Penulis: Mansurni Abadi
(Asisten Peneliti di Institut kajian etnik), Universitas kebangsaan Malaysia )
Entah apa yang ada didalam benak segelintir kontestan pilkada yang secara terang-terangan meremehkan kapasitas perempuan dalam memimpin. Belum selesai perdebatan kita tentang peran perempuan yang semestinya di panggung politik, yang tidak hanya sekedar pelengkap kuota, penerus dinasti, apalagi berpotensi menjadi boneka kekuasaan patriarki yang output dari keterlibatan mereka kemudian tidak berdampak pada upaya-upaya perlawanan terhadap patriarki itu. Ternyata masalah seksisme masih menjadi racun dalam situasi dan kondisi perpolitikan kita.Tentu menjadi sebuah tanya, akan menjadi apa Indonesia emas yang kita nanti-nantikan itu kalau seksisme di perlihatkan secara gamblang di level kontestasi politik
Seperti alegori gue plato
Keterkaitan antara penindasan perempuan atau seksisme dengan alegori gua (Allegory of the Cave; Perempuan dari Gua) Plato yang terletak pada bagaimana keduanya menggambarkan pengalaman keterjebakan dalam realitas yang terdistorsi dan perjuangan untuk terbebas dari sistem yang dibangun di atas ilusi.
Dalam Alegori gue dadri Plato, para tahanan dirantai, dibatasi hanya untuk melihat bayangan di dinding, dan mereka percaya bahwa bayangan tersebut adalah kenyataan. Metafora ilusi ini sejajar dengan bagaimana seksisme yang merupakan bentuk penindasan gender kemudian membentuk persepsi masyarakat terhadap perempuan.
Seperti para tahanan, masyarakat sering melihat perempuan melalui “bayangan” yang terdistorsi—stereotip terkait peran gender yang bias—masih membatasi bagaimana perempuan dipandang dan bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Keterbatasan sosial ini terus memupuk ketidaksetaraan, sama seperti para tahanan di gua yang terjebak oleh ilusi bayangan.
Ketika salah satu tahanan Plato melarikan diri dari gua dan melihat dunia nyata, ia menyadari bahwa bayangan itu hanyalah representasi palsu dari kenyataan. Dalam konteks seksisme, momen ini merepresentasikan perempuan yang membebaskan diri dari batasan sosial dan mulai menyadari potensi mereka, yang memberi mereka acuan untuk menolak gambaran yang terdistorsi yang dipaksakan kepada mereka.
Namun, sebagaimana tahanan yang melarikan diri tadi, maka diejek saat mencoba untuk membuat perbedaan menjadi konsekuensi yang harus terima oleh perempuan yang menantang struktur patriarki sering oleh mereka yang masih terperangkap oleh “bayangan” seksisme sebagai sesuatu yang normal.
“Wanita Jangan Dikasih Beban Berat, Apalagi Jadi Gubernur”, ketus salah seorang paslon Gubernur di suatu daerah yang selalu diterpa isu miring seputar politik dinasti dengan beragam kasusnya itu, adalah contoh dari sekian banyak asumsi yang salah terhadap kapasitas perempuan sehingga streotip gender semakin menguat.
Perkataan ini seakan-akan membuat perempuan tidak mampu berkontribusi seperti halnya lelaki, mereka harus terus berada di ranah domestik.
Semua dimulai dari dialog
Mempertahankan percakapan yang bermakna bukanlah sekadar ritual sosial yang sopan, tetapi merupakan landasan dari masyarakat yang sehat dan berfungsi. Dalam konteks demokrasi hal ini amat penting, meskipun untuk konteks Indonesia, kesadaran terhadap dialog yang bermakna masih jauh dari harapan.
Kemandekan dialog menciptakan benih perpecahan dan ketidakpuasan, berujung pada sentiment, politik yang berada dalam ruang hasrat dan nalar terpaksa di jebak untuk terus menerus pada pendulum hasrat.
Sentimen politik kemudian menggantikan pemahaman dan empati yang tulus yang menyebabkan ketidakpercayaan dan fragmentasi. Dalam keheningan percakapan kita, gema salah penilaian dan prasangka menjadi semakin nyaring.
Kita harus menyadari bahwa setiap dialog, betapapun sulitnya itu, adalah kesempatan untuk memperkuat struktur sosial yang waras , untuk menjembatani kesenjangan yang secara alami muncul di antara berbagai perspektif.
Mengabaikan dialog yang bermakna dalam politik, berarti mempertaruhkan kewarasan masyarakat kita dan melanggengkan stigma terhadap kemampuan perempuan.
Sekali lagi,dalam konteks politik , masyarakat sudah selayaknya dapat menantang dan membongkar norma-norma seksis yang membelenggu perempuan. Dengan keluar dari gua—memahami kesetaraan gender, menolak stereotip, dan membangun hubungan manusia yang tulus—kita semua dapat mulai memahami realitas kemampuan dan kontribusi perempuan di luar pandangan yang sempit dan bias yang dibentuk oleh norma patriarki. Namun hal itu membutuhkan pergeseran dalam kesadaran sosial untuk menghadapi dan membongkar persepsi yang terdistorsi yang membuat perempuan tertindas dengan cara apapun yang kita bisa.
Ilustrasi: A nutshell