Meneropong Dinamika Kekeringan di Perdesaan

Penulis: Muhammad Riski (Saat ini terlibat aktif dalam aktivitas organisasi Cita Tanah Mahardika/CTM)

Hari itu masih terik, panasnya seakan menjilati kulit tanpa ampun. Maklum, musim kemarau memang tengah menjangkiti seluruh daerah. Jika dihitung-hitung hampir setahun penuh orang-orang harus bertengkar dengan kepanasan. Hamparan pematang sawah dan kebun yang luas turut menemani perjalanan saya saat itu (entah bagaimana pola pemilikan dan penguasaan atas sawah yang mengemuka di sana), setidaknya kiri kanan tampak beberapa lahan dan petani yang seolah sedang sibuk merapikan kantor di kepalanya. 

Fenomena dibalik Kekeringan

Fenomena kekeringan tumbuh bersamaan dengan euforia bermain layangan yang telah mengepung perdesaan, setidaknya itulah yang saya amati saat berkesempatan masuk ke desa-desa yang ada di Kota Bone tahun silam. Puluhan layangan menjadi bagian lanskap perdesaan yang mengemuka dan terpaksa harus dinikmati. Kebanyakan digerakkan oleh bapak-bapak hingga remaja. Saya mengamati beberapa rumah tangga turut memarkir layangan mereka dengan warna yang beragam layaknya penjaga rumah. Lantas apa yang tersisa dari deretan layang-layang di atas langit?

Mari mengingat kembali rekaman ulang fenomena yang terjadi pada tahun 2023 silam. Semua dari kita mungkin turut merasakan suhu bumi jauh lebih panas dibanding sebelumnya. Setiap saat tetesan keringat akan tumpah jika tidak mengeringkannya dengan alat pendingin seperti kipas dan ac (atau semacamnya)Itupun jika masing-masing dari kita memilikinya.

Pemanasan global menjadi faktor paling kuat yang menyebabkan bumi seolah terpanggang. Kita semua diserap layaknya bahan makanan yang gosong di atas piring—siap santap. Tentu terdapat sistem yang sedang menunjukkan kegarangannya dengan bumi. Pabrik dengan corong asap yang besar tidak lagi menjadi penampakan pada gambar-gambar di atas kertas. Kerukan tanah, hutan yang dicukur, juga gunung yang digunting, sungai berwarna keruh adalah rangkain proses akumulasi yang dilakukan oleh segelintir orang untuk mengenyangkan dirinya sendiri sebagai kaum borjuis (pemilik alat produksi atau mungkin telah menempatkan diri sebagai pemilik bumi).

Merasa tidak cukup mereka lalu melempari hadiah berupa kekeringan yang harus dikunyah bersama. Fenomena yang tengah menyulap kesibukan menjadi pesta berwajah tegang, termasuk setiap dari mereka yang menggantungkan hidup serta nasib pada tanah dan pertanian. El Nino adalah suatu peristiwa iklim yang berhubungan dengan meningkatnya suhu permukaan laut bersamaan dengan intensitas curah hujan yang jauh menurun, naasnya menggerogoti setiap lahan pertanian di perdesaan saat itu tanpa sistem pilih, entah lahan dimiliki oleh tuan tanah sekaligus bangsawan maupun yang digarap oleh petani kecil. Dengan demikian fenomena kekeringan menjadi faktor kuat yang dapat mempengaruhi sektor pertanian dan pendapatan rumah tangga perdesaan. Oleh karena itu krisis air bahkan kekeringan bukanlah fenomena yang lahir dari ruang kehampaan sosial, melainkan sebuah proses konstruksi secara sosioalamiah. 

Penampakan sawah-sawah yang dilanda kekeringan di salah satu desa Kota Bone.

Air menjadi kebutuhan yang sulit dipenuhi untuk membuat petani mampu menggemukkan tanamannya. Tumbuh kembang tanaman selalu memerlukan air yang cukup untuk membuatnya bisa bertahan. Tidak heran jika saat itu lahan-lahan yang terlanjur ditanami berujung pada kematian tanaman dan membuat beberapa petani harus menelan ludah sembari menerima nasib panen akan gagal. Sedang lahan lain dibiarkan menganggur untuk menghindari kerugian biaya sekaligus menekan ongkos tenaga yang telah dikerahkan. Kekeringan tidak hanya mengurangi hasil panen dan pendapatan petani, tetapi juga dapat mengakibatkan peningkatan biaya hidup akibat keterbatasan pasokan pangan (Hansen et,al., 2019; Loboguerrero et,al., 2019).

Petani-petani dalam kategori miskin melakoni hidup mereka di tengah-tengah keterhimpitan yang membuat nafasnya semakin tipis. Berharap pada lahan (mungkin luasnya tidak seberapa) yang terjangkit penyakit kering bukanlah posisi tepat untuk berdiri sembari meraba-raba hidup dan penghidupan yang mendekat dengan pisau tajam. Menerima tawaran-tawaran yang menghampiri mereka harus dilakukan segera. Salah satunya menjadi kuli bangunan, muncul layaknya angin segar untuk ditempuh. Saat itu saya mendengar beberapa kepala keluarga harus memenuhi kebutuhan akan uang dengan menjadi buruh bangunan untuk menutupi kemerosotan demi dapat menghembuskan nafas pada hari-hari selanjutnya. “Begitumi dek kalau kering sawah, apa-apa saja bisa dikerja untuk dapat uang (termasuk menjadi kuli bangunan).” Ucap Bapak K tempo hari,

Lebih lanjut, saya juga melihat dengan mata kepala sekaligus mendengar bagaimana sebagian rumah tangga mencari sumber pangan yang lain demi menyiasati kebutuhan konsumsi beras yang tidak lagi dapat dipenuhi oleh sawah-sawah mereka. Pohon rumbia menjadi pilihan yang diolah sedemikian rupa lalu dijemur hingga kering. Setelah itu, barulah pohon rumbia siap untuk dikukus dan disantap bersama. Warga yang saya temui mengatkan bahwa sumber pangan dari pohon rumbia dapat diakses secara bebas dan bersama, namun tetap harus meminta izin dengan orang yang dianggap memiliki kekuasaan tertentu.

olahan pohon rumbia

Olahan pohon rumbia dari Warga.

Kekeringan telah membuat petani harus memikirkan ulang strategi melanjutkan hidup. Setidaknya demi menelusuri lorong gelap untuk menerangi jawaban atas beragam pertanyaan,

“Besok akan makan apa? Bagaimana cara membayar biaya pendidikan anak yang semakin mahal?”.

Bermain layangan lalu dipilih sebagai jalan pintas untuk lepas dari domino pertanyaan yang silang sengkarut, terlebih kenyataan seperti menyergap dengan wataknya yang lebih keras kepala. Beberapa bapak-bapak tani telah melakukannya. Mengisi keseharian dengan sibuk bermain layangan di atas lahan-lahan mereka yang sedang ditimpa kekeringan panjang. Dibalik keriuhan dan kesenangan bermain layangan, pertengkaran yang hening sebetulnya tengah menggerogoti rumah tangga petani di pedesaan. Kekeringan telah menjadi persoalan bersama di kampung-kampung yang membuat mereka harus memeras pikiran lebih giat — hingga habis. Pada suatu ketika saya mulai merenungi penampakan ini, sembari memenuhi kepala dengan bertanya-tanya. Di tengah-tengah kegirangan orang-orang desa (khususnya lelaki) saat melihat layangan yang menari di atas awan,

“Kira-kira seperti apa model kepalanya ketika kembali sadar bahwa lahannya tidak lagi produktif dalam beberapa bulan terakhir akibat kekeringan parah? Apakah fenomena bermain layangan muncul dari ruang kehampaan sosial? Atau mungkin ditempuh sebagai pintu pelarian akibat lahan yang tidak lagi memunculkan harapan?”.

Pertanyaan ini setidaknya dapat dikuliti untuk meneropong dinamika yang terjadi di pedesaan dewasa ini. Semua perjudian dengan hidup menjadi sedikit dikesampingkan saat layangan telah diterbangkan di atas sawah yang tidak lagi bisa memenuhi janji apa-apa.

Belum lagi ketika melihat sekumpulan orang yang punya posisi strategis di desa cenderung mewadahi aktivitas tersebut dalam bentuk “lomba layangan” yang marak dilakukan bersamaan dengan kontestasi politik pemilu. Perlombaan tersebut dapat memanggil semua orang di desa untuk datang beramai-ramai saling mengadu suara pitu-pitu yang paling nyaring. Padahal bisa saja bunyi perut adalah musik paling keras. Suaranya terdengar lewat kelaparan.

Bukankah “lomba layangan” tidak dapat menyulap kemarau menjadi gemuruh hujan seketika?

Kemarau panjang turut diromantisasi demi menyembunyikan kegelisahan akan air. Lomba layangan sekaligus menjadi arena kontestasi bagi aparatur desa (atau orang-orang yang punya kepentingan lain) untuk unjuk gigi. Menampakkan diri sebagai “orang baik” yang dilihat sedang berbagi rezeki dalam beragam bentuk hadiah disambut meriah oleh warga-warga di kampung, sekaligus menegaskan posisi masing-masing kelas tertentu. 

Dinamika Petani: Ketegangan Harian Menghadapi Kekeringan

Persil-persil lahan petani menjadi lahan yang tidak lagi produktif dalam waktu belakangan saat itu. Bagi lahan yang harus bergantung pada skema tadah hujan, berdoa atau berpangku tangan sama-sama merupakan kebuntuan. Jika hujan tidak turun, sulit membayangkan petani dapat bergiat mengupayakan proses produksi di atas tanah—hingga mereproduksi diri dan keluarganya. Bayangan menu makanan esok hari di meja dapur seolah menjadi obat bius belaka yang jawabannya sedang tersesat di tengah rimba persoalan.

Tidak hanya bagi lahan, kebutuhan konsumsi harian mereka turut terganggu karena kebutuhan air yang sulit. Tanah yang telah lama didiamkan membuat beberapa bapak-bapak tani mencari aktivitas lain demi menyiasati hidup yang semakin mencekik. Bagi yang memiliki hewan ternak, mereka akan sibuk makkampi dengan sejumlah peliharaan sapinya. Sementara lahan-lahan yang memiliki sistem aluran irigasi juga mesti berjudi dengan praktik-praktik monopoli atas air. Mereka yang tidak teraliri darah isitmewa (bangsawan) terpaksa harus menekan aspirasi demi sesuap air. Seperti dalam ungkapan,

“disini dek adaji uttang (mata air), tapi tidak bisa dipakai sebelum na pakai puang (orang yang dianggap punya derajat sosial yang lebih tinggi), kecuali kalau dibeli bah na kasi jki.” (ucap bapak K, di salah satu desa T)

*Saat itu bapak K harus menerima tanamannya kehausan sembari melakukan protes secara diam-diam dengan mencela pola relasi sosial yang sedang bekerja dalam watak feodalistik yang telah mendarah daging.

Dalam kondisi krisis, proses komodifikasi atas sumber penghidupan (untuk diperjual belikan) menjadi lebih runcing ke bawah. Bagian pisau yang tajam perlahan-lahan menyentuh dan seolah hendak memutus nadi petani kecil untuk mencari makan. Hal ini turut mempertegas privatisasi air yang bekerja sangat lokal dalam lanskap kerumitan akses atas sumberdaya yang terkerangkai dalam konteks relasi kuasa (antara bangsawan dan rakyat biasa). Privatisasi menyakinkan bahwa kebebasan individu untuk melakukan pembatasan-pembatasan melalui seperangkat hukum formal (maupun non formal, misalnya tradisi) merupakan hal alamiah (Mansfield 2008, dalam Jurnal Wacana Ekologi Politis Air: Akses, Eksklusi dan Resistensi). Meminjam argumen dari David Mosse (dalam Bekker 2010) air merupakan medium bagi setiap relasi sosial yang dialirinya. Privatisasi atas air oleh karena itu menunjukkan dimensi relasi kuasa yang sedang bekerja sangat lokal sebagai buah dari otoritas. Kekuasaan dengan demikian, sebagaimana disebutkan Foucault (1978), ada di mana-mana dan relasional. Bapak K harus menerima nasib tereksklusi dari sumberdaya air karena tidak memiliki kekuatan penyeimbang. 

Pada kasus yang lain di perdesaan kawasan pergunungan Lompobattang, kekeringan panjang pada musim kemarau juga turut mempengaruhi produktivitas lahan warga sekaligus hasil panen tanaman hortikultura. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi para petani tentunya adalah gagal panen, kerugian di beberapa lahan pertanian menjadi nyata adanya sebab rasio antara input produksi dan income yang didapatkan menjadi tidak stabil atau bahkan tidak ada yang bisa diharapkan dari lahan sama sekali. 

Aktivitas beberapa petani di Kaki Gunung Lompobattang pada pagi hari saat menyiangi kebun

Beberapa penampakan soal kekeringan pada lahan-lahan tertentu dapat dilihat dengan jelas saat hendak menuju pintu rimba pendakian Gunung Lompobattang. Tanaman hortikultura banyak yang dibiarkan membusuk begitu saja di lahan-lahan warga (mulai dari kol, bawang, kentang, dan lain-lain) sambil beberapa petani menekan kecemasan sedikit demi sedikit berharap agar musim hujan segera datang. Para petani biasanya harus membanting pikiran demi menyiasati kekhawatiran-kekhawatiran, beberapa di antara mereka memilih untuk menempuh jalan setapak demi setapak masuk sekitar ratusan meter ke dalam hutan untuk mencari hasil-hasil hutan seperti madu dan getah pinus (atau mungkin masih banyak jenis hasil hutan yang lain), yang mulanya hasil hutan ini hanya dijadikan untuk memenuhi keperluan rumah tangga, namun juga dapat menjadi pilihan dalam kondisi terdesak seperti saat ini untuk dijual ke pasar demi mendapatkan uang tunai (meskipun mungkin dengan harga yang tidak seberapa). 

Selain itu, saat saya mengantar Amma ke kebun untuk memetik bawang, ia berucap “Kebunnya orang ini nak, keluarga ji yang punya saya bantu saja untuk dipanenkan”. Siasat-siasat bertahan hidup sebagai buruh tani dalam relasi kekeluargaan turut mempengaruhi upah yang dapat diterima oleh Amma. Namun hal tersebut dilakukan untuk setidaknya sedikit menutupi kebutuhan-kebutuhan harian sekaligus kerugian gagal panen pada lahan miliknya yang kering. Lahan-lahan tersebut tentu tidak dapat diharapkan, terlebih lagi jika luasnya hanya secuil.

Kekeringan di beberapa titik mata air juga turut mempengaruhi timbulnya ketegangan antarwarga meskipun tidak secara terbuka. Warga di atas dan warga di bawah (berdasarkan penuturan warga setempat untuk membedakan warga yang tinggal tepat di kaki gunung dekat hutan dan warga yang tinggal berdekatan dengan jalan raya) akhirnya saling memperebutkan titik-titik mata air yang dapat menopang pertumbuhan tanaman di lahan-lahan yang kering saat ini. Ketegangan harian pada musim tertentu secara bersamaan dapat meruntuhkan pandangan yang melihat desa sebagai komunitas yang damai. 

Kebutuhan untuk bertahan hidup dan juga demi mengembalikan modal biaya pertanian — hingga dorongan untuk mendapatkan keuntungan — dari lahan pertanian yang sedang ditanami membuat warga di bawah secara intens naik ke kaki gunung untuk memberi tawaran uang tunai dengan jumlah yang relatif besar agar mata air yang dimanfaatkan warga di atas juga dapat didistribusikan hingga ke lahan-lahan yang ada di bawah. Meskipun tawaran ini mendapat penolakan dengan berbagai macam pertimbangan, khususnya berbagi air secara luas dalam kondisi terjepit saat ini sama halnya mengikat leher sedikit demi sedikit. Ketimpangan pembagian air tersebut tentu dapat dengan mudah memperkokoh ketegangan sosial.

Kondisi-kondisi yang semakin tegang dan menjepit para warga juga turut mempengaruhi karakter orang desa dalam mengurusi persoalan masing-masing pada lahan mereka. Karakter orang di pedesaan tergambarkan secara sederhana dengan melihat kesibukan mereka mulai dari pagi hingga sore hari atau bahkan kadang-kadang hingga larut malam, orang-orang desa sibuk dengan urusan masing-masing dalam menyiangi kebun yang dianggap masih bisa diharapkan untuk dipanen minimal demi menutupi kebutuhan subsistensi hingga mengontrol laju air setiap saat demi memastikan sumber air tetap dapat sampai pada kebun mereka. Kesibukan secara sendiri-sendiri di sepanjang hari dalam mengurusi kebun akhirnya menguras banyak energi setiap kelompok keluarga rumah tangga dan lebih memilih untuk beristirahat setelah pulang dari kebun hingga berakibat pada berkurangnya porsi untuk berinteraksi antar sesama orang desa. Pola yang mungkin sering kita dapati di kota-kota, akhirnya mengemuka juga di desa-desa dalam bentuknya yang berbeda. Orang-orang lebih condong menyelesaikan persoalan bersama secara pribadi. Misalnya, jika di kota kita dapat menjumpai cara orang-orang dalam mensiasati kamacetan adalah dengan mengumpat menggunakan berbagai varian bahasa kasar, entah umpatan-umpatan tersebut ditujukan kepada siapa, padahal barang tentu tidak ada umpatan yang bisa menyulap kemacetan menjadi jalan yang lengang seketika. Hal lain sebagaimana yang pernah ditulis oleh Nurhady Sirimorok, “di kota-kota, untuk mengatasi kamacetan, warga dipaksa menyelesaikan persoalan sendiri-sendiri: membeli kendaraan yang lebih nyaman, dengan pendingin dan pengharum, penganan dan minuman, bahkan pemutar dan pelantang musik — apa pun yang bisa membuat seseorang semakin nyaman di tengah kemacetan.”

Pola yang sama dapat kita jumpai di pedesaan, dalam bentuk yang jauh lebih khas, masing-masing petani dengan pekerja keluarga akan berusaha sendiri mengatasi persoalan pada masing-masing kebun mereka, mulai dari masalah pengairan, kekeringan, dan seterusnya. Para petani yang tinggal dekat dengan hutan secara aktif akan terus berusaha mencari titik mata air baru hingga ratusan meter ke dalam hutan yang lebat untuk dapat dimanfaatkan demi menutupi kebutuhan akan air atau mereka juga secara teknis kadang memilih untuk membuat penampungan air di dekat kebun hingga rumah masing-masing yang dapat menopang konsumsi air rumah tangga juga lahan dan tanaman. Kesibukan yang lain adalah menyiangi kebun yang biasanya menguras banyak energi dan waktu bagi para anggota keluarga rumah tangga, mereka biasa memulai aktivitasnya mulai dari pagi hingga sore sedangkan pada malam harinya beberapa anggota keluarga rumah tangga terpaksa mengurangi jatah tidur untuk terus mengontrol perairan dan bahaya-bahaya yang memungkinkan dapat mengancam pertumbuhan tanaman, hingga melakukan penyemprotan kebun secara rutin dan berkala demi menghalau serangan hama. Padahal, serangan hama begitupula kekeringan selalu dialami beramai-ramai oleh petani yang tidak serang-pilih pada satu kebun saja. Kekeringan akan menimpa seluruh kebun, tidak hanya kebun tetangga. Lantas, seperti apa kita menempatkan pola gotong royong di pedesaan yang banyak dipercaya oleh banyak orang?

Pada kasus kekeringan yang terjadi di kawasan kaki gunung Lompobattang selain diakibatkan oleh adanya mekanisme musim kemarau yang bekerja cukup panjang, hal lain yang juga dapat diidentifikasi karena terjadi penyumbatan serius pada sistem hidrologis yang sedang bekerja untuk menyediakan cadangan air pada musim kemarau. Aliran air yang saling berkejaran di bawah permukaan tanah mengalami ektraksi cukup serius oleh tanaman-tanaman dengan sifat individualitas yang kokoh dalam mengonsumsi air. Tentu saja penyerapan volume air yang berlebihan oleh satu jenis tanaman saja memungkinkan terjadinya pemborosan sumber daya yang sedang sulit hingga tidak dapat didistribusikan padan tanaman yang lain — pun jika ada pasti jumlahnya hanya sepersekian atau terbilang sangat sedikit. Sebagaimana penampakan di kaki gunung Lompobattang, dengan mudah kita dapat menemukan deretan pohon-pohon menjulang tinggi berupa pinus, baik yang berdiri kokoh di pinggir-pinggir jalan maupun yang bergerombolan di dalam gugusan hutan, entah dengan mekanisme seperti apa pohon-pohon itu bermunculan dan memenuhi kawasan gunung Lompobattang khususnya di pos 1 (istilah para pendaki). Anggapan awal yang kemungkinan dapat kita lacak, deretan pohon pinus tersebut hadir memenuhi desa melalui pintu-pintu “konservasi” yang menilai bahwa arsitektur hutan dengan vegetasi tutupan lahan pohon pinus dapat menghindarkan kawasan tersebut dari erosi atau malapetaka-malapetaka yang tidak diundang masuk ke desa. Landasan ini turut dikawinkan dengan program-program penghijauan yang hampir setiap saat menyerbu demi membangun citra hutan lestari nan indah. Meskipun pada awalnya ditanam dalam kawasan-kawasan hutan negara, tetapi seiring berlarinya waktu mereka lalu memberontak hingga keluar merambah kebun-kebun warga di sekitar hutan hingga ke pinggir jalan raya. Hutan pinus seringkali menjadi primadona wisata yang merembes pada booming-nya foto-foto ala anak muda yang ramai berseliweran di kanal-kanal Instagram dengan gaya potret memamerkan diri dikepung pohon pinus. Seringkali foto-foto semacam itu diberi istilah folk oleh orang-orang kebanyakan lalu berlagak indie dan estetik bersama pemandangan alam yang raya. Namun, pernahkah kita bertanya kira-kira prospek sosial seperti apa yang ditawarkan oleh segerombolan pinus bagi sumber penghidupan petani di sekitar hutan, khususnya sumber daya air? Keindahan alam bagi orang-orang kota tentu dapat berjarak cukup dekat dengan bencana bagi orang-orang desa.

Penampakan gerombolan pohon pinus di sekitaran pos 1 Gunung Lompobattang.

Salah seorang peneliti melihat skema penanaman pinus justru dapat menjadi bencana bagi para warga, misalnya di dua desa Kompang dan Gantarang, kini mengalami kesusahan karena pinus (Sirimorok 2018). Pohon pinus dianggap memiliki kekejaman tertentu baik pada keanekaragaman hayati hingga pada manusia itu sendiri. Buah pinus sering kali dapat kita temukan jatuh berserakan di sekitar pohonnya, lalu kadang-kadang dipungut karena bentuk buahnya yang unik hingga sering disulap menjadi gantungan kunci atau sejenis hiasan di tubuh, namun ternyata buah-buah tersebut jika diamati lebih jauh dapat tumbuh dengan mudah untuk menopang pohon pinus lain yang sudah tumbuh besar, bahkan di lahan kritis sekalipun. Sisi individualitas yang rakus dari pinus ditunjukkan dengan cara mencuri seluruh energi makanan yang tidak akan dibagi-bagi lagi pada pohon atau tanaman jenis lain. Hal ini dapat kita lihat saat menemukan satu pohon pinus, pastilah selalu diikuti oleh segerombolan pohon pinus yang lain saling berdempetan. Pohon-pohon yang mencoba tumbuh di sekitarnya hanya akan tercekik lalu mati. Begitupun nasib dari rerumputan dan belukar.

Belum lagi pohon pinus seolah punya kekuatan dahsyat dalam menghalau air hujan untuk menyentuh tanah karena desain daunnya membuat tugas dalam menyimpan dan mengolah makanan bergantung sepenuhnya pada sumber air yang terus menerus dihisap tanpa pilih-pilih selama ada kesempatan. Terlebih jika kondisinya sangat mendesak untuk berbagi air seperti pada musim kemarau yang panjang ini, semakin sedikit curah hujan yang turun dari langit secara bersamaan membuat pohon pinus juga akan semakin giat dan rakus merampok air. Kerakusan dalam mengonsumsi air juga dapat ditemukan dari desain akar tunggang yang menjalar ke dalam tanah lalu meluas. Hal ini dapat menjadi asumsi awal bahwa salah satu peyebab serius yang menyumbat sistem hidrologis di kaki gunung Lompobattang karena adanya kawanan pohon pinus yang tumbuh semakin lebat dengan pola pengisapan air yang jauh lebih serakah tujuh kali lipat lebih banyak dibandingkan pohon-pohon jenis lainnya. Pohon pinus selalu memiliki kekuatan untuk memanfaatkan air baik dari atas langit hingga dari dalam bawah tanah. Inilah yang dapat kita lihat ketika memulai pendakian di dalam rimba Gunung Lompobattang, beberapa titik mata air yang biasa dimanfaatkan oleh para pendaki juga para warga mengalami kekeringan yang parah. Pohon-pohon pinus bisa saja tumbuh lebih lebat dan besar di kaki gunung, namun harga yang harus dibayar adalah akan melenyapnya sedikit demi sedikit sumber mata air. 

Ketika mendengar keresahan warga yang tinggal berdampingan dengan kawasan hutan Gunung Lompobattang, menurut penuturannya pernah ada orang dari luar desa (berdasarkan istilah warga) yang pernah datang dengan keinginan menggarap lahan tepat di pos 1 melalui skema pengetahuan yang simpang siur seperti mempertegas tanda-tanda yang kentara pada lanskap hutan sebagai bukti kerja sekaligus penguasaan yang sebelumnya telah ada di masa lampau. Merekonstruksi sejarah adalah skema yang dipilih oleh orang luar tersebut demi menopang keinginan dalam membuka dan menggarap beberapa petak lahan yang ada di sana (pos 1) berdasarkan ingatan yang ada.

Asumsinya dibangun berdasarkan pengetahuan bahwa sipapun yang memiliki klaim mengetahui seluk-beluk sejarah seluruh sisi gunung tempat lahan pernah dimanfaatkan di masa lalu dari generasi ke generasi, meskipun pengetahuan tersebut juga harus ditopang oleh kemampuan dalam meyakinkan banyak orang. “Sebab pengetahuan, khususnya klaim atas silsilah dan lanskap hutan, merupakan sumber kekuasaan sekaligus hasil dari kekuasaan. Orang yang berkuasa dianggap dapat membuat klaim mereka bertahan, sementara pengetahuan orang lain yang tidak berkuasa diabaikan dan klaim mereka ditolak, (Tania Li: 2020).” Namun, untungnya klaim tersebut dapat ditolak secara mentah-mentah oleh warga yang tinggal di sana hingga mampu menghalau penggarapan lahan dari orang luar tersebut. Menariknya dalam kasus ini, penulis mendengar bahwa ternyata di kaki gunung para warga sekitar telah melakukan pengavelingan sejak lama sebagai kawasan yang bisa dimanfaatkan oleh warga, ketegangan yang pernah muncul dan berhasil diselesaikan tersebut membuat mereka (warga sekitar) yang kawasannya merasa terancam turut melakukan perlawan dengan menghusir orang luar tersebut. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan yang patut digali lebih jauh adalah bagaimana awal mula skema pengavelingan itu muncul? Hingga praktik harian seperti apa yang mengemuka dari pengavelingan tersebut? Apakah pengavelingan tersebut mengandaikan lahan hutan dapat diakses bersama oleh warga sekitar atau justru menimbulkan tindak-tanduk ekslusi antar warga yang satu dari yang lain (baik dengan sifatnya yang permanen maupun sementara)? 

Bagaimana Seharusnya Melihat Perdesaan?

Apakah desa hanya dilihat sebagai tempat persinggahan? Atau mungkin sebatas tempat mencari ketenangan karena riuh dan bercampur aduknya suara di perkotaan? Gugusan vegetasi yang terlihat hijau dan rapat memang tak dapat dipungkiri menjadi bagian dari kebutuhan indrawi manusia saat ini, di balik sesaknya ruang gerak dan bernafas di perkotaan yang penuh susunan gedung saling berdempetan. Pekarangan yang hijau lebat membangun kesan sangat indah untuk dipandang, ditambah dengan suasana kabut tipis yang kerap menghiasi pedesaan di kaki gunung. Suara cericit burung-burung hingga serangga yang saling bersahutan membawa suasana magis tersendiri bagi telinga hingga beberapa kehangatan orang desa dalam menerima dan menjamu tamu menegaskan bahwa pedesaan adalah tempat pelarian paling pas. Kondisi-kondisi demikian menjadi penyangga pandangan dalam melihat desa secara romantik sebagai suatu komunitas yang adem ayem, guyub rukun, dan tenteram hingga memiliki hubungan persaudaraan yang kuat, baik antar anggota keluarga, komunitas desa, maupun orang dari luar 

Nilai-nilai yang ada di pedesaan memang mesti dirawat dengan baik. Namun, bukan berarti hal ini membuat kita harus menutup mata dari berbagai macam kekacauan yang terjadi di sekitarnya. 

Struktur dan dinamika masyarakat pertanian dibentuk di antaranya oleh relasi antar tenaga kerja, produksi, hingga intervensi mekanisme pasar. Dalam beberapa telaah yang mapan, ‘masyarakat tani’ secara optimistik dianggap punya posisi strategis dan penting dalam proses produksi pangan hingga keberlanjutannya sampai saat ini, meskipun pada kenyataannya anggapan ini sering kali turut menyokong pengabaian terhadap petani. Agar tidak terjebak dalam melihat petani sebagai komunitas yang homogen, pertanyaan-pertanyaan lanjutan harus ditegaskan terlebih dahulu mengenai siapa dan dalam kelompok usia mana dalam masyarakat tani yang dianggap dapat berperan penting dalam roda perjuangan untuk memenuhi kebutuhan pangan, keberlanjutan, dan kedaulatan pangan tersebut. Dinamika ketimpangan penguasaan tanah adalah masalah umum yang kerap terjadi di pedesaan. Mereka yang sama sekali tidak memiliki tanah (petani tunakisma) terpaksa harus tercebur ke dalam relasi-relasi eksploitatif dengan tuan tanah dalam model yang beragam. Beberapa diantaranya melaui skema sewa, bagi hasil yang kadang tidak berbanding lurus dengan curahan kerja penggarap, dan seterusnya. Tentu saja fenomena tersebut memerlukan analisis lebih dalam. Sebab hal ini sangat berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan dasar untuk sekedar hidup bagi para petani, maka sulit membayangkan siasat seperti apa yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan di luar subsistensi dalam kondisi yang terjepit.

Berbagai masalah serius telah menggerogoti keluarga petani di pedesaan sejak lama. Desa seringkali diposisikan hanya sebagai penyuplai tenaga kerja murah yang dapat dipekerjakan secara bebas dan rentan di perkotaan (surplus populasi relatif). Keadaan ini tentu tidak terlepas dari masalah-masalah ketimpangan penguasaan atas tanah yang telah menubuh di pedesaan, mereka yang terjebak dalam impitan ekonomi sebagai petani gurem maupun petani tunakisma yang sebelumnya telah tercebur dalam relasi sosial-produksi eksploitatif dengan setan-setan desa (tuan tanah) cenderung membangun harapan bahwa kota dapat menyulap kerentanan menjadi “kemapanan” dalam hal ekonomi. Pandangan menjanjikan inilah yang mendorong orang desa berbondong-bondong melakukan urbanisasi tanpa pikir panjang. Meninggalkan desa menuju kota-kota besar kerapkali ditempuh dengan melepaskan atau menjual tanah keluarga (bagi yang memiliki tanah) demi memodali rencana-rencana gemilang mereka. Padahal kota tidak akan pernah menjanjikan apa-apa. Dengan demikian, desa dan pertanian mengokohkan diri sebagai pelontar tenaga kerja untuk diserap di perkotaan, atau ditempatkan pada enclave-enclave perkebunan sebagai kuli kontrak atau buruh perusahaan perkebunan sesuai semangat industrialisasi. Selain itu, ancaman lain yang dapat mengemuka sewaktu-waktu ialah hadirnya rencana pembangunan ekonomi ekstraktif dan pembangunan infrakstruktur yang semakin masif melakukan konversi lahan-lahan produktif pertanian, atau memaksa pertanian skala rumah tangga terinkorporasi dalam skema produksi skala besar. Jika kita meninjau transisi perubahan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dari tahun ke tahun akan memunculkan ketimpangan yang mengerikan bagi lahan pertanian, sebagaimana yang dianalisa oleh Bachriadi dan Wiradi (2011). Negara melalui intervensi kebijakan telah membagi bentang alam Indonesia ke berbagai sektor seperti kehutanan, pertambangan, perkebunan, industri, dan perluasan kota, serta pariwisata, dan pertanian (Lutfhi dan Saluang: 2015). Deretan ancaman, oleh karena itu perlahan-lahan telah mengepung perdesaan yang mungkin masih kita huni hingga saat ini yang oleh orang kota seringkali hanya dilihat sebagai tempat healing.


Ilustrasi: A nutshell

Refrensi Bacaan:

Beberapa catatan harian saat sedang berkunjung ke Desa-desa yang ada di Kota Bone dan di Desa Lembang Bu’ne, Gowa di rumah Tata Hasan sebagai Juru Kunci Gunung Lompobattang

Hasil Listening Survey ala Training for Transformation (TFT) South Africa. Meskipun dalam catatannya belum terlalu mendalam dalam menggali masalah.

Sirimorok, Nurhady (2019), Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Menjaga Alam dan Penghidupan Desa. Geotimes.

Sirimorok, Nurhady (2018), Hutan Pinus: Folk Bagi Orang Kota, Bencana Bagi Orang Desa. Geotimes.

Murray Li, Tania (2022), Kisah Kebun Terakhir. Marjin Kiri.

Nashih, Ahmad & Saluang, Surya (2015), Masa Depan Anak Muda Pertanian di Tengah Liberalisasi Pertanahan.

Larastiti, C. 2017. “Privatisasi Air Bukan Obat Mujarab.” Ulasan buku Privatizing Water: Governance Failure and The World’s Water Urban Crisis karya Karen Bakker. Wacana 35:201-215.

Batubara, B. 2017. “Ekologi Politis Air: Akses, Eksklusi, dan Resistensi.” Wacana 35:3-23.

Rahmawati, Yessi. 2023. “Geo-spatial analysis: the impact of agriculture productivity, drought, and irrigation on proverty in East Java, Indonesia.” Letters in Spatial and Resource Science Volume 16:6. 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0