Banyak orang yang beranggapan bahwasannya menjadi lulusan fakultas kedokteran akan mempunyai hidup yang mapan dan sejahtera. Mempunyai gaji tinggi, mobil mewah, rumah besar, dan masa depan yang cerah. Di Indonesia, profesi dokter adalah profesi yang diidam-idamkan oleh orang tua terhadap anaknya bahkan oleh calon mantu. Banyak orang tua yang mengira jika anaknya menjadi dokter maka akan meningkatkan tarif ekonomi dan kesejahteraan keluarganya. Namun apakah anggapan orang terhadap profesi dokter di Indonesia seratus persen benar? Jika tidak, bagaimana nasib dokter di Indonesia?
Kerja Serius Gaji Bercanda
Dalam menjalankan peran sebagai dokter, prinsip “aegroti salus lex suprema” harus ditekankan, yang artinya keselamatan pasien merupakan prioritas utama dan tanggung jawab tertinggi yang dimana itu berhubungan dengan hal yang paling berharga di dunia yaitu “nyawa manusia”. Oleh karena itu, seorang dokter harus siap untuk bertanggung jawab secara profesional atas setiap tindakan yang dilakukannya.
Maka dari itu perjalanan untuk menjadi dokter tidaklah mudah. Pada umumnya menjadi seorang dokter membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang relatif lama jika dibandingkan dengan pendidikan di jenjang strata lainnya. Dari segi waktu, pendidikan untuk menjadi dokter di Indonesia membutuhkan sekitar 6,5 tahun (paling cepat) dengan rincian: 3,5 tahun pendidikan sarjana kedokteran, 2 tahun mengikuti koas dan 1,5 tahun mengikuti intership beserta lama antriannya.
Dengan lamanya rentang waktu dan besarnya biaya pendidikan dan tanggung jawab, seharusnya bisa menjadi dasar anggapan bahwasannya seorang dokter harus mendapatkan gaji yang besar dan hidup yang layak agar dapat bekerja dengan baik. Namun pada kenyataanya seorang dokter di Indonesia masih jauh dari kata itu.
Berdasarkan “Survei Kesejahteraan Dokter Umum” oleh Junior Doctor Network (JDN) yang diikuti oleh 452 dokter umum yang sudah bekerja mandiri di seluruh Indonesia, sebanyak 26,24% masih mendapatankan gaji dibawah 3 juta rupiah perbulan dan sebanyak 8,89% hanya mendapatkan gaji dibawah 1,5 juta rupiah perbulan. Padahal, total jam kerja mereka sekitar 42 jam per minggu, yang sudah sesuai dengan standar yaitu 40 jam per minggu yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Organisasi profesi dokter seluruh Wilayah Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sudah merekomendasikan gaji minimal dokter sebesar 12,5 Juta rupiah perbulan kepada Kementrian Kesehatan dan Kementrian Keuangan. Namun hingga saat ini rekomendasi tersebut tak kunjung disetujui. Menurut survei yang dilakukan oleh JDN, hanya sebanyak 5,53% dokter umum yang digaji sesuai dengan rekomendasi IDI yang berarti ada sebanyak 94,47% yang tidak digaji sesuai dengan rekomendasi IDI. Hal ini dengan rentang jam kerja sekitar 42 jam perminggu.
Rendahnya gaji tersebut, tidak sedikit dokter yang akhirnya pratek di beberapa tempat sehingga menambah waktu jam kerjanya. Namun mirisnya, data survei yang dikeluarkan oleh JDN, dengan berkerja di dua sampai tiga tempat praktek dengan jam kerja sekitar 66 jam perminggu (artinya harus bekerja 9,4 jam setiap hari tanpa libur) hanya sebanyak 16,15% saja yang gajinya sesuai dengan standar IDI dan sebanyak 83,85% masih belum sesuai dengan standar IDI.
Sumber: Junior Doctor Network Indonesia
Dilihat dari data-data tersebut, seorang dokter umum dengan jam kerja dan beban kerja yang berat serta biaya pendidikan yang besar dan rentang waktu yang relatif lama, jelas tidak layak dan berimbang. Namun ketika dokter protes dan bersuara maka akan dijawab dengan mudahnya “tugas kalian adalah mengabdi, jangan kebanyakan mengeluh” dua kata mulia buat para dokter pengabdian dan ikhlas. Mereka melihat dokter hanya sebagai ‘alat penyembuh’ hanya sebatas objek bukan subjek. Seorang dokter dituntut untuk berperikemanusiaan tanpa mendapakan rasa kemanusiaan. Bagaimana mungkin seorang dokter harus bekerja secara tulus mengabdi tetapi sekolah saja masih banyak yang harus berhutang karena ketiadaan biaya, mereka masih harus memikirkan bagaimana keluarganya makan, bagaimana caranya membiayai anak-anaknya sekolah.
Dokter Umum digaji tidak layak, tetapi jadi dokter spesialis sangatlah sulit
Memang pada umumnya yang bergaji rendah adalah dokter umum. Namun untuk mengambil program pendidikan dokter spesialis (PPDS) harus mengeluarkan modal yang besar. Di Indonesia, dokter yang mengambil PPDS harus membayar lagi sekitar ratusan juta untuk uang masuk. Belum lagi dia tidak boleh bekerja atau praktek selama PPDS sekitar 4-6 tahun. Paradoksnya menjadi dokter di Indonesia adalah untuk lulus menjadi dokter umum membutuhkan sekitar 7 tahun dengan biaya yang lumayan besar. Sehabis lulus dan menjadi dokter umum, upah yang didapatkan sangatlah rendah dan tidak layak. Jika ingin mendapatkan taraf hidup yang layak atau tinggi maka harus menjadi dokter spesiaslis. Namun ironinya, menjadi dokter spesialis harus membayar lagi sekitar ratusan juta untuk uang masuk dan tidak ada pemasukan uang selama masa pendidikan atau sekitar 4-6 tahun. Selain itu, hampir kebanyakan syarat untuk mengikuti PPDS adalah mempunyai batas maksimal umur 35 tahun. Jika dilihat, rata-rata lulus menjadi dokter umum adalah di usia 25-26 tahun. Jadi hanya mempunyai waktu sekitar 9 tahun untuk mengumpulkan ratusan juta buat modal PPDS.
Keanehan yang kedua, pemerintah selalu teriak-teriak Indoensia kekurangan dokter. Kementrian Kesehatan RI menetapkan rasio ideal dokter dengan penduduk adalah 1:1000, tetapi hingga saat ini rasionya masih 0,32:1000. Namun disisi lain hanya di Indonesia saja menjadi dokter spesialis harus membayar ratusan juta untuk uang masuk, tidak digaji selama masa pendidikan dan mengongkosi dirinya sendiri. Belum lagi, sulitnya masuk PPDS dan masih banyaknya kasus perundungan di dunia PPDS. Mahalnya sekolah kedokteran ini dikarenakan minimnya bantuan pemerintah. Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) meminta pemerintah untuk memberikan afirmasi atau semacam subsidi bantuan untuk pendidikan kedokteran.
Dampak dari Rendahnya Gaji Dokter
Gaji yang minim dan tingginya modal yang dibutuhkan secara tidak langsung berdampak pada pasien. Karena biaya pendidikan kedokteran yang mahal, akibatnya banyak dokter yang memiliki hasrat bekerja hanya untuk balik modal, yap seperti nyaleg. Oleh karena itu banyak dokter yang melakukan malpraktik seperti penyalahgunaan surat keterangan sakit, bersetongkol dengan pihak farmasi dengan cara meresepkan obat sebanyak mungkin kepada pasien walaupun pasien itu tidak membutuhkannya, dan masih banyak lagi. Upah yang minim juga membuat dokter menjadi apatis dan sulit berempati kepada pasiennya sehingga membahayakan pasien.
Kesejahteraan yang tidak Terjamin
Jika kita berbicara tentang kesejahteraan maka kita tidak hanya berbicara tentang penghasilan atau upah saja. Tidak meratanya distribusi alat kesehatan, minimnya tenaga medis di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), perundungan saat pendidikan dan masih banyak lagi, juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan seorang dokter. Pada umumnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), minim sekali alat kesehatan yang memadai. Minimnya alat kesehatan ini berdampak besar terhadap pelayanan kesehatan. Sehingga menghambat dokter untuk dalam melakukan diagnosis dan dapat mempengaruhi dari hasil diagnosis. Padahal di wilayah 3T banyak kasus yang lebih rumit untuk ditangani dan disembuhkan. Minimnya alat kesehatan yang memadai ini juga dapat mengurangi rasa aman dokter saat bekerja. Contohnya dalam kasus Covid-19 kemaren, banyak tenaga kesehatan yang harus kehilangan nyawanya akibat kurang memadainya fasilitas kesehatan seperti APD dll.
Tidak meratanya distribusi alat kesehatan ini bisa disebabkan karena banyaknya kasus korupsi terhadap pengadaan alat kesehatan dan dihapusnya mandatory spending dibidang kesehatan. Selain itu sedikitnya tenaga kesehatan juga membuat seorang dokter menjadi lebih sulit untuk bekerja. Apalagi banyak tenaga kesehatan yang tidak mau ditempatkan diwilayah 3T. Banyak alasan mengapa tidak mau bekerja atau di ditempatkan di wilayah 3T, diantaranya yaitu kurang amannya hidup di wilayah 3T, minimnya alat kesehatan yang memadai, sulitnya akses kehidupan, dan mendapatkan upah yang tidak seberapa dibandingkan dengan pengorbanannya.
Penulis: Nuh Izzulhaq
Ilustrasi: A nutshell