Paradoks Kemajuan: Ketika Budaya Adat Memimpin Jalan Manusia ke Masa Depan

Penulis: Zain N. Haiqal

Pendahuluan

Dewasa ini modernisasi seperti tak kenal batas. Hampir setiap saat kita bisa menemukan orang-orang membicarakan cara hidup yang lebih “modern” melalui layar ponsel atau media sosial. Banyak orang terutama generasi muda yang hidup di hari ini seolah merasa sudah paham akan kehidupan, seakan-akan telah sampai pada puncak pemahaman tentang bagaimana seharusnya hidup dijalani.  

Ironisnya yang menjadi ironi bahwa tanda-tanda yang ada justru menunjukkan bahwa generasi ini mulai melupakan hal-hal mendasar yang penting dalam hidup. Banyak masalah yang awalnya rumit, kini tampak seolah bisa diselesaikan hanya dalam video singkat satu atau dua menit. Membenarkan opini pribadi orang lain tanpa data, melegitimasi sumber-sumber yang tak jelas, menjelma bak hipokrit dengan sindrom antikritik dan bahkan menjatuhkan akademisi hingga tak mempunyai harga diri. Tetapi apa artinya jika kita tidak benar-benar memahami ini dan menyelesaikan masalah hidup sesungguhnya yang sedang menempel di jidat kita?

Sebenarnya banyak masalah sederhana yang kita hadapi ini tidak sesederhana itu. Meskipun kita bergerak maju dalam hal teknologi namun mundur dalam menghargai sesuatu. Sebab perubahan di masyarakat tidak selalu terjadi secara langsung atau kasat mata. Ada banyak dinamika yang bergerak yang terkadang perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan tanpa kita sadari. 

Di sisi lain perubahan ini bisa datang dari dalam diri manusia sendiri atau dari luar. Misalnya dorongan untuk memiliki pemikiran atau pandangan baru seperti keberanian untuk mengubah nasib, atau tekad seseorang untuk memperjuangkan sesuatu. Dorongan ini sering kali muncul dari mereka yang kritis dan ingin membawa perbaikan, bahkan jika ide-ide mereka dianggap aneh atau sulit diterima.

Namun perubahan itu juga banyak dipengaruhi oleh tekanan eksternal seperti pertumbuhan penduduk yang tinggi, kebutuhan akan sumber daya yang semakin besar, dan keinginan untuk mengejar keuntungan material. Sumber daya alam kita dieksploitasi secara besar-besaran untuk memenuhi kepentingan ekonomi global, sering kali demi keuntungan pihak-pihak tertentu yang mengejar kepuasan pribadi atau kelompok. Akibatnya, bumi kita menjadi semakin terkuras, sakit dan tertindas. Sebab penebangan hutan secara besar-besaran telah dimaklumi untuk kebutuhan manusia. Lalu  pencemaran air, udara, dan tanah semua terjadi bersamaan dalam skala yang mengkhawatirkan. Dalam jangka panjang ini tidak hanya merusak lingkungan tempat tinggal kita, tetapi juga memperburuk keadaan atas kepunahan ke enam serta krisis iklim yang sedang kita hadapi.

Manusia Modern Bermain Peran

Di sinilah perubahan budaya manusia modern memainkan peran besar. Modernisasi telah membawa kita ke dunia yang serba cepat, instan, dan terkoneksi secara global. Di satu sisi, ini membawa banyak kemajuan dan kenyamanan. Namun di sisi lain, modernisasi sering kali meminggirkan nilai-nilai budaya tradisional yang menghormati alam dan kehidupan sosial yang harmonis. Banyak orang kini hidup dengan orientasi konsumtif dan mengejar kebahagiaan material, tanpa lagi mengindahkan nilai-nilai lokal yang dahulu memandu kita untuk hidup lebih sederhana dan bersahabat dengan alam.

Belajar dari Kearifan Budaya Lokal

Masyarakat adat di berbagai belahan dunia memiliki cara pandang yang mendalam dan menyatu dengan alam, berbeda dengan pandangan modern yang sering kali melihat alam sebagai objek yang bisa diambil dan dimanfaatkan sebebas-bebasnya. Bagi masyarakat adat alam bukanlah sekadar sumber daya atau tempat tinggal; ia adalah bagian integral dari kehidupan, layaknya seorang kerabat yang harus dijaga dan dihormati. Alam adalah bagian dari identitas, keyakinan, dan keseharian mereka yang telah terjalin selama ribuan tahun.

Suku-suku di Amazon, memandang hutan sebagai rumah sekaligus penjaga kehidupan. Mereka percaya bahwa setiap pohon, sungai, dan binatang memiliki peran penting dalam keseimbangan alam. Bagi mereka, menebang pohon atau memburu hewan hanya diperbolehkan sesuai kebutuhan, bukan untuk keuntungan pribadi. Hutan Amazon, yang sering kali disebut “paru-paru dunia,” mendapat perlindungan dari masyarakat adat ini melalui praktik yang telah diwariskan turun-temurun. Berbeda dengan metode modern yang eksploitatif, cara mereka mengelola hutan bersifat berkelanjutan, menjaga ekosistem agar tetap lestari dan harmonis. Misalnya, masyarakat Maori di Selandia Baru, yang memandang alam sebagai bagian dari kehidupan spiritual dan fisik mereka. 

Tarian Adat Suku Maori

Dalam budaya Maori, konsep “kaitiakitanga” atau “penjagaan” menekankan pentingnya melindungi alam sebagai tanggung jawab bersama. Para tetua Maori mengajarkan bahwa manusia adalah penjaga alam dan bukan pemiliknya. Dengan pemahaman ini, masyarakat Maori menjaga ekosistem laut dan darat di sekitar mereka, memastikan bahwa lingkungan tetap sehat untuk generasi mendatang.

Tarian Adat Suku Maori

Cara pandang masyarakat adat ini sebenarnya mengandung nilai-nilai yang sangat berharga untuk diadopsi oleh dunia modern yang sedang menghadapi krisis ekologis. Alih-alih berfokus pada eksploitasi sumber daya alam demi keuntungan ekonomi, mereka mengajarkan kita untuk memandang alam sebagai sesuatu yang sakral, yang memiliki hak hidup dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Sifat saling terhubung yang mereka yakini—bahwa manusia, tumbuhan, hewan, dan unsur-unsur alam lainnya memiliki hubungan timbal balik—merupakan konsep penting yang kian dilupakan di era modern ini.

Kaitiakitanga Consept

Tidak jarang kita mendengar bahwa program-program modernisasi justru sering mengorbankan ekosistem yang berharga. Penggundulan hutan untuk perkebunan monokultur, perburuan hewan secara masif, atau eksplorasi besar-besaran demi sumber daya, semuanya meninggalkan kerusakan jangka panjang pada lingkungan dan mengancam keberlanjutan kehidupan. Sementara itu masyarakat adat yang tinggal dan hidup bersama alam selama berabad-abad tetap memegang teguh prinsip untuk tidak mengambil lebih dari yang mereka butuhkan. Mereka memahami bahwa memelihara alam berarti menjaga keseimbangan hidup untuk diri mereka sendiri dan generasi berikutnya.

Di Bali, terdapat sebuah sistem irigasi tradisional yang disebut subak yang merupakan sebuah warisan kearifan lokal yang jauh melampaui fungsi pertanian biasa. Subak bukan hanya soal distribusi air ke sawah-sawah, melainkan juga sebuah filosofi hidup yang mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas. Dalam pandangan masyarakat Bali, alam adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Dan subak adalah wujud nyata dari prinsip keseimbangan yang mereka yakini. Sistem ini diatur dengan cermat, dimana air dari gunung-gunung dialirkan melalui jaringan kanal dan terasering menuju sawah-sawah dengan cara yang berkelanjutan dan adil.

Irigasi Subak di Kintamani Bali

Subak bukan sekadar teknik pengairan; ia juga terjalin dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Bali. Konsep ini berakar pada filosofi “Tri Hita Karana” yang berarti tiga sumber kebahagiaan: hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Dalam setiap pertemuan subak, para petani bersama-sama membicarakan cara mengatur distribusi air agar setiap petak sawah mendapatkan bagian yang cukup, sekaligus menjaga kelestarian sumber air. Ini bukanlah pekerjaan individual melainkan tanggung jawab kolektif yang dijalankan dengan komitmen penuh terhadap alam.

Subak memungkinkan air untuk mengalir dengan ritme yang alami, tanpa mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan. Tak hanya petani yang diuntungkan, tetapi juga berbagai makhluk hidup yang bergantung pada ekosistem sawah, seperti burung, ikan, serangga, dan tumbuhan liar. Selama berabad-abad, sistem ini telah menjaga keseimbangan ekosistem di sekitar sawah-sawah Bali, membiarkan keanekaragaman hayati tumbuh subur dalam harmoni. 

Tri Hita Karana Concept

Apa yang dilakukan masyarakat Bali ini adalah contoh yang inspiratif tentang bagaimana kearifan lokal dapat berfungsi menjaga lingkungan. Subak mengajarkan kita bahwa pemanfaatan alam tidak harus berbenturan dengan pelestariannya. Prinsip adil, merata, dan berkelanjutan yang tercermin dalam subak menjadi bukti bahwa kesejahteraan manusia bisa berdampingan dengan kesejahteraan alam. Hal ini juga mengingatkan kita bahwa teknologi dan modernisasi tidak harus berarti meninggalkan tradisi; justru, tradisi seperti subak bisa mengajarkan cara yang lebih bijak untuk menjaga kelestarian.

Praktik serupa sebenarnya dapat ditemukan di berbagai budaya lokal lainnya di seluruh dunia. Masyarakat adat di berbagai tempat seringkali memiliki sistem tradisional yang menjaga lingkungan dan mempertahankan keseimbangan alam. Di Jepang, misalnya, sistem satoyama merupakan cara masyarakat lokal menjaga ekosistem hutan dan lahan pertanian dengan cara yang saling mendukung.

Basic Satoyama Concept

Di India praktik sacred groves menjaga area hutan sebagai tempat suci yang tidak boleh diganggu, yang akhirnya juga menjaga keanekaragaman hayati. Di seluruh dunia, kearifan lokal seperti ini telah menunjukkan pada kita bahwa manusia dan alam bisa hidup dalam keseimbangan jika ada penghargaan dan rasa tanggung jawab terhadap alam.

Scared Grove Concept

Krisis Ekologi dan Pertanyaan-Pertanyaan

Budaya-budaya lokal yang dahulu mengajarkan kita untuk menghargai alam kini seakan terlupakan digantikan oleh pola pikir modern yang berfokus pada keuntungan jangka pendek. Sebagai contoh, masyarakat adat di banyak daerah memiliki pandangan bahwa alam adalah rumah yang harus dijaga bersama, bukan sekadar sumber daya yang bisa diambil seenaknya. Sayangnya, nilai-nilai seperti ini semakin tergeser oleh gaya hidup yang seragam dan terkadang kurang peduli pada keseimbangan ekosistem.

Akibat dari pergeseran ini mulai terlihat jelas dalam bentuk krisis ekologis yang meluas dan perubahan iklim yang semakin parah. Hutan-hutan yang dulu menjadi rumah bagi berbagai spesies kini ditebang habis-habisan untuk membuka lahan pertanian atau perkebunan skala besar. Ini menyebabkan habitat satwa liar musnah, dan berbagai spesies kini terancam punah. Selain itu, hutan yang hilang berarti semakin sedikit pohon yang dapat menyerap karbon dioksida dari atmosfer, yang pada akhirnya mempercepat laju pemanasan global.

Perubahan iklim ini membawa banyak dampak nyata. Cuaca ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan semakin sering terjadi dan menambah beban bagi lingkungan kita yang sudah rapuh. Bahkan di Kutub Utara, es yang mencair menyebabkan habitat beruang kutub dan hewan lain yang hidup di kawasan tersebut terancam. Perubahan besar ini tidak hanya berdampak pada alam, tetapi juga kehidupan manusia di seluruh dunia.

Pada akhirnya, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan terus berjalan dengan gaya hidup modern yang merusak, atau kita akan kembali mempertimbangkan nilai-nilai yang menghargai alam dan hidup berdampingan dengannya? Apakah kita dapat menggabungkan teknologi dengan kearifan lokal untuk menjaga keberlanjutan? Sanggupkah kita menjadi generasi yang mengembalikan keseimbangan, menghentikan laju kerusakan dan melindungi bumi untuk masa depan?


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0