Kumpulan puisi Raditya Timur Angin tentang ”Khan Younis” tersusun dari delapan bagian yang menceritakan perjalanan seorang tokoh melalui dekade penuh gejolak dalam kehidupan keluarganya, dari Palestina hingga pengasingan. Setiap bagian menggambarkan tragedi, kehilangan, serta harapan yang terus diperjuangkan oleh mereka yang terusir dari tanah airnya.
Pada bagian pertama, “Rumah, 1948”, puisi dimulai dengan sebuah gambaran rumah tangga sederhana yang mendadak harus meninggalkan rumah mereka akibat situasi politik yang memaksa. Adegan ini penuh dengan perasaan kehilangan, ketika keluarga dipaksa meninggalkan tanah yang telah mereka rawat selama bertahun-tahun. Penggambaran kakek yang mencabut pohon zaitun, simbol akar keluarga dan tanah, menekankan betapa dalam keterikatan mereka dengan tanah ini. Namun, simbol ini juga menjadi metafora bagi pemaksaan kepergian mereka, membawa perasaan pahit dan ketidakberdayaan.
Pada bagian kedua, “Khan Younis, 1953”, kerinduan terhadap rumah yang hilang begitu terasa. Tokoh puisi masih dihantui oleh kenangan masa kecil di rumah lamanya. Setiap detail dari kehidupan di rumah, seperti memanen buah zaitun bersama kakek atau aroma roti yang dipanggang ibu, menciptakan nostalgia yang kuat. Namun, di tengah kerinduan ini, realitas rumah baru yang sempit dan sulit di kamp pengungsi di Khan Younis menjadi kontras yang pahit.
Bagian ketiga, “Khan Younis, 1956”, menunjukkan eskalasi konflik dengan masuknya tentara Zionis ke Gaza. Tokoh mulai merasakan dampak perang secara langsung, dengan kepergian sang ayah sebagai pejuang Fidayi. Ketegangan meningkat saat tentara datang untuk menghancurkan kehidupan mereka yang sudah rapuh. Penulis menghadirkan ketakutan yang mencekam dan kehancuran yang terjadi di sekitar kamp, mencatat bagaimana kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Bagian selanjutnya, “Khan Younis, 1967”, mengungkapkan kekecewaan mendalam ketika perang yang dijanjikan akan mengembalikan tanah air justru mengakibatkan kekalahan besar. Kehilangan rumah untuk kedua kalinya menjadi luka yang lebih dalam. Penantian dan harapan untuk kembali ke rumah yang sudah lama hilang, serta ketiadaan ayah yang hilang, memperkuat tema penderitaan berulang dan kehilangan keluarga.
Pada bagian kelima, “Kairo, 1970”, narasi berkembang ke dimensi geopolitik yang lebih luas dengan kejatuhan para pemimpin Arab dan kegagalan upaya militer melawan Israel. Kumpulan puisi ini terus menggarisbawahi betapa rumitnya konflik ini, dengan penulis yang terlibat dalam berbagai pergolakan, seperti Revolusi Iran. Bagian ini memperlihatkan bagaimana si tokoh terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain, berjuang tanpa henti, tetapi selalu dihantui oleh kerinduan akan keluarga dan tanah kelahiran.
Bagian keenam, “Beirut, 1981”, menampilkan sosok yang semakin matang dan veteran dalam perjuangannya. Kehidupan sebagai pejuang Fidayi menjadi gaya hidup yang tidak bisa ditinggalkan, meski kesadaran bahwa harapan untuk pulang semakin memudar. Puisi ini penuh dengan kegetiran dan refleksi mendalam tentang bagaimana perang dan pengungsian membentuk identitas seseorang.
I
Rumah, 1948
Semua orang bergegas
Bapak menyimpun pakaian kami
Ibu menyimpun karung-karung tepungnya
Nenek menggulung koleksi sajadahnya
Diluar kereta kami telah siap
Lengkap dengan keledai penarik yang kami pelihara 8 tahun lamanya
Aku sempatkan diri mengitari pekarangan rumah
Kakek dengan wajah muram dan tersedu
Mencabuti pohon zaitun dari akarnya
Aku tak mengerti apa yang sedang kulihat
Padahal zaitun itu ia pelihara ibarat anak pertama
Ia tinggalkan pohon zaitun yang sudah ia cabut
Teronggok lesu rebah di tanah.
Kutanya kakek, apa sebabnya ?
Kakek hanya menjawab " Tak sudi pohon itu dipanen orang lain "
Aku masih tak mengerti maksudnya
Melihat mendung wajahnya
Diam adalah pilihan terbaik.
Semua orang sudah siap
Ayah menggondol karung besar berisi pakaian
Ibu membawa karung-karungnya
Nenek memeluk sajadahnya
Semua printilan itu bapak taruh dikereta
Dan kami semua duduk didalamnya
Bapak taruh aku di pangkuannya
Meski ia yang pegang kendali kereta
Diayunkannya cemeti ke pantat keledai itu
Kereta mulai berjalan lambat
Aku menoleh ke belakang
Air mata mengalir deras
dari wajah kakek, nenek dan Ibu.
Kutanya Bapak " Kita mau kemana "
dijawabnya " Entah "
Di sekeliling kami
Tetangga - tetangga juga melakukan hal yang sama
Nampaknya bukan kami saja yang pergi
Dan bukan kami saja yang menangis
Bapak punya radio kesayangan
Radio itu ia nyalakan untuk mengusir sepi
Selama perjalanan kami yang membosankan
Dari Kairo, penyiarnya berteriak
" Hari ini adalah hari yang paling memalukan untuk bangsa Arab ! "
Dan hari itu adalah hari dimana kami melintasi gurun - gurun
Meninggalkan rumah yang kami tempati
Kaktus dan rerumputan kering melintang di sepanjang jalan
Rubah gurun tak jarang pula melintas
Berjam jam lamanya kami berjalan
Akhirnya kami berhenti di sebuah padang dekat sebuah pemukiman kecil
Aku tak tahu persis lokasinya
Tapi dari pembicaraan orang sekitar
Kami berada di " Khan Younis "
II
Khan Younis, 1953
Aku masih bertanya-tanya
Mengapa kita tak lagi kenbali
ke rumah lama yang telah kami tinggalkan
Semua sudah kutanya
Berulang kali
Kakek, Nenek Ibu dan Bapak
Pertanyaan yang sama
Terus menerus kuulangi
Terus menerus pula mereka bergeming
Tak ada yang mau menjawab
Lagi - lagi kakek
Bila kutanya ia menangis
Suatu ketika Bapak, dengan hembusan napas berat
Hanya bilang beberapa kata
" kelak kau akan mengerti "
Bayangan rumah kami terus menghantui
Dalam tidur aku terus bermimpi
Memanen buah zaitun yang hijau ranum bersama kakek
Mencium harum roti yang dimasak ibu dari tungku yang membara
Mendengar lantunan Ayat Al Qur'an dari bibir nenek yang tengah menunggu Magrib di teras
Dan tawa terbahak-bahak ketika bapak menggendongku keliling pekarangan rumah sambil berlari kecil
Ohh… Aku merindunya.
Tapi disini, di Khan Younis, di rumah baru kami
Kami bernaung dalam rumah dari cetakan bata lumpur
Yang dirangkai dari tangan-tangan bapak dan kakek
Rumah baru kami yang kecil
Tak banyak ruang di dalamnya
Sesak adalah hidangan sehari - hari
Namun Setidaknya rumah kecil ini melindungi kami
Dari hujan dan badai gurun yang mencekam
Setidaknya lebih mujur ketimbang harus tinggal di tenda pemberian PBB.
III
Khan Younis 1956
Malam itu, Bapak pergi
Mula mula ia menyalami Ibu
Lalu lanjut ke Kakek dan Nenek
Semuanya menangis
Bapak lalu menciumku
Lalu memelukku dengan tangannya yang besar
Ia kemudian mendekat ke telingaku dan berbisik
" Baik baik ya "
Air mata ku meleleh, dan kupaksakan kepalaku untuk tegak serta mengangguk
Beberapa waktu lalu
Inggris, Prancis dan Zionis Yahudi
Ketiganya sepakat untuk menyerang Mesir
Dari radio yang ditinggalkan bapak
Nasser dengan amarah menyalak - nyalak
Mencekik mulut mikrofon yang menyiarkan omelannya
"Seinci kanal itu tak akan dimiliki oleh kalian " Ujarnya dengan suara serak yang berdesakan keluar dari kerongkongannya
Setelahnya bergemuruh meriah ratusan ribu tepuk tangan dari Kairo.
Semalam pula bala tentara Zionis menerobos masuk
Dari penjuru mata angin mereka berduyun duyun melintasi Gaza.
Hanya beberapa jam lagi jaraknya antara mereka dengan kami di Khan Younis.
Jauh - jauh hari sebelum Nasser mengamuk
Bapak telah mendaftarkan dirinya sebagai Fidayi
Begitu pula dengan para pemuda dan pria di kamp kami
Meski kakek, nenek dan ibu menentangnya
Bapak selalu menjawab
" Ini supaya kita bisa kembali ke rumah ! "
Perang di depan pelupuk mata kami
Dan Bapak harus pergi
Dengan harapan dan kemarahan yang dipupuknya bersamaan
Esok pagi tentara Zionis telah menguasai kami di Khan Younis
Mereka geledah seluruh rumah
Dari pintu ke pintu
Ibu - ibu berteriak-teriak histeris
Para pemuda dan pria dijejerkan di dinding
Adegan selanjutnya adalah peluru peluru tajam
Menghujam masuk ke tubuh mereka
Para syuhada pertama tersungkur tanpa perlawanan di pagi hari ini
Dan Kepalaku Mencatatnya.
IV
Khan Younis 1967
Sejak malam itu
Bapak tak kunjung pulang
Perpisahannya di malam sebelum zionis datang
Adalah obrolan terakhir kami.
Sudah kesana kemari kami mencari
Berharap jejak bapak tertinggal meski sedikit
Tetangga kami yang sesama Fidayi
Berujar bapak mungkin terbunuh saat penyergapan Zionis di Rafah
Kami masih menolak percaya
Setidaknya jika benar, biarlah kami tau letak pusaranya
Suatu ketika hari itu terulang kembali
Radio warisan bapak kembali berbunyi
Siaran dari Kairo kembali mencaci zionis
Berulang kali, berulang kali
Perang akan kembali terjadi
Dari radio itu ku tahu
Mesir, Suriah, Yordania dan Irak sepakat
Kembali membuat zionis dilumat
Kami semua harap harap cemas
Pemudi pemuda pria dan wanita tak melepas telinganya dari radio
Mencermati tiap laporan dari Kairo
Mendengar pidato-pidato Nasser dengan suaranya yang berat
Disini kami semua masih direlung takut
Hilangnya Bapak masih segar di kepala kami.
Sementara radio masih menggaung
Tank - tank dan lapis baja zionis telah duduk menunggu di Asqalan
Seakan berteriak
“Khan Younis, bersiaplah segera…..!!!!
V
Kairo 1970
Kami kalah
Hanya butuh waktu seminggu… ya seminggu bagi Zionis
Untuk melumat habis 4 pasukan Arab
Benar - benar memalukan.
Sinai hilang
Rafah hilang
Khan Younis hilang
Itu berarti seluruh Gaza hilang
Belum pula Tepi Barat
Desa desa diratakan
Hanya butuh waktu seminggu bagi ribuan orang
Untuk tiba tiba kehilangan rumah mereka
1967 benar - benar memalukan.
Dan untuk kedua kalinya aku harus pergi dari rumahku sendiri
Ketika Zionis datang ke Khan Younis
Kabarnya mereka kembali menggeledah tiap tiap rumah
Kembali menjejerkan para pemuda
Memberondongnya dengan senapan FAL dari Belgia.
Barangkali nasibku mujur
Aku masih ada, sehat dan Kuat
Beberapa hari sebelum Khan Younis jatuh
Kakek, Nenek dan ibu menyuruhku untuk pergi dari Gaza
Mereka yakin binatang buas itu akan mengincar para pemuda
Sebab para pemudalah yang paling gigih berjuang mematahkan taring beracun mereka.
3 Juni 1967
Malam itu aku pergi
Layaknya bapak di 56
Kami berjarak 9 tahun kepergian
Kusalami kakek nenek dan ibu
Kucium mereka satu persatu
Seperti diujung maut, perpisahan ini diwarnai tangisan tersedu sedan
Ibu membekaliku naan dan kurma
Nenek memberikan tasbihnya
Kakekku memberikan kefiyehnya
Barang barang itu kusimpan bersama tumpukan pakaian dalam karung tepung
Kuseka air mataku, air mata mereka
Waktu ku tak banyak lagi
Aku harus segera bergegas
Invasi datang beberapa jam lagi
Ku berjanji, akan pulang secepatnya.
Aku tak sendiri
Aku bersama 6 pemuda dari kamp yang sama
Kebanyakan teman masa kecilku
Dan semuanya memiliki koneksi dengan Fidayi
Kami melintas ke Mesir lewat Rafah
Beruntung kami dibantu seorang perwira Mesir, simpatisan fidayi
Kami melanjutkan perjalanan menuju Kairo dengan lancar
Meski Zionis mengejar kami di belakang.
Dan Kini Kairo, Mesir, rumah ketigaku.
VI
Beirut 1981
Nyaris 2 windu sudah kutinggalkan rumah
Aku terpental tak tahu arah
Berawal dari Kairo
Kusaksikan wafatnya Nasser
Lalu ke Amman bersama dengan para Fidayi
Omong - omong sekarang aku juga mengikuti jejak bapak, sebagai Fidayi
Di Amman aku harus bertempur melawan pasukan Hashimiyah yang berbalik melawan kami
Rasanya lucu sekali, sebab kami memerangi sesama orang Arab
September 1972 kami kalah dan diusir
Kawan kawanku memutuskan untuk pergi dan mendirikan kamp di Libanon
Sedang aku memilih ke Iran
Di Tehran aku mengajar bahasa Arab
Kadang diboyong dalam rapat rahasia Mojahedin e Khalq
Februari 1979, Revolusi pecah
Shah hengkang ke Amerika
Seluruh Tehran menjadi arena tempur
Aku ikut melempari molotov ke tank chieftain
Ikut pula menembaki garda Javidan yang bebal dengan senapan "HK G3" rampasan
Juga membantu para mujahidin Iran membobol pintu gerbang istana Niavaran
Aku pula sempat menyaksikan pidato Khomeini di kuburan Behesht-e Zahra
Seminggu setelahnya, kukatakan cukup
Aku menyusul ke negeri Aras
Kembali membantu para Fidayi melawan Zionis dan sekutunya, kaum Falangis
Beirut Barat, rumahku entah ke sekian
Aku tinggal di sebuah apartemen terbengkalai di samping stadion Kamil Shamoun
Di sebuah pojok di lantai 2, berukuran 3x3 meter
Disanalah aku bertempat
Sedangkan para fidayi lainnya ada di ruang sebelah
Ruang kecilku penuh dengan bahan tulisan yang kukumpulkan untuk buletin Fatah
Selain itu kusimpan pula senapan di kamar untuk berjaga-jaga
Satu pucuk VZ58 dari Cekoslowakia
Beserta belasan magazine kaliber 7,62 x 39 mm sebagai amunisinya
Kadangkala Falangis merangsek melewati jalur hijau
Disaat seperti itulah senapan seberat 3 kilo ini menjadi benda ajaib
Untuk melindungi sesama saudara kami
Untuk menghalau mahluk buas yang mengincar kami
Kuakui aku rindu rumah.. Sebuah tempat yang benar benar rumah
Tapi rumah yang mana ? Ah… Entah
Sebab aku sudah melanglang buana
Ke berbagai negeri jauh yang tak pernah kubayangkan
Akan kupijakkan kakiku disana
Aku… Ibarat bayi elang yang telah hancur sarangnya
Intinya aku rindu Kakek, Nenek, Ibu dan Bapak
Rindu salad zaitun buatan kakek
Rindu lantunan ayat Alquran Nenek
Rindu naan buatan ibu
Rindu gendongan Bapak.
Oh… Khan Younisku yang malang
Israel belum juga hengkang
1973, Sinai kembali ke Mesir
Tapi Zionis tetap duduk di Gaza
Kudengar mereka juga bangun perkampungan
Gush Katif, Netzarim, Nisanit, Dugit, Elei Sinai
Gush Katif dekat dengan Khan Younis
Mereka berniat membangun surga di tanah yang mereka curi
Ibu maafkan aku
Kita belum bisa bertemu
Mereka masih di tanah kita
Aku masih berusaha melumat rantai
Yang mereka jerat ke leher kita
VII
Damaskus 1993
Sial
Badanku sekarang mulai letih
Rambutku pula mulai memutih
Rasanya lebih mudah melawan zionis
Daripada melawan ketetapan biologis
13 September 1993
Kusaksikan lewat televisi
Yasser Arafat dan Rabin berjabat tangan
Mataku membelalak
Ingin rasanya ku banting TV itu
Ku lempar dalam palung Mariana
13 September 1993
Perjanjian Oslo dimulai
PLO mengakui adanya negara Zionis
Sedangkan Zionis mengakui adanya kami
Pengakuan tetap sebatas pengakuan
Tapi leher kami masih dijerat
Kami masih tercekik diantara kamp kamp pengungsi
Yang sudah ada sejak kepergian kami di 48
Omong - omong
Rumahku yang kesekian kalinya di Beirut
Akhirnya luluh lantah juga.
1982 Zionis dan Falangis berkolaborasi untuk mengusir kami dari Libanon
Mereka menerobos masuk ke Beirut Barat
Di Shabra dan Shatila kusaksikan
Bagaimana mereka kembali membariskan para pemuda dan pria di dinding
Menendangi para wanita dan anak kecil
Lalu memberondongnya dengan peluru tajam yang dipasok Amerika
Sejak 56, adegan ini terus menghantuiku
Tak mau pergi dari kehidupanku.
Nasibku kembali mujur
Aku selamat dari neraka dunia yang diciptakan setan-setan bersenapan itu
Aku berhasil keluar dari Libanon dan terpental jauh ke Suriah
Kawan - kawanku sesama fidayi tercerai berai
Ada yang bersamaku ke Suriah
Ada pula yang pergi ke kamp baru di Tunisia
Fisikku tak lagi prima
Aku berhenti menyandang senjata
Berbekal kemampuan menulis berita di buletin milik Fatah
Aku bekerja sebagai wartawan di Suriah
Kadangkala meliput bersama tentara Suriah dan para Fidayi di Libanon kembali.
Di Suriah aku tinggal di sebuah kamar kecil di Kota Tua Damaskus
Jauh dari kebisingan medan perang
Lingkungan yang bagus
Dekat sepetak taman peninggalan Prancis
Makanan yang enak
Hampir setiap hari makan falafel dan shawarma
Selama nyaris 2 dekade hidup di medan perang
Aku baru bisa merasa tenang disini
Meski gelisah sering datang kepadaku
Memanggilku untuk segera pulang
Lagi - lagi pulang kemana, rumah yang mana ?
Sejak umurku 5 tahun, aku selalu berpindah pindah rumah kok
Namun di dasar hatiku, jujur
Aku rindu Ibu, Bapakku, Kakekku dan Nenekku
Barang barang yang mereka berikan sebelum aku pergi malam itu masih kusimpan rapi, dalam kotak kayu dari pohon cedar.
Dan tibalah hari itu, 13 September 1993
Sepotong daging shawarma yang kutelan nyaris kulepeh.
Begitu melihat najis yang bertuliskan "Pernjanjian Oslo" ini terpampang jelas di TV
Benda ini jelas adalah hinaan bagiku
Ia tak mengembalikan tanah yang direbut dariku sejak aku masih orok
Nyaris 20 tahun hidup kujalani
Jauh dari rumah, dekat dengan ajal
Hidup berdampingan dengan rentetan peluru tajam
Berharap suatu saat nanti aku bisa menyongsong fajar kemenangan bersama dengan para Fidayi
Serta membawa pulang orang-orang rumahku
Ke tanah yang kami tinggalkan puluhan tahun lamanya
Jika hal itu terjadi, pasung yang dipampang pada leher kami
Akan hancur lebur menyatu dengan tanah ini.
VIII
Khan Younis 1994
Ku pesan satu tiket pesawat ke Mesir
Dari Bandara Internasional Damaskus menuju Bandara Internasional Kairo
Pesawatku mendarat jam 14:00
Sampai di terminal ku pesan Taxi ke terminal bus antarkota Kairo
Aku cukup tercengang melihat Kairo berubah sangat drastis
Kairo makin sesak, lalu lintas kacau
Tapi peduli setan ah
Setelahnya aku ambil bis menuju Rafah
Bisku melintas di jembatan Suez
Suez, kanal yang tak pernah sepi
Selalu dilewati kapal dagang mancanegara
Lalu melewati Sinai
Sejak 1956 - 1973, Mesir dan Zionis selalu bertempur disini
1967 Mesir keok, Sinai Dicaplok
1970 Nasser wafat, Sadat menggantikannya
1973 Sadat melancarkan perang melawan Zionis
Zionis sempat dilumat sebab mereka sedang sibuk merayakan Yom Kippur
Tapi di penghujung perang Mesir kembali keok
Barulah di 1976, Israel bersedia mengembalikan Sinai lewat perjanjian Camp David.
Sadat dan Begin berjabat dengan sumringah
Sinai kembali, Gaza tidak
Gaza tetap diinjak sepatu lars Zionis
Rantai tetap dipasang untuk membelenggunya
Kami layaknya anjing dimata mereka.
Bagiku Camp David adalah pengkhianatan pertama sebelum Oslo
Berjam - jam lamanya bis yang ku tumpangi akhirnya sampai di perbatasan Mesir - Rafah
Pasukan Perbatasan Mesir mengecek segala isi bus
Setelah aman, barulah kami diperbolehkan lewat
Jantungku berdegup kencang
Butuh waktu 26 tahun sampai aku bisa menuntaskan janjiku
Bertemu kembali dengan ibu.
Segera setelah sampai di Terminal Gaza
Aku langsung mencarter taksi ke Khan Younis
Dari jendela Taxi kusaksikan
Gaza yang berubah 180 derajat
Penuh sesak dengan rumah rumah berlantai tinggi
Lalu lalang orang-orang, keledai sampai mobil menambah acakadutnya kota ini
Ketika kutinggal waktu malam itu
Gaza masih berupa padang yang cukup sepi
Rumah rumah masih berupa rumah petakan kecil yang terbuat dari bata lumpur.
Di sepanjang jalan, sisa - sisa Intifada masih terlihat
Coretan dinding memenuhi tiap sudut kota
Semuanya berbunyi tentang perjuangan
" Matilah Zionis "
" Batu untuk pembebasan !"
" Hidup El Hakim !" ( Ketua Front Popular Pembebasan Palestina )
Dari yang kutahu para pelopor Intifada adalah mereka
Para pemuda dan anak kecil yang duduk di bangku sekolah
Dengan gagah berani menantang Merkava hanya dengan berbekal batu di tangan
Generasi Fidayi telah digantikan mereka,
Para pelontar batu.
Taksi berhenti
Aku sampai di Khan Younis
Umurku tak lagi muda, sudah setengah abad
Setengah hidupku ku habiskan untuk menekan pelatuk
26 tahun dan kini aku kembali.
Kamp telah berubah drastis
Jalan besar dari tanah kini digantikan dengan gang sempit yang sesak
Semua tetangga heboh melihat kepulanganku
Mula - mula para sepuh yang mengenalku
Lalu lanjut ke anak dan cucu mereka yang berebut ingin melihat orang dari pengasingan ini
Mereka berseru " Si Fidayi sudah datang "
Mereka boyong aku ke rumahku
Yang pertama kali melihatku adalah Nenek
Ajaib ! Nenek masih hidup, meski matanya sudah sangat rabun
Umurnya berarti seabad
Seperti kebiasaannya dulu, ia sedang duduk di teras menunggu Maghrib
Meski penglihatannya sudah buruk ia langsung mengenaliku
Nenek langsung syok dan pingsan.
Ibu akhirnya datang
Ia baru saja selesai menyiapkan naan untuk makan malam
Tetangga heboh di luar memanggilnya
Berseru anaknya telah kembali
Ia tergopoh-gopoh berjalan ke teras untuk memastikan bahwa yang datang ialah anaknya
Begitu melihatku ia juga langsung mengenaliku
Ia memelukku dan mulai menangis tersedu-sedu
Para tetangga juga ikut menangis.
Bu, Malam itu ketika aku meninggalkan kalian
Badanku masih bugar, rambutku hitam
Ketika aku kembali ke kalian
Badanku mulai rapuh, rambutku pula memutih
Kini kita sama sama tua
Bu, aku minta maaf
Di umurku yang setengah abad ini
Aku datang tanpa membawa cucu
Sebab mustahil agaknya membesarkan seorang anak
Di antara lesatan peluru tajam...
Bu, Nenek aku minta maaf
Aku tak sempat menyolatkan jenazah Kakek
Kakek yang malang
Ia wafat terkena serangan jantung ketika intifada baru dimulai
Akibat suara ledakan pelor gas air mata dari Zionis
Harusnya aku ada disana, memandikan jenazahnya dan mengiringinya ke pusara
Tapi aku jauh disana.
Salah seorang tetangga
Entah darimana ia memberikanku Kalashnikov
Ia suruh untuk menembakkannya ke angkasa
Tradisi kepulangan katanya
Awalnya enggan, tapi ku terima
Ku tembakkan pelurunya beruntun ke langit
Anak anak kecil dan pemuda takjub tertawa senang.
Aku pulang bu
Tapi Khan Younis bukanlah rumah kita
Rumah kita ada disana, di Biʾr as-Sab
Rumah dengan kebun zaitun yang kakek rawat
Dan kandang kedelai yang bapak buat
Yang Zionis gusur pada 48
Yang mungkin telah diratakan
Atau berpindah pemilik ke bangsa yang mengaku pilihan Tuhan.
Tapi tak masalah Bu
Kuyakin suatu saat nanti
Kita akan kembali ke Biʾr as-Sab
Ketika rantai yang memasung kita
Akan dileburkan oleh para fidayi selanjutnya.
Meski mungkin itu lama Bu
Meski mungkin kita semua sudah tak lagi ada
Para zionis itu akan tak pernah paham
Mereka tak akan pernah merenggut riwayat kita
Mereka tak akan bisa merenggut mimpi dan masa depan kita
Mereka tak akan mampu merenggut kebebasan kita
Para zionis itu tak akan pernah paham
Jika rasa lapar adalah senjata
Jika kemuakan adalah senjata
Kepedihan adalah senjata
Rasa rindu adalah senjata
Dan penindasan terhadap kita
Akan terus melahirkan Fidayi yang semurni udara pagi
Akan terus Melahirkan Fidayi yang akan semakin kencang melontarkan Batu
Dan berteriak :
“DARI SUNGAI SAMPAI SAMUDERA, PALESTINA MERDEKA !”
Samarinda 7-8 Desember 2023,
Hari dimana Khan Younis betul-betul jatuh
Ilustrasi: A nutshell