Populisme Kiri: Konkrit atau Sia-sia?

Penulis: Anthony Homer

Populisme kiri atau dalam bahasa inggris disebut Left Populism merupakan istilah yang ramai diperbincangkan oleh aktivis maupun intelektual kiri internasional dalam 2 dekade terakhir. Ia digadang menjadi salah satu strategi jalan keluar dari kebuntuan dan kekalahan gerakan kiri dimana-mana. Ditengah tendensi menguatnya otoriarianisme konservatif negara, gerakan masyarakat sipil yang disibukkan oleh kampanye dan advokasi, strategi ini layak untuk kita ulas. Lantas, apa sebenarnya definisi dan istilah ini?

Term ini ditulis dan dipopulerkan pertama kali oleh 2 tokoh pemikir Post-Marxist yaitu Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dalam buku Hegemony and Socialist Strategy. Buku ini ditulis di akhir abad 20, menjelang keruntuhan Uni Soviet dan masa masa dimulainya era neoliberal. Tesis utama mereka dalam buku ini adalah gerakan kiri harus merubah paradigma marxisme ortodoks mereka dalam memandang kelas dan subjek gerakan. 

Selama ini tradisi pertentangan kelas antara kaum buruh dan kapitalis-lah yang merupakan isu dan subjek utama gerakan kiri. Sementara saat ini telah terjadi perubahan struktur kelas maupun macam-macam isu yang terjadi. Mulai dari isu perempuan, identitas gender, pekerja prekariat, hingga krisis iklim. Untuk itu gerakan kiri harus mengubah fokusan mereka dalam isu buruh atau kelas menjadi isu yang lebih universal dan populer. Salah satu jalannya adalah melalui Populisme Kiri.

Populisme kiri menganggap gerakan kiri harus menjadi gerakan yang mampu menampung dan menjadi payung dari berbagai ketertindasan dan isu sosial yang terjadi. Untuk menjadi lebih populis, dalam artian mendengarkan dan menyesuaikan dengan isu isu khalayak publik yang relevan hari ini. Mengubah perspektif dari mencorongkan segala isu sosial sebagai sebab-akibat dari pertentangan kelas. Atau menjadikan subjek kelas buruh menjadi satu-satunya subjek yang perlu diorganisir, dimobilisasi hingga menjadi corong utama revolusi. Gerakan kiri dalam pandangan populisme kiri berfokus untuk mengawal isu isu yang ‘viral’ dalam publik. 

Populisme kiri itu ‘laku-lakunya’ paska krisis ekonomi 2008, yang ditandai dengan berbagai gerakan rakyat yang terjadi di seluruh dunia. Mulai dari Arab Spring hingga Occupy Wall Street. Namun sebagaimana kita ketahui, berbagai gerakan tersebut meski mengumpulkan massa ribuan hingga ratusan ribu, tidak menghasilkan perubahan kebijakan yang signifikan. 

Selepas redupnya demonstrasi-demonstrasi periode awal 2010an, gerakan rakyat mulai bergeser dari mobilisasi massa, menuju politik partai. Di Yunani mulai ramai dukungan terhadap Syriza, di Spanyol terhadap Podemos, di Inggris Raya terhadap Jeremy Corbyn dengan Labour Party. Berbagai partai dengan nuansa ‘kiri baru’ nan populer dikalangan anak muda ini mendapatkan dukungan yang luar biasa besar, bahkan melampaui partai kiri ortodoks masa itu. 

Namun, popularitas partai kiri model baru ini tidak bertahan lama. Karena one thing or another seperti masalah bagaimana menentukan batasan koalisi partai, problematika kepemimpinan yang tidak menepati janji hingga tidak bisa mengatasi isu imigran menjadi beberapa alasan mengapa partai populis kiri tidak mendapatkan dukungan sebanyak ia diawal. Ini menyebabkan right wing populist menjadi jauh lebih kuat. Kekuatan sayap kanan dalam menyederhanakan isu struktural untuk diarahkan menjadi kebencian terhadap suatu kelompok menjadi kunci. Entah itu kebencian terhadap pemimpin tertentu, terhadap imigran bahkan terhadap kaum muslim. 

Di USA malah lebih ironis. Konservatif kanan yang justru mengambil retorika anti kelas elit dan ia mendapatkan support yang besar dari kelas pekerja dan rural pedesaan. Kaum kiri justru tidak berani radikal dalam memberikan tawaran kebijakan progresif dalam bidang ekonomi, yang itu sebenarnya akan mendapatkan banyak support dari kelas bawah, seperti kenaikan UMR, penambahan pekerjaan dan jaminan sosial yang layak. Kaum kiri lagi kaku-kakunya. Sebagaimana kata Walter Benjamin, “Behind every fascism, there is a failed revolution.”

Dalam konteks Indonesia, konsolidasi oligarki semakin menguat dengan kebijakan anti rakyat seperti UU Cipta Kerja dan rencana Prabowo untuk memperbesar kabinet. Statement Jokowi bahwa Indonesia tidak memerlukan oposisi seperti negara lain juga menguatkan bersatunya para elit. Namun ini saya rasa merupakan peluang terbesar untuk membangkitkan gerakan populisme kiri. Ketiak tidak ada oposisi, tidak ada sandara politik bagi rakyat yang sudah muak, maka gerakan rakyat harus menawarkan jalan keluar. Karena salah satu prakondisi strategi populisme kiri sudah ada yakni antagonisme politik, memiliki common enemy yang jelas, yakni Prabowo, Oligarki dan kroninya.

Ini semua sudah dilakukan oleh gerakan, bedanya apa? Konkritnya apa? Memang benar bahwa berbagai platform politik sudah coba dibangun seperti Partai Buruh dan Partai Hijau Indonesia. Namun saya rasa dalam segi strategi populisme kiri, mereka belum terlihat jelas melakukannya. Menerapkan strategi populisme kiri berarti menawarkan program politik progresif sembagi menggunakan cara-cara yang populer. Beralih daripada kampanye-advokasi menjadi eskalasi politik dan mobilisasi publik secara luas.

Populisme kiri hanyalah merupakan salah satu tahapan strategi sebelum ada partai massa ideologis. Kita harus membedakan antara strategi populis dan prinsipil ideologis agar kemudian tidak terbentur pada tuntutan populis yang bisa jadi diskriminatif, misoginis dan anti-diversitas. Untuk mencapai itu semua, saya rasa kita bisa mempraktekkan berbagai bentuk perlawanan dan pembangkangan. Seperti mobilisasi-okupasi ruang publik, penyebarluasan wacana progresif, membentuk blok pelajar, hingga melakukan disrupsi dan pembangkangan sipil. Semua ini pada akhirnya adalah untuk merumuskan desain politik dan menuju dunia baru yang pos-kapitalis. 


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0