Penulis: Abil Aqram
Democracy is not just about voting, but about active participation and informed citizens
Jurgen Habermas
Jika mengikuti konten-konten viral yang berseliweran di media sosial belakangan ini, kita akan melihat banyak video kompilasi mengenai keblunderan calon kepala daerah dalam debat Pilkada. Dalam istilah yang lebih populer, para pembuat konten menyebutnya sebagai Pilkada Core. Video-video ini selain begitu kocak juga menampilkan bagaimana buruknya kapasitas para calon kepala daerah dalam menyusun dan menyampaikan visi dan misi.
Untuk menyebut beberapa contoh, dalam debat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Suswono, cawagub paslon nomor urut 1, menyarankan agar para janda kaya menikahi pria pengangguran. Ia menyinggung soal kisah Siti Khadijah-seorang janda kaya Mekkah-yang menikah dengan Nabi Muhammad sebagai contoh atas sarannya tersebut dengan nada yang agak seksis.
Ada pula pernyataan kocak dari Calon Bupati Nganjuk, Ita Triwibawati yang dalam debat pilkada berinovasi ingin mengubah brambang (bawang merah) menjadi bawang goreng dan mengubah padi menjadi beras. Tak sampai di situ, di Tanggerang, calon wakil bupati nomur urut 1 bernama Irvansyah Asmat menyatakan ingin berupaya untuk meningkatkan inflasi sebagai strategi menaikkan Indeks Kemandirian Fiskal (IFK).
Di luar konteks debat pilkada, seorang calon bupati Mesuji, Elfiana, dalam kegiatan kampanye menjanjikan kepada para pemilihnya bahwa di hari kiamat mereka akan masuk surga bersama Nabi Muhammad. ”Kita dipanggil, hai orang-orang Mesuji kemarin yang memilih nomor dua, ayo ikut bersamaku, karena program nomor dua menyantuni anak yatim. Masuk surga bersamaku, kata nabi,” sebutnya.
Debat Pemilu dan Kualitas Pemangku Kebijakan Kita
Apa yang kita lihat pada pagelaran debat pemilu saban hari mempertontonkan dengan terang bagaimana kualitas para pemangku kebijakan kita. Maka tak heran, kenapa hukum dan kebijakan yang dihasilkan baik pada tingkat nasional maupun regional juga tak berkulitas. Ini agaknya disebabkan oleh karena motif dan tujuan para calon tidak lagi dilandasi oleh keinginan menyejahterakan masyarakat, melainkan untuk memuluskan berbagai kepentingan pribadi.
Kita pernah berada pada suatu masa di mana para pemangku kebijakan melakukan pertaruangan ideologis yang substansial dalam ruang-ruang publik, khususnya dalam proses perumusan kebijakan. Hal yang saat ini agaknya absen dari para politisi bangsa ini. Kini kita hanya diperlihatkan debat kusir yang penuh dengan sesat pikir dan adu sentimen.
Debat pemilu yang seharusnya menjadi ruang publik dan forum bagi warga negara untuk menentukan pemimpin yang lebih baik, hanya menjadi semacam agenda formalitas dan tempat saling serang tanpa adanya pertarungan ide atau gagasan yang substansial. Tak jarang para politisi mengulik-ulik ranah privat lawan politiknya untuk mendulang elektabilitas yang lebih tinggi. Pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sarat akan kepentingan pribadi, alih-alih merumuskan hal yang berkenaan dengan kepentingan publlik.
Sudahkah Partai Politik Mendidik Rakyat?
Dalam segala kekacauan politik ini siapakah yang seharusnya paling bertanggungjawab? Tentunya, akan sangat sulit menjawab pertanyaan ini. Karena berbagai kekacauan politik di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yang multi-kompleks. Namun, dalam konteks pemilu, hal yang perlu kita pertanyakan dan persoalkan adalah peran partai politik.
Fungsi partai politik pada dasarnya telah diamanatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pada pasal 11 ayat (1) huruf a, dinyatakan:
“Partai politik berfungsi sebagai sarana: pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Bercermin pada undang-undang di atas, kita sepakat bahwa peran dan fungsi tersebut tak sepenuhnya dijalankan oleh partai politik. Tak usah muluk-muluk, kita dapat membayangkan saja bahwa hari ini, antara pemerintah atau politisi-sebagai pelayan kepentingan rakyat-dan rakyat itu sendiri terdapat kesenjangan yang begitu parah.
Dalam pandangan umum masyarakat, politisi ataupun pemerintah seakan menjadi warga negara kelas satu dan rakyat biasa (warga miskin dan menengah ke bawah) menjadi warga negara kelas tiga-sedangkan para pengusaha dan agamawan barangkali menjadi warga negara kelas dua. Dengan kesenjangan yang sedemikian rupa, bagaimana pula partai politik dapat menjalankan fungsinya untuk memberikan pendidikan politik pada rakyat?
Oleh sebab kegagalan parpol untuk mendidik rakyat-bahkan untuk sekadar mendidik kadernya-kita akhirnya melihat begitu banyak orang-orang yang tak kompeten maju sebagai calon pemimpin. Pengusungan calon tersebut pun tidak melalui proses yang sehat dan meritokratis. Parpol lebih memilih mengusung calon dari orang yang kaya dan populer ketimbang yang benar-benar memiliki kecakapan dan kapasitas dalam memimpin.
Menjaga Ruang dan Nalar Publik dari Kedunguan Para Politisi
Kita patut mengamini bahwa pemimpin adalah cerminan orang-orang yang ia pimpin. Baik-buruknya kualitas pemimpin kita, akan menentukan pula kualitas masyarakat kita. Jika wacana yang bertebaran dalam ruang publik begitu konyol-seperti yang terjadi pada pilkada-maka akan membentuk rasionalitas publik yang juga tak kalah konyol. Jangan heran jika banyak calon pemimpin yang blunder dalam debat, tetapi punya suara pemilih yang besar. Sebab pemilu-dalam istilah F. Budi Hardiman-adalah batu uji rasionalitas publik.
Saat ini, dengan adanya perkembangan teknologi, setiap warga semakin mudah untuk mengakes ruang publik. Namun, akses yang mudah ini tak berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas demokrasi kita. Sebab, teknologi informasi seperti media sosial menjadi ruang yang sangat mudah digunakan politisi untuk menggiring nalar dan opini publik. Adanya buzzer dan upaya penyebaran hoax serta disinformasi dalam dunia medsos menjadi bukti akan hal itu.
Betapapun masifnya pembodohan nalar publik yang dilakukan para politisi dan pemangku kebijakan, upaya menjaga nalar tersebut perlu tetap dipertahankan. Terlebih di era digital yang semakin memperluas ruang publik tersebut. Kita tentunya tak ingin terjebak dalam ruang publik yang semu: ruang bersama yang seolah-olah ada dan setara namun tak menjamin terjadinya pertukaran pikiran dan demokrasi yang deliberatif.
Apa yang perlu dilakukan pertama kali tak lain adalah membangun gerakan alternatif pendidikan politik bagi rakyat. Ruang publik yang ideal hanya dimungkinkan jika setiap orang di dalamnya setara, tak hanya pada urusan status sosial, namun juga pendidikan, terkhusus mengenai politik. Di samping itu, kita perlu meramaikan ruang digital dengan “nalar yang sehat” untuk membungkam para buzzer dan politisi yang berupaya melakukan pembodohan nalar publik dengan penyebaran hoax dan disinformasi secara masif.
Dengan ini, kita setidaknya berusaha menolak kedunguan politisi dan menjaga ruang publik kita dari pembodohan sambil berupaya menemukan Volonte Generale dalam percakapan-percakapan yang deliberatif.
Ilustrasi: A nutshell