Timur dan Banjir Kota

Penulis: Zain N. Haiqal

Hujan turun tak kenal henti. Meskipun musim penghujan datang telat, Ia turun selama tiga hari berturut-turut. Volume air yang tinggi, suasana serba lembab, dan gemuruh guntur terdengar membuat siapapun di kota ini bergedik. Di kota ini, dulu, dulu sekali, dikenal sebagai pusat peradaban modern. 

Namun kini air telah menjadi musuh. Sungai-sungai yang seharusnya mengalir tenang berubah menjadi ancaman, mendobrak batas-batas alam dan bangunan buatan manusia. Air meluap ke jalanan, tumpah menenggelamkan rumah-rumah, menghanyutkan harapan. Banjir tak lagi menjadi berita mengejutkan, melainkan rutinan dan bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, di balik setiap genangan air, tersimpan kisah pilu tentang ketidakadilan, ketidakpedulian, dan kebijakan yang salah arah.

Kota ini dulunya memiliki sistem drainase terbaik. Pada awal abad ke-20, kota ini bahkan dijuluki sebagai “Venice of the Java”. Kanal-kanal dibangun untuk mengendalikan air, mengarahkan banjir musiman agar tidak menimbulkan kerusakan. Tapi sekarang, kota ini tak lebih dari reruntuhan kebanggaan masa lalu. 

Tahun demi tahun, populasi yang kian membengkak, dan pembangunan yang tak terkendali menjadikan tanahnya semakin keras dan menyusut. Ruang hijau menghilang, digantikan oleh gedung-gedung megah pencakar langit yang memakan lahan resapan air. Proyek reklamasi, yang digadang-gadang sebagai solusi pertumbuhan ekonomi, justru memperparah bencana ekologis. Akibatnya, ketika hujan datang, tak ada lagi tempat bagi air untuk kembali ke bumi.

Banjir kali ini berbeda. Data dari Stasiun Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (SMKG) menunjukkan bahwa intensitas hujan turun telah mencapai rekor tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. “Fenomena La Nino” yang memperkuat curah hujan ekstrem semakin sering terjadi di Negara ini akibat perubahan iklim global. Ditambah lagi, permukaan laut yang terus naik akibat pemanasan global membuat air sungai di kota ini meluap lebih cepat dan parah.

Timur, seorang pemuda tinggal di pinggiran kota, berdiri di depan rumahnya yang kini tenggelam hingga setengah jendela. Matanya memandang nanar ke arah sungai kecil di belakang rumahnya, yang kini berubah menjadi lautan cokelat deras berlumpur. Dalam hati, ia mengenang masa kecilnya, ketika sungai itu menjadi tempat bermain bersama teman-temannya. 

“Dulu, airnya jernih, kita bisa berenang dan menangkap ikan,” kenang Timur. Sekarang, sungai itu dipenuhi sampah yang berjalan seperti gemuruh dan tak pernah berhenti mengalir.

Penelitian dari Environmental Science Journal tahun 2022 menyebutkan bahwa di kota-kota besar seperti ini, 60% aliran air sungai tercemar limbah industri dan rumah tangga, memperparah dampak bencana hidrometeorologi. Selama bertahun-tahun, Timur menyaksikan bagaimana kotanya berubah. Ia melihat lahan pertanian di pinggiran kota dijual kepada pengembang. Tentunya untuk dijadikan kompleks perumahan mewah dengan cicilan KPR memakan waktu seumur hidup. Timur menyaksikan betapa pemerintah kota lebih memilih membangun pusat perbelanjaan dan hiburan baru daripada memperbaiki sistem drainase yang sudah usang itu, telah berumur puluhan tahun. Dalam diskusi-diskusi di kampus, tempat Timur menimba ilmu, dosen-dosennya sering bicara tentang urban sprawl—fenomena ekspansi kota yang tak terkendali. Kota tempat Timur tinggal merupakan contoh nyata dari teori tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang dipaksakan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan telah mengubah wajah kota menjadi monster beton yang haus tanah.

Bukan hanya masalah drainase dan reklamasi yang menjadi biang keladi. Korupsi juga memainkan perannya. Anggaran untuk proyek-proyek lingkungan dan pengendalian banjir sering kali dijegal untuk kepentingan pribadi segelintir pejabat. Sebuah laporan investigasi Transparency International tahun 2021 mengungkap bahwa dari total anggaran proyek drainase kota sebesar 500 miliar rupiah, 30% di antaranya diduga menguap karena praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Hasilnya? Proyek yang seharusnya bisa menahan banjir hanya berfungsi setengahnya.

Timur tahu semua itu, karena dia aktif di organisasi mahasiswa pecinta lingkungan yang kerap kali mengadvokasi kebijakan yang lebih ramah lingkungan. Bersama teman-temannya, Timur kerap mengadakan aksi protes menuntut pemerintah untuk segera bertindak. Namun, suara mereka tenggelam di tengah kebisingan politik dan ekonomi yang ngawur. “Lingkungan bukan prioritas,” itulah yang sering kali dijawab oleh para pejabat ketika mereka dihadapkan pada tuntutan tersebut. Namun, bagi Timur dan teman-temannya, banjir ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah bukti nyata dari pengkhianatan para pemimpin kota terhadap rakyatnya.

Hari ketiga banjir, kota ini benar-benar lumpuh. Air setinggi pinggang menggenangi jalan-jalan utama, merendam rumah-rumah, sekolah, dan rumah sakit. Evakuasi pun kacau. Banyak warga yang terjebak di atap-atap rumah, menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Media sosial dipenuhi dengan gambar dan video warga yang memohon pertolongan, sementara bantuan pemerintah datang terlambat. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah menunjukkan bahwa setidaknya 50.000 orang telah mengungsi, sementara ribuan lainnya masih terjebak di rumah mereka. Tenda-tenda pengungsian penuh sesak, dan persediaan makanan serta obat-obatan mulai menipis. Satu per satu warga mulai jatuh sakit.

Di salah satu tenda pengungsian, Timur duduk bersandar di sudut, lelah. Ia tahu bahwa setelah banjir ini surut, masalah mereka tak akan selesai. Setelah air menghilang, akan muncul penyakit akibat pencemaran air dan sanitasi yang buruk. Kualitas air bersih pun akan semakin menurun, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah kumuh. Studi dari The Lancet menunjukkan bahwa banjir besar di daerah perkotaan sering kali diikuti oleh lonjakan penyakit menular seperti diare, demam berdarah, dan leptospirosis. Ancaman ini nyata bagi ribuan warga yang hidup di tengah kerapuhan infrastruktur kota.

Timur menarik napas panjang, mencoba meredakan emosinya yang berkecamuk. Dalam hati, ia bertanya-tanya sampai kapan bencana seperti ini akan terus terjadi. Sampai kapan kota ini akan terus dihancurkan oleh kelalaian, keserakahan, dan ketidakpedulian? Apakah generasi mereka harus terus hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan setiap kali hujan turun?

Namun, di tengah keputusasaan itu, Timur  merasa ada sesuatu yang harus dilakukan. Generasi mereka tidak bisa terus diam. Mereka harus menjadi generasi yang melawan, bukan hanya dengan aksi di jalanan, tetapi juga dengan ilmu pengetahuan, advokasi, dan perubahan kebijakan. Timur teringat perkataan seorang dosennya tentang pentingnya memadukan pengetahuan dengan aksi nyata. “Kita tidak bisa mengubah dunia hanya dengan marah,” kata dosen itu. “Kita butuh strategi, butuh gerakan yang terstruktur, dan butuh kolaborasi.”

Banjir ini hanyalah awal dari sebuah perjalanan panjang. Bagi Timur, perjuanganku belum berakhir. Bahkan terlalu dini untuk memulai. Timur harus terus berjuang, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk generasi berikutnya yang akan mewarisi bumi yang sudah rapuh ini. Di balik banjir kota, tersimpan pelajaran berharga tentang bagaimana manusia, alam, dan kekuasaan saling terkait. Dan di dalam air yang menggenangi kota ini, Timur melihat refleksi dari harapan yang meskipun tampak tenggelam, masih terus hidup namun hanya sepercik.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0