Jika kita tarik kembali ke akar permasalahan, kenapa kesetaraan gender seringkali gagal tercapai dalam konteks pergerakan yang seharusnya menjadi kawah candradimuka terciptanya bibit-bibit pembentuk masyarakat yang progresif, adil, dan inklusif itu, ternyata tidak jauh- jauh dari ketidakseimbangan antara narasi dan aksi.
Di level narasi, kita sudah membicarakan banyak isu, teori, dan strategi yang menggebu-gebu akan kesetaraan gender namun pada tataran aksi, kesemua itu sirna ketika perempuan yang terlibat dalam dunia pergerakan , ternyata masih dijebak dengan mitos domestifikasi yang menempatkan mereka hanya sebagai pelengkap untuk mempercantik line-up organisasi sehingga paradigma yang penting ada perempuan masih menjadi acuan.
Eksistensi dari praktik domestifikasi ini memaksa perempuan, baik secara langsung maupun tidak tetap terjebak pada tugas-tugas yang berkelindan pada stereotip yang dibentuk oleh patriakri seperti pada persoalan bersih-bersih komisariat, menyiapkan suguhan ketika pertemuan, atau hanya sekadar pencatat notulensi. Oleh karena itu, persoalan kepemimpinan perempuan masih dianggap sebatas penghias kontestasi, sehingga perspektif perempuan yang bisa memperkaya dinamika seringkali diabaikan.
Disatu sisi, hadirnya para aktivis cum intelektual kelas Halo adek, semakin memperkuat keterpinggiran ini dengan racun-racun romantik khas drama picisan yang jauh dari esensi perjuangan karena mengundang subhat ketimbang manfaat, tidak sedikit kemudian kasus yang muncul di tubuh gerakan akibat kehadiran oknum-oknum yang seperti ini. Yang ironisnnya ketika itu terjadi, si korban (perempuan) seringkali dipersalahkan bahkan dibungkam atas dasar menjaga nama baik organisasi.
Situasi ini seakan-akan menjadi pembenaran dari hipotesis tentang kurangnya keberanian moral yang masih menjadi barang mahal dalam tubuh gerakan ketika terjadi praktik-praktik yang amoral dan nir-etika, apalagi ketika melibatkan gender.
Mengurai domestifikasi di tubuh gerakan
Dari sekian banyak buku yang menjelaskan seputar domestifikasi, saya peribadi menyukai pernyataan dari Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) tentang “seseorang tidak dilahirkan, tetapi menjadi perempuan,” maksud dari pernyataan ini sebenarnya merujuk pada gagasan bahwa peran gender bukanlah hasil dari kodrat biologis, tetapi konstruksi sosial.
Hal yang sebenarnya sama juga dijelaskan oleh Gerda Lerner, dalam The Creation of Patriarchy (1986) yang mengangkat istilah subordinasi perempuan sebagai apa saja yang membatasi peran perempuan di banyak bidang kehidupan sebagai sesuatu yang tampak normal. Hanya karena akibatnya, kontribusi perempuan dalam gerakan sosial sering kali diremehkan, hanya dilihat dan dianggap sebagai pelengkap atau penegas dari kontribusi laki-laki.
Secara sederhana, De Beuvoir dan Gerdad lerner ingin menjelaskan dari konteks kelamin seseorang—baik, laki-laki atau perempuan—dapat kita kategorikan yang biologis (kodrati), namun gender, atau makna yang dikaitkan dengan menjadi laki-laki atau perempuan itu ketika masuk kedalam masyarakat, sudah menjadi sesuatu yang dikonstruksi secara sosial , pada akhirnya kontruksi secara sosial ini kita terima begitu saja sebagai kebenaran. Padahal kita bisa membongkar sekiranya kontruksi itu salah kaprah. Namun tentu saja butuh perjuangan yang panjang, dimulai dari upaya-upaya dekonstruksi dalam narasi dan aksi terhadap domestifikasi perempuan.
4 Langkah melampuai mitos domestifikasi
Dekontruksi terhadap mitos domestifikasi perempuan menjadi kunci untuk mengeluarkan perempuan dari posisi yang subordinat, namun istilah terkesan akademis yang membuat kita berpikir terlalu berat padahal dekontruksi tidak mesti harus tenggelam dalam banyak bacaan dan diskusi yang berat, yang seringkali hanya mengantung diawang-awang. Setidaknya ada 4 cara sederhana mendekontruksi domestifikasi terhadap perempuan di ranah gerakan.
Yang pertama, membuka ruang terhadap kepemimpinan perempuan yang melampaui sekedar tunjuk sana dan sini, namun berdasarkan kapasitas dan kesiapan dari hasil pengembangan diri kader selama berproses di gerakan.
Yang kedua, skeptis terhadap narasi-narasi yang meragukan kemampuan perempuan, sebagaimana gossip atau desas-desus yang seringkali dibangun untuk mengondisikan persetujuan kita begitupun dengan narasi-narasi yang tidak berbasis nalar yang kritis. Kita harus bisa membedakan kritik dan sentimen dalam setiap narasi yang muncul kepermukaan. Menelaah kembali sumber-sumber sejarah dan teori kritis dapat menjadi senjata untuk melawan setiap narasi yang meragukan kemampuan perempuan.
Yang ketiga, berbagi peran yang setara dari hal-hal kecil semisalnya persoalan bersih-bersih dan menyiapkan jamuan yang tidak harus dibebankan pada perempuann namun juga pada para pria yang mana tugas-tugas yang bersifat sosial dalam tubuh gerakan tidaklah bias gender.
Yang keempat, menerapkan zero toleransi terhadap perilaku yang berpotensi mengarah atau sudah tergolong seksisme , yang dimaksud seksisme secara sederhana itu adalah setiap perilaku yang bertujuan untuk mempertahankan ketidaksetaraan gender yang berujung pada penindasan secara mental dan fisik.
Editor: Imanda Zahwa
Ilutrasi: A nutshell