Oleh Kharisma Nur Fitria
Ramadhan selalu diawali dengan perbedaan. Tahun ini ramadhan setidaknya lebih bersahabat karena masih 11/12. Aku menyambutnya dengan gembira dan bahkan sudah sibuk memilih warna baju lebaran keluarga. Puasa pertama, aku memutuskan untuk belanja ke Pasar Tradisional. Maklum saja, harga bahan pangan selalu naik di bulan ramadhan dan aku tidak sanggup menggaulkan isi dompetku untuk belanja di Supermarket.
Pasar Suruh menjadi pilihanku. Aku memasuki pasar dan mencari kios bagian protein. Aku begitu semangat setelah melihat kios Mak’e si penjual ayam potong. Cukup ramai pikirku kios Mak’e hari ini di tengah rumor harga ayam mahal sekali. Aku menunggu celah untuk menyerukan permintaanku kepada Mak’e.
“Eh, Mbak, mahal sekali yo ayam sekarang” ujar seorang perempuan paruh baya menyenggolku.
“Berapa, Bu, memangnya sekarang?”
“Empat puluh ribu, Mbak, sekilo”
“Iya, Yu. Sebelah sana malah empat puluh lima ribu” sahut ibu lain tidak kalah serunya.
Aku menyimak obrolan mereka sambil tersenyum, sesekali menggelengkan dan menganggukkan kepala mengikuti apa yang mereka inginkan.
“Beli bagian dada aja, Mbak, seperti biasa?” Mak’e akhirnya memanggilku.
“Iya, Mak’e. Sekilo, banyakin bagian sayapnya ya”
“Siap, Mbak. Udah turun harga ayam hari ini”
“Oh, iya? Jadi berapa Mak’e?”
“Turun dua ribu mbak, sekilo empat puluh ribu”
“Turun dua ribu, Mak’e? Lhah, ya ndak ngaruh” tiba-tiba seorang ibu di sampingku yang sedang membolak-balik ayam ikut menjawab pernyataan Mak’e.
Aku merasa senang setiap belanja ayam di kios Mak’e, sudah pasti diberi bonus barang ati ampela dua pasang. Selesai sibuk dengan ayam, aku menujutempat Pakdhe Nok si penjual aneka ragam telur mulai dari telur ayam negri, telur ayam kampung, telur bebek, telur asin, hingga telur mainan.
Pakdhe Nok selain menjadi penjual telur juga sebagai tempat penitipan telur. Sudah seperti kebiasaan para pembelanja menitipkan telur yang dibelinya kepada Pakdhe Nok dan diambil ketika hendak pulang. Bagaimana aku atau mereka bisa berjalan membawa belanjaan banyak dan harus memikirkan agar telur yang mahal ini tidak pecah? Oh, sungguh keadaan yang tidak bisa dikendalikan semua orang kecuali satu makhluk yang bernama bapak-bapak.
Bapak-bapak selalu membawa belanjaannya dan pantang menitipkannya kepada penjualnya. Bapak-bapak membawa atmosfer aneh ketika mendekati salah satu kios di tengah kerumunan ibu-ibu. Mereka mungkin merasa aneh dan terkucilkan karena belanja di pasar dengan uang receh pesanan istrinya. Begitulah sebaiknya, ia harus ke pasar sedang sang istri sudah mencuci, menyapu, mengepel, dan nanti akan memasak belanjaan yang dibawanya.
Aku mengamati setiap orang membawa bungkusan aneh yang berasal dari kios penjual ikan bandeng presto. Dari Pakdhe Nok, aku melipir ke kios itu. Kebetulan aku berniat membelinya karena enak dan praktis jadi lauk sahur ketika terburu waktu. Aku masih mengamati bungkus yang dipakai ibu penjual bandeng presto itu. Heran, dari mana ia mendapatkan kemasan berbentuk buku dan mudah disobek, praktis sekali. Aku lalu melihat bungkus lembaran berwarna putih dengan tulisan.
“Bu, mau ini 3” pintaku.
“Oh iya, Mbak. Satu dua belas setengah”
Aku mengamati bungkus ikan bandeng yang kebetulan dua lapis, satu lapis kertas berwarna abu-abu dan satu lapisnya lagi berwarna putih. Aku membaca sekilas tulisannya, ternyata itu lembar buku LKS dan lembar soal UTS. Hal biasa memang dan aku masih saja tercengang.
Beralih memenuhi kebutuhan sayur, aku tidak bersemangat lagi. Aku paling tidak suka belanja sayur karena terlalu banyak penjualnya. Hal yang sering terjadi adalah ketika aku sudah belanja di sini tetapi di sana ada sayur yang lebih segar. Tidak ingin mengulangi penyesalan itu, aku memutuskan berkeliling sepanjang lorong kios sayuran. Riuh lorong itu ditemani sahutan antara ibu penjual yakult dan bapak penjual belut.
“Monggo Bu, monggo yakultnya” dengan ramah si ibu menawarkan dagangannya.
“Monggo belutnya” bapak itu meniru ibu penjual yakult.
“Monggo yakultnya, tiga ribu”
“Monggo, monggo, monggo belutnya. Supaya anaknya pinter ga usah sekolah” pecah tawanya bersama orang-orang di pasar yang mendengarnya.
Tibalah aku di depan pedagang sayur terkomplit yang aku lihat sepanjang lorong. Aku berencana membeli sayur labu siam dan tomat. Sayur daun hijau akan aku beli di warung dekat rumah agar tetap segar ketika mau dimasak.
“Bu, ini labu siam dua” aku menyodorkan pilihanku kepada si ibu.
“Labu siam dua, lima ribu”
“Dua ini lima ribu, Bu?”
“Iya, Mbak. Semua mahal eh. Apa lagi?”
“Ini tomat”
“Tomat juga mahal eh, Mbak. Satu ini tiga ribu”
Aku tidak merasa keberatan dengan harga ayam, telur, dan ikan yang naik di awal ramadhan. Sayangnya, aku tidak bisa terima harga labu siam dua buah kecil-kecil itu lima ribu rupiah dan satu buah tomah seharga tiga ribu rupiah. Aku baru menyadari betapa semuanya menjadi mahal hanya dari dua buah labu siam dan satu buah tomat. Sungguh.
Tentang Penulis:
Karisma Nur Fitria, seorang mahasiswi berusia 20 tahun yang sedang menempuh pendidikan di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta. Memiliki ketertarikan dalam bidang kepenulisan berbagai genre baik fiksi maupun non fiksi. Beberapa karya jurnalistiknya pernah diterbitkan seperti features, ulasan buku, dan lainnya. Kadang juga suka menggambar atau lebih tepatnya corat-coret. Saat ini tengah berusaha mengembangkan project humanity @katabantu_ dengan konsep menjual e-book karya sastra (karya sendiri) dan 100% hasil penjualannya akan didonasikan untuk aksi kemanusiaan.
Ilustrasi: Karisma Nur Fitria
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!