Dibalik Kesadaran

Penulis: Kharisma Nur Fitria

Pukul 13.00 siang. Energiku sudah terkuras habis pada pelajaran-pelajaran sebelumnya. Mustahil bagi seorang pelajar biasa seperti aku untuk bertahan menghadapi pelajaran selanjutnya.

“Ayo, Junet, jangan tidur di kelas!” ibu guru Mei menegurku.

Aku sudah berusaha menahan kantuk untuk mendengar beliau menyampaikan materi —bagiku sebuah dongeng— mengarang.  Suaranya semakin samar di telingaku dan membawa kesadaranku menuju dimensi lain.

            Pelajaran hari ini sudah berakhir, nampaknya begitu. Aku selalu berjalan kaki baik berangkat atau pulang dari SMA kecintaanku yang tidak jauh dari rumah. Tidak ada yang berubah sama sekali dari jalanan ini tetapi ada sesuatu yang menggangguku.

            Sesaat aku tersadar dengan perasaan ngeri, gambar corat-coret di dinding itu bergerak. Sungguh, aku pun awalnya tidak percaya dengan hal itu. Gambar abstrak itu bergerak sesuka mereka. Garis-garis yang tadinya melengkung, ruwet, tidak karuan, kini membentuk lukisannya sendiri dengan indah.

            Aku penasaran, apakah mereka —coretan itu— dapat berbicara juga? Akan sangat menghebohkan jika memang mereka bisa. Benar saja, aku hanya membatin ucapan itu dan sekelebat garis-garis itu membentuk dirinya menjadi susunan kalimat “Aku bisa mengerti pikiranmu”.

“Hah, kau bisa bicara?” ujarku lantang.

“Aku hanya bisa mengerti pikiranmu.”

            Sesaat aku terdiam dan membatin “mereka bisa mengerti pikiranku?”. Terjadi lagi, garis-garis itu menunjukkan kepiawaiannya melukis diri membentuk kata.

“Ya, aku bisa.”

“Hanya melalui pikiranmu saja.” sambung lukisan kata sebelumnya.

            Jika hanya pikiranku yang mereka mengerti, berarti aku tidak perlu berbicara dengan dinding seperti orang bodoh. Aku membiarkan hal ini terjadi.

“Apa kau juga bisa mengerti pikiran orang lain?”

“Tentu, aku selalu mengerti pikiran orang yang berjalan di sini.”

“Misalnya?”

            Garis-garis di dinding itu tidak hanya melukiskan dirinya dalam bentuk kata, kali ini disertai gambar berjalan seperti nonton kartun saja pikirku. Aku memilih posisi duduk untuk menonton hal yang tidak biasa ini. Aku sejenak mengira ini mimpi tapi aku memiliki kesadaran untuk menikmati ini.

Cerita pertama. Garis-garis itu melukiskan seorang perempuan yang berjalan sendirian dengan gelembung di atas kepalanya, aku yakin itu adalah pikirannya.

“Apa aku harus berkulit putih, tinggi, dan langsing?”

Selanjutnya datang perempuan lain dengan gelembung berbeda

“Apa seharusnya kulitku tidak seputih ini, badanku tidak setinggi ini, dan sedikit lebih berisi?”

Kemudian datang gambar dua orang laki-laki di belakang dua perempuan tadi dan muncul satu gelembung.

“Yang itu terlalu hitam, pendek, gemuk. Yang satu lagi malah terlalu putih, ketinggian, badannya seperti lidi. Tapi keduanya oke sajalah buat senang-senang.”

            Aku menelan ludah melihat isi pikiran yang ada di gambar-gambar itu. Aku laki-laki tetapi tidak sampai memikirkan hal seperti yang ditampilkan gambar itu. Ya, setidaknya tidak seperti itu kepada manusia. Garis-garis itu menggulung diri sehingga aku bisa melihat dinding itu dengan bersih.

            Cerita kedua. Terlihat dua pasangan, aku yakin karena mereka digambarkan dengan juntaian tali yang terikat dan berpelukan.

“Nanti pulang mau cerita deh soal tadi.” gelembung keluar dari si perempuan.

“Aku ga tahan lagi. Sudah kusiapkan untuk malam nanti.” gelembung satunya dari si laki-laki dibumbui dengan gambar —bercinta— mesra.

            Aku semakin tertegun‚‘‘Bagaimana bisa ketulusan itu dipaksa menemani nafsu? Ada yang ingin berbagi dan yang lain ingin memuaskan diri, ketidakadilan itu hadir dalam hubungan itu. Dan perempuan?’’

            Cerita ketiga. Terlihat seorang perempuan mengendarai motor dengan jaket ojek online yang khas. Aku menduganya sebagai driver ojek online. Hal itu membuatku kagum. Bagaimana kesanggupan seorang perempuan melakukan pekerjaan yang dituntutkan kepada seorang laki-laki? Kemudian garis-garis itu membentuk seorang laki-laki yang bersandar di dinding seberang sana.

Gelembung hanya keluar dari laki-laki itu.

“Asik sepertinya dibonceng ojol wanita, lumayan bisa dapat untung banyak.”

Gelembung itu disertai gambar nyeleneh si laki-laki membonceng dan memeluk wanita itu dengan paksa. Menjijikkan.

            Garis-garis itu kembali menggulung diri. Mereka pergi, tidak kembali lagi sampai beberapa saat sebuah titik muncul. Titik itu membesar, semakin besar, dan bertambah besar seolah-olah hendak menelanku. Aku serasa ditariknya dan terjatuh.

“Haaaah” aku terbangun dengan terkejut.

Itu hanya mimpi. Tunggu, tetapi aku merasa kesadaranku penuh sewaktu melihat semua itu. Aku menikmatinya bahkan berpikir di sana.

“Ayo, sekarang coba buat karangan sesuai dengan apa yang sudah ibu sampaikan tadi. Gunakan imajinasi kalian untuk menggambarkan sebuah persoalan.” tiba-tiba ibu Mei menyerukan perintah.

            Kepalaku masih pusing karena terbangun dengan cara seperti itu. Kesadaranku telah kembali ke dimensi —nyata— ruang kelas yang ramai dan bukan di jalan itu lagi. Aku tidak tahu seperti apa materi yang disampaikan bu Mei, karena terburu waktu aku menuliskan kesadaranku di dimensi lain sebagai sebuah karangan yang nyata.

            Aku mulai menulis karangan dengan sebuah pertanyaan yang tentu akan aku jawab dengan kesadaranku di jalan itu. Barangkali tiga pertanyaan aku rasa sudah cukup.

‘’Bagaimana bisa perempuan hidup diperlakukan dengan sangat tidak adil?’‘

‘’Mengapa perempuan lahir sebagai objek dari laki-laki?’’

‘’Kenapa laki-laki harus terlihat baik?’’

            Aku berharap sekarang mengantuk lagi agar bisa kembali kepada kesadaranku yang lain. Aku ingin bertanya kepada dinding itu “apakah aku akan menjadi laki-laki seperti itu?”. Sungguh memalukan jika benar iya. Tidaklah aku bergantung kepada perempuan selama ini, bahkan seorang bernama ibu yang tidak tahu ada dimana. Meski begitu aku tidak membenci makhluk bernama perempuan hingga memanfaatkannya. Aku hanyalah aku. Urusanku bersama makhluk yang terpaksa dipanggil ibu bukan dengan perempuan.

            Hidupku memang tidak adil tetapi melihat kesadaranku yang lain, perempuan bahkan mungkin tidak sadar dengan ketidakadilan itu. Laki-laki terlalu mahir menutup diri dengan pikirannya yang brengsek. Semakin aku menyelami kesadaranku yang lain, keningku semakin berkerut.

“Ayo, kumpulkan karangannya!” perintah ibu Mei sembari mengetuk meja.

            Aku berdiri membawa kertas yang sudah berisi tulisan panjang. Entahlah apa yang aku tuliskan. Semoga saja jika tidak sesuai dengan pinta guru itu jangan sampai mengulang saja. Aku sudah tidak punya waktu untuk membawa kesadaran semacam itu lagi. Aku berjalan pulang dengan kesadaran di dunia yang disebut nyata. Tibalah aku di muka lorong dinding itu. Aku berhenti untuk mempersiapkan diri apabila itu terjadi kali ini. Aku dengan sadar mengisi pikiranku dengan penuh agar garis-garis di dinding itu bingung melukiskannya. Langkah kupercepat agar segera tiba di titik aku duduk menonton pertunjukan itu. Sial, aku berhenti. Kesadaranku kembali, kenapa aku harus melakukan ini? Garis-garis itu hanya mimpi begitu juga kisahnya. Aku menoleh ke sebelahku, ya berdiri kokoh dinding  dengan gelembung coretan kecil. Kesadaranku terpecah, lagi.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0