Rakyat Membayar, Keluarga Berkuasa! (Biaya Sosial Politik Dinasti)

Penulis: Zain N. Haiqal

Kita sering mendengar cerita tentang seorang pejabat yang setelah jabatannya habis lekas  digantikan oleh anak, istri, paman, kenalan atau kerabat dekatnya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang tetapi juga di negara maju, meskipun mungkin dengan cara yang lebih terselubung. Di Indonesia, politik dinasti telah menjadi masalah serius, terutama di daerah-daerah, yang kekuasaan politiknya dikuasai dan disetir oleh segelintir keluarga elit. Dampak dari politik dinasti ini sangat besar dan biasanya rakyatlah yang harus menanggung akibatnya. Baik dari segi finansial maupun sosial. 

Politik dinasti seringkali diwarnai dengan praktik nepotisme dan kronisme, dimana posisi penting dalam pemerintahan diberikan pada orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa saja. Ini bukan karena mereka memiliki kualifikasi terbaik untuk posisi tersebut, melainkan karena hubungan darah atau kedekatan pribadi saja. 

Seorang bupati, misalnya, akan mendorong istri atau anaknya untuk maju dalam pemilihan selanjutnya, sehingga kekuasaan tetap berada di tangan keluarga. Seorang Presiden, telah berhasil mendorong keponakan dan pamannya mengisi jabatan penting menjadi wakilota dan ketua mahkamah konstitusi, serta mendorong anaknya menjadi tangan panjang kekuasaannya, menjadi wakil presiden. Politik dinasti semacam ini menimbulkan berbagai masalah, termasuk korupsi yang merajalela, ketidakadilan sosial, dan menurunnya indeks demokrasi, dan kualitas pelayanan publik.

Laporan Transparency International, 2023 mencatat bahwa negara-negara yang memiliki tingkat politik dinasti tinggi, seperti Indonesia, cenderung memiliki indeks persepsi korupsi yang buruk. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index/CPI) yang mencakup 180 negara di seluruh dunia merupakan indikator global utama korupsi di sektor publik. Indonesia memiliki skor 34 tahun ini, dengan perubahan 0 sejak tahun lalu, yang berarti Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara. Hal ini menunjukkan bahwa politik dinasti sering kali berhubungan erat dengan korupsi, di mana keluarga penguasa memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri. Yang lebih parah, rakyat sering kali harus membayar mahal untuk praktik semacam ini.

Ketika politik dinasti memegang kendali, rakyat sering kali dibebani secara finansial. Bagaimana ini bisa terjadi? Karena salah satu cara adalah melalui kebijakan ekonomi yang lebih menguntungkan keluarga penguasa daripada rakyat. Misalnya, proyek-proyek pembangunan yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, seperti infrastruktur jalan, sekolah, dan rumah sakit, sering kali dijadikan sebagai cara untuk memperkaya keluarga penguasa. Proyek-proyek ini biasanya diberikan kepada perusahaan yang dimiliki oleh kerabat atau teman dekat penguasa, meskipun perusahaan tersebut mungkin tidak memiliki kualifikasi yang memadai.

Hal ini menimbulkan pemborosan besar dalam penggunaan anggaran negara. Sebuah studi yang dilakukan oleh The World Bank menunjukkan bahwa negara-negara dengan politik dinasti cenderung memiliki proyek-proyek pemerintah yang lebih boros dan tidak efisien. Proyek yang seharusnya dapat diselesaikan dengan biaya yang lebih rendah menjadi jauh lebih mahal karena praktik nepotisme dan korupsi. Siapa yang akhirnya membayar? Tentu saja, rakyat. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik malah diselewengkan untuk kepentingan keluarga penguasa.

Selain itu, rakyat juga sering kali dikenai pajak yang lebih tinggi untuk menutupi kekurangan anggaran akibat pemborosan ini. Di Indonesia, misalnya, kita sering melihat kenaikan tarif pajak atau pengurangan subsidi, sementara keluarga penguasa dan kroni-kroninya terus menikmati kekayaan yang mereka kumpulkan dari proyek-proyek pemerintah. Ini adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang paling nyata dalam politik dinasti.

Tidak hanya biaya finansial, politik dinasti juga menimbulkan dampak sosial yang serius. Salah satu dampak terbesar adalah ketidakadilan sosial. Ketika kekuasaan terpusat pada segelintir keluarga, akses ke kesempatan dan sumber daya pun menjadi sangat terbatas bagi rakyat biasa. Mereka yang tidak memiliki hubungan dekat dengan keluarga penguasa seringkali kesulitan mendapatkan akses ke pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, atau bahkan layanan publik dasar.

Sebagai contoh, dalam sebuah pemerintahan yang didominasi oleh politik dinasti, sering kali hanya mereka yang memiliki hubungan dengan keluarga penguasa yang bisa mendapatkan posisi strategis di birokrasi atau perusahaan milik negara. Ini menciptakan lingkaran setan di mana mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan semakin sulit untuk maju, sementara keluarga penguasa terus memperkuat posisi mereka. Akibatnya, kesenjangan sosial semakin lebar, dan masyarakat menjadi semakin terpecah.

Jacques Derrida, menjelaskan bahwa banyak struktur sosial, termasuk politik, dibangun di atas “konstruksi sosial” yang sering kali dianggap alami atau wajar. Dalam konteks politik dinasti, kekuasaan yang diwariskan secara turun-temurun sering kali diterima begitu saja sebagai hal yang normal, meskipun sebenarnya merupakan hasil dari konstruksi sosial yang diciptakan oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan. Menurut Derrida, struktur ini bisa di dekonstruksi. Artinya kita bisa membongkar dan mempertanyakan sistem yang ada untuk melihat bagaimana ketidakadilan ini diciptakan dan dilanggengkan.

Kekuasaan yang diwariskan dianggap sebagai hal yang wajar karena sudah menjadi bagian dari budaya politik di banyak negara. Namun, ketika kita mulai mempertanyakan sistem ini, kita bisa melihat bahwa politik dinasti sebenarnya hanya melayani kepentingan segelintir orang, sementara rakyat kebanyakan hanya bisa menerima apa yang ada tanpa bisa merubahnya.

Masalah lain yang muncul dari politik dinasti adalah kurangnya akuntabilitas. Ketika seorang penguasa tahu bahwa mereka bisa menyerahkan kekuasaan kepada anggota keluarganya setelah masa jabatannya berakhir, mereka tidak memiliki insentif untuk bekerja keras atau membuat kebijakan yang benar-benar pro-rakyat. Sebaliknya, mereka cenderung lebih fokus pada bagaimana mempertahankan kekuasaan dan memperkaya diri sendiri, karena mereka yakin bahwa tidak ada yang bisa menggulingkan mereka.

Dalam sistem politik yang lebih demokratis, pemimpin dipilih berdasarkan kemampuan dan rekam jejak mereka. Jika seorang pemimpin gagal, rakyat bisa memilih orang lain pada pemilu berikutnya. Namun, dalam politik dinasti, hal ini menjadi sulit. Rakyat mungkin masih bisa memilih, tetapi pilihan mereka terbatas pada anggota keluarga yang sama, yang akan melanjutkan kebijakan yang sama. Ini mengakibatkan korupsi yang merajalela karena tidak ada mekanisme akuntabilitas yang efektif.

Menurut laporan Transparency International tahun 2021, negara-negara dengan politik dinasti cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara yang memiliki sistem politik yang lebih terbuka. Ini bukan kebetulan. Ketika kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, mereka bisa menggunakan pengaruh mereka untuk melindungi diri dari penyelidikan atau hukuman. Bahkan jika ada skandal besar, keluarga penguasa sering kali memiliki cukup kekuasaan untuk memastikan bahwa mereka tidak akan pernah benar-benar bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Apa yang Dapat Dilakukan?

Untuk mengatasi dampak buruk politik dinasti, reformasi politik serius diperlukan. Salah satu langkah pertama yang bisa diambil adalah memperketat aturan tentang konflik kepentingan dan nepotisme. Pejabat publik seharusnya tidak diizinkan untuk memberikan jabatan atau kontrak kepada anggota keluarga mereka. Selain itu, perlu ada transparansi yang lebih besar dalam proses pemilihan dan pengangkatan pejabat pemerintah, sehingga rakyat bisa memastikan bahwa mereka yang berkuasa dipilih berdasarkan kemampuan dan integritas, bukan karena hubungan keluarga.

Penting juga untuk mendorong partisipasi politik yang lebih luas. Politik dinasti seringkali berkembang karena partai-partai politik didominasi oleh keluarga atau kelompok elit tertentu. Untuk mengatasi ini, partai politik harus lebih terbuka dan inklusif, memberikan kesempatan kepada lebih banyak orang untuk terlibat dalam proses politik.

Pada akhirnya, rakyat harus menyadari bahwa politik dinasti bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Karena seperti yang dijelaskan Derrida, sistem sosial dan politik yang ada bukanlah sesuatu yang tetap dan tak tergoyahkan. Dengan memahami bagaimana konstruksi sosial ini bekerja, kita bisa mulai membongkar sistem yang tidak adil dan menciptakan politik yang lebih demokratis, di mana kekuasaan benar-benar ada di tangan rakyat, bukan hanya di tangan segelintir keluarga yang berkuasa.


Ilustrasi: Achmad Fauzan

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0