REFLEKSI: TANDA TANYA GERAKAN DAN SECARIK PERMOHONAN MAAF UNTUK KAWAN

Sudah saatnya menyudahi romantisme berlebih dalam gerakan perlawanan. Nyatanya, entah itu gerakan perlawanan dalam rel oposisi, apalagi gerakan reformis (upaya perubahan dari dalam), tidak kunjung membuahkan hasil yang konkrit terhadap kemenangan masyarakat yang selama ini ditindas.

Dari berbagai cara yang dilakukan, entah itu kampanye, aksi demonstrasi, dlsb harus kita akui bahwa hal-hal yang sudah kita lakukan itu, belum betul-betul memberikan dampak kemenangan yang sesungguhnya.

Ntah karena penggunaan metode yang usang (beberapa orang ada yang mengatakan demikian) atau pengerahan kekuatan terhadap metode tersebut yang belum mencapai dosis yang maksimal. Radikalitas dalam gerakan ekstra parlemen yang disertai dengan kemasifan jumlah massa, serta kuat dalam daya tahan, sepertinya belum pernah terlihat lagi.

Begitu pun pada sisi kaum reformis. Dilihat dari terbitnya pelbagai kebijakan berperangai menindas, menjadi bukti bahwa kaum reformis tak kunjung dapat menyuguhkan perubahan konkrit untuk memperbaiki kondisi masyarakat tertindas. Bahkan yang tampil malah sebaliknya. Malah timbul hasil konkret berupa kebijakan yang mengancam hidup masyarakat tertindas.

Jika kita merasa bahwa upaya-upaya perlawanan yang telah kita lakukan sudah cukup hebat, maka ada yang aneh dari diri kita. Sebab pernyataan tersebut menimbulkan konsekuensi mengenai parameter kehebatan gerakan tidak bertumpu pada kemenangan yang kongkrit.

Hal-hal yang katanya ”hebat” yang sudah dilakukan, toh, pada nyatanya, tidak kunjung dapat mengembalikan tanah milik warga pakel. Buruh-buruh masih dihajar oleh upah yang tak masuk akal. Anak muda semakin tak memiliki celah untuk mendapatkan hak dasar berupa pendidikan. Dari tahun ke tahun, harga hunian semakin bertambah ketidak mungkinannya untuk dapat diraih oleh kita. Lingkungan terkerangkeng oleh segelintir elit, mereka, tinggal mengatur jadwal mengenai kapan akan membabat habis semua. Pengangguran masih bertebaran di tengah negara yang sangat kaya akan sumber dayanya. Dalam kondisi ini, tak ada buah yang tumbuh selain keputus asaan.

Kita harus mengakui bahwa saat ini kita masih belum membuahkan hasil apa-apa. Karena memang nyatanya seperti itu. Kita kadangkala mencandu bersembunyi di balik kalimat “yang penting kita menunjukan keberpihakan kita terhadap apa dan siapa” suatu kalimat yang rentan menjerumuskan kita terhadap acuan parameter kemenangan yang hanya bersandar pada pijakan keberpihakan saja.

Apa gunanya jika kita hanya berpihak, tanpa disertai dengan upaya perubahan secara serius dan berani menghadapi berbagai resiko terhadap langkah-langkah yang menurut kita dapat mendekatkan pada kemenangan. Pada situasi saat ini sekedar pernyataan keberpihakan, tidak akan merubah kondisi apapun, jika tanpa disertai aksi-aksi lanjutan setelahnya. Dan kupikir, banyak orang yang paham akan hal itu.

Perlu ada tindakan pasca pernyataan yang sekiranya dapat memberikan dampak rugi terhadap mereka yang berlawanan dengan kita. Tindakan atau aksi yang dapat memberikan ancaman terhadap para penguasa. Bila perlu, sesekali, layangkanlah terror kepada mereka. Sebab, derita yang tengah dialami oleh kawan-kawan kita tidaklah serupa sakit flu yang terkesan santai atau ringan sehingga dianggap tak mendesak untuk dijenguk atau segera disudahi deritanya. Mereka sedang mengalami situasi kritis yang cukup lekat dengan potensi pematian.

Dari berbagai ruang aksi, orasi kian hari kian bertambah muatan materi seputar konflik. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa penindasan semakin merebak di setiap sudut ruang, yang kedalamannya semakin hari semakin bertambah dalam, sampai-sampai membuat sesak, serupa tenggelam dalam telaga penuh limbah yang tak memiliki batas dasar.

Minggu lalu berteriak soal biaya kuliah, minggu depan soal Wadas, minggu depan nya intimidasi secara berkala terhadap warga pakel, minggu depannya lagi bertambah sekelumit peniadaan PKL Malioboro, minggu selanjutnya kematian aktivis lingkungan oleh selongsong peluru di Kalimantan, selanjutnya Geothermal Cianjur dan beberapa kawasan lainnya, lalu minggu depannya tambah lagi, berikutnya tambah lagi, lagi, lagi dan lagi.

Peristiwa-peristiwa penuh penderitaan yang lekat dengan kekerasan bahkan kematian itu kerap terhenti hanya sebatas menjadi penambah materi orasi-orasi belaka; atau menjadi tulisan propagandis, persis seperti apa yang sedang saya lakukan saat ini.

Saya tidak mengecilkan upaya yang telah dilakukan oleh kawan-kawan yang selama ini tengah berkutat di lajur aktivisme. Pun, paham bahwa aksi-aksi yang dilakukan merupakan proses percik api untuk dapat memantik kobar api yang lebih besar suatu saat nanti. Juga, tulisan ini tidaklah ditulis dengan maksud menghentikan aksi-aksi yang sudah atau tengah  dilakukan tersebut. Sebab, segala macam upaya, memang sangatlah penting untuk dilakukan. Tak menutup kemungkinan, upaya yang tak terpikirkan dapat memantik kobar yang telah lama diharapkan menyala.

Namun, menurut penulis, tensi aksi atau perlawanan perlu dinaikan ke tahap yang lebih ganas lagi. Mengapa demikian? Karena semua praktik kotor, menindas, dan sejenisnya kini dilakukan secara terang terangan. Semua benar benar tampil telanjang dengan segala keculasannya.

Puisi Pengharapan

Tulisan ini hanya sebatas sambatan atas ketidak piawaian penulis untuk membuat sesuatu hal konkrit atas permasalahan-permasalahan yang kadung banyak berserakan dimana-mana ini. Juga, tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan, bahwa kawan kita semakin mengalami kondisi kritis dari hari ke hari. Sebuah kondisi yang tak bisa diabaikan begitu saja atau dianggap enteng.

Teruntuk teman-teman yang tengah berjuang, bahkan mungkin tengah dibuat sekarat oleh keadaan, mohon maaf karena sampai detik ini, saya, sebagai kawan, belum mampu membuahkan hasil perjuangan yang maksimal. Maaf sampai saat ini belum bisa menghasilkan apa-apa. Maaf karena diri ini masih berkubang dalam sikap pengecut dan penakut.

Sudah cukup lampau, penulis tidak pernah meminta sesuatu kepada entitas yang dianggap sebagai maha pencipta sekaligus maha pengabul harap. Semoga ada semacam efek kulminasi atas hal tersebut. Tuhan, jika memang bisa, limpahkanlah seluruh persediaan terkabulnya doaku untuk mewujudkan harapan yang terkandung dalam puisi berikut:

Kawan, semoga akan ada hari dimana kita dapat duduk-duduk mesra
dengan jumlah massa ribuan di atas tanah pakel yang rimbun dan penuh cinta. 
setidaknya 7x24 jam
saling bergantian hingga berbulan bulan

Semoga akan ada hari dimana ratusan api menyala
di tiap gedung-gedung besar
yang telah lama menjadi penyumbat
suara-suara yang terasingkan

Semoga akan ada hari dimana kampus disidang
karena ikut menjadi faktor besar keputusasaan anak muda.

Semoga tak ada lagi pelajar yang menjatuhkan diri ke udara
atau memejamkan harap di danau yang riuh oleh gemuruh hujan. 

Semoga akan ada hari dimana speaker-speaker masjid gencar
melantunkan diksi perlawanan terhadap penindasan. 
sesering seruan 5 waktu berkumandang!

Semoga akan ada hari dimana kita semua dapat berkumpul mesra.
duduk dikursi dan meja serupa.
sembari memakan jagung hasil olahan kawan
sambil membahas: “daerah mana lagi yang akan kita menangkan bersama, kawan?

Penulis: Mahameru SDW

Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0