Pernyataan Sikap ‘Darurat Kekerasan Polisi’

Berulang kali kekerasan polisi terjadi dan memakan korban dalam jumlah yang luar biasa. Usman Hamid Direktur Amnesty International menyebut ada 579 warga sipil menjadi korban kekerasan Polisi selama rangkaian aksi 22-29 Agustus 2024 di sejumlah provinsi. Bahkan Amnesty International mencatat dalam periode Januari-November 2024 ada 116 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia.

Jika ditilik sebabnya tentu ada banyak faktor: transparansi hingga tidak ada hukuman yang tegas untuk pelaku. Yang lebih berbahaya lagi adalah cara pandang Kepolisian atas segala bentuk tuntutan masyarakat dianggap sebagai ancaman sehingga responya selalu kekerasan. Malah dalam banyak kasus kekerasan terjadi karena soal ketersinggungan aparat Kepolisian hingga kekuatiran yang tak ber-alasan. Polisi kini menjadi institusi yang gagal menjadi pelindung apalagi pelayan masyarakat. Kegagalanya bisa disebabkan oleh kepemimpinan hingga budaya institusi.

Maka penting untuk melakukan evaluasi atas kinerja Kepolisian dengan meletakkan alat ukur HAM sebagai parameternya. Melalui alat ukur HAM itulah institusi Kepolisian tidak lagi bisa bertindak sewenang-wenang, tidak mudah digunakan oleh kekuasaan untuk kepentingan politik sesaat hingga terhindar dari penyalah-gunaan wewenang serta otoritas yang dimilikinya. Tak ada cara lain selain menuntut keterbukaan juga keterlibatan masyarakat dalam penentuan kepala Kepolisian.

Yang lebih penting dari itu penghukuman bukan hanya atas aparat kepolisian yang terbukti melakukan pelanggaran melainkan juga pembatasan dan pengurangan anggaran. Jika Kepolisian masih menyalah-gunakan wewenangnya maka anggaran perlu dan musti dibatasi bahkan dikurangi. Pengurangan anggaran adalah mekanisme ‘penghukuman’ pada budaya institusi yang tidak menghormati nilai-nilai HAM. Darurat kekerasan Kepolisian telah membangunkan kita semua bahwa pengawasan bahkan kontrol atas wewenang Kepolisian saatnya dilakukan oleh semua kalangan.

Semua tahu kita bukan hanya membutuhkan Kepolisian yang melindungi tapi juga menjamin masyarakat untuk bebas menyatakan suara dan pandanganya. Semustinya Polisi belajar dari sejarah bahwa kemandirian yang didapatkanya hari ini adalah perjuangan luar biasa dari semua gerakan masyarakat sipil di era 98. Polisi sebaiknya sadar diri bahwa posisi yang didapatkanya hari ini bukan karena perjuangan institusinya. Maka wajib bagi Polisi membayar ‘hutang sejarah’ itu dengan menghidupkan lagi kultur HAM dalam penggunaan wewenangnya dan memberikan pintu seluas-luasnya masyarakat untuk mengontrol kinerjanya.

Pada peringatan HAM kali ini saatnya Polisi mulai mengubah diri dengan melakukan:

  1. Perombakan kepemimpinan yang musti dilakukan secepatnya mengingat kinerja kepemimpinan selama ini menjauh dari ciri polisi di negara demokrasi yang mengakibatnya jatuhnya korban masyarakat sipil.
  2. Memberi wewenang pada publik untuk menilai kinerja dan kemampuan Polisi pada berbagai level dengan membuka seluas-luasnya keterlibatan masyarakat untuk memilih pimpinan Kepolisian di level pusat hingga daerah
  3. Memastikan pada aparat Kepolisian di semua level untuk memahami, mengerti bahkan mampu untuk bertindak sesuai dengan prinsip prinsip HAM
  4. Memberikan hukuman keras pada aparat Kepolisian yang terbukti melakukan kekerasan dengan menjatuhkan sanksi pidana bukan sanksi etik. 
  5. Membatasi dan mengontrol anggaran Kepolisian yang selama ini tidak dikaitkan dengan kinerja dan peran Polisi dalam penghormatan pada HAM. Anggaran Kepolisian musti diletakkan dalam pencapaian nilai-nilai HAM dalam kinerjanya.
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0