambangan, serta pembukaan lahan untuk permukiman, infrastruktur, perkebunan, dan persawahan (Media Indonesia, 2024).

Pada awal tahun 2024, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, mengusung program lumbung pangan nasional yang dikenal sebagai Food Estate. Program ini sebenarnya bukan hal baru, karena telah dirintis sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo. Namun, proyek food estate sering kali gagal mencapai tujuannya untuk menciptakan ketahanan pangan, dan justru membawa dampak buruk bagi lingkungan.

Food estate adalah konsep lahan pertanian berskala besar yang dirancang untuk memproduksi bahan pangan secara masif di suatu wilayah. Pada masa Presiden Soeharto, program ini diwujudkan melalui Mega Rice Project (MRP). Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, proyek serupa hadir melalui Merauke Integrated Rice Estate (MIRE). Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengembangkan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Merauke sebagai implementasi food estate. Sayangnya, berbagai proyek tersebut dihentikan karena tidak memberikan hasil sesuai harapan.

Presiden Joko Widodo kemudian melanjutkan program Food Estate sebagai salah satu Proyek Prioritas Strategis untuk periode 2020–2024. Program ini diharapkan dapat mengatasi isu ketahanan pangan dan mendukung tujuan kedua dari Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan (Rasman et al., 2023).

Namun, pelaksanaan program Food Estate menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya perencanaan yang matang. Hal ini menjadi penyebab utama kegagalan proyek-proyek sebelumnya. Contohnya, proyek pertama pada tahun 1995 di Kalimantan Tengah yang mengembangkan lahan gambut untuk pertanian. Alih-alih menghasilkan panen berlimpah, proyek ini menimbulkan masalah lingkungan serius. Lahan gambut tersebut menjadi rawan terbakar saat musim kemarau dan rentan banjir saat musim hujan. Selain itu, hutan-hutan rotan dan keramat yang digunakan oleh masyarakat lokal rusak akibat pembukaan lahan.

Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengalami kegagalan karena lahan gambut di Merauke tidak cocok untuk pertanian. Akibatnya, masyarakat kehilangan akses ke hutan sagu, yang merupakan sumber pangan utama, serta hutan berburu bagi satwa seperti babi dan rusa (Rasman et al., 2023).

Kini, Presiden Prabowo Subianto berencana melanjutkan program Food Estate dengan target membuka tiga juta hektare lahan baru di Kalimantan Tengah hingga Maluku. Langkah ini berisiko memperparah kerusakan hutan yang sudah terjadi selama proyek-proyek sebelumnya. Selama era Presiden Joko Widodo, kerusakan hutan akibat Food Estate mencakup 32.000 hektare di Sumatra Utara, 770.000 hektare di Kalimantan Tengah, dan dua juta hektare di Papua (Mongabay, 2024).

Kerusakan hutan ini berdampak besar pada biodiversitas. Banyak spesies satwa liar dan tumbuhan kehilangan habitat serta sumber makanan mereka, yang menyebabkan konflik antara manusia dan satwa liar. Sebagai contoh, pada tahun 2022 di Sumatra terjadi tiga kasus konflik manusia dan satwa liar. Seekor orangutan mati akibat kekerasan di Taman Nasional Leuser, seekor gajah liar menginjak petani hingga tewas di Riau, dan harimau sering turun ke permukiman di Aceh Selatan untuk memangsa ternak warga (Mongabay, 2023). Konflik ini tidak hanya mengancam kehidupan satwa liar, tetapi juga menurunkan populasi mereka.

Selain itu, kerusakan hutan turut memperburuk pemanasan global. Pada tahun 2023, suhu rata-rata di Indonesia mencapai 27,2°C, dengan anomali sebesar 0,5°C, menjadikan tahun tersebut sebagai tahun terpanas kedua sepanjang sejarah (BBC Indonesia, 2024).

Proyek Food Estate kini menjadi ancaman nyata bagi keanekaragaman hayati dan lingkungan. Jika tidak dikelola dengan baik, program ini dapat menyebabkan hilangnya spesies flora dan fauna, serta memperburuk perubahan iklim. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali pendekatan ini. Sebagai alternatif, ketahanan pangan dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan lahan persawahan yang ada tanpa merusak hutan. Selain itu, solusi inovatif seperti pertanian vertikal atau teknologi pertanian presisi dapat diterapkan untuk mendukung produksi pangan yang berkelanjutan.

Partisipasi masyarakat juga penting dalam mengawasi dan menolak kebijakan yang merusak lingkungan. Dengan demikian, keberlanjutan alam dapat dijaga, sekaligus memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0