Oleh: Gustomo Wahyu Nugroho (Sekolah Aktivis SMI)
Dalam perhelatan pemilu yang telah berlangsung beberapa minggu yang lalu, kita seolah ditantang untuk memikirkan kembali apa artinya menjadi seorang Indonesia. Kita diajak untuk menafsirkan ulang mengenai apa arti demokrasi yang sesungguhnya. Tentu saja, bagi sebagian orang yang “melek politik”, demokrasi bukan hanya persoalan memilih para elite untuk berada dalam kursi kekuasaan.
Mirisnya, dalam berbagai sumber, Anda dapat dengan mudah menemukan berbagai narasi mengenai absennya etik dan hilangnya rasa malu pada para elite penguasa Indonesia. Banyak mantan koruptor yang (lagi-lagi) tak malu mencalonkan diri dalam pemilu. Kemudian, putusan MK yang dapat meloloskan putra sulung presiden untuk maju menjadi salah satu calon wakil presiden juga turut menjadi suatu hal yang sarat dengan pelanggengan kekuasaan. Bahkan, ramai sekali kasus yang melibatkan pengorganisasian aparat dan kepala desa untuk ikut menyukseskan kampanye salah satu paslon.
Bayangkan, aparatur negara yang mestinya netral dalam proses pemilu, saat ini justru ikut terlibat dan menafikan rasa malunya. Hal ini bahkan didukung oleh cawe-cawe Presiden Jokowi dengan mengucurkan dana bantuan sosial yang membengkak begitu besar menjelang pemilu. Hingga pada akhirnya, mimpi satu putaran kemenangan untuk sang putra presiden dapat diwujudkan dengan mudah.
Bagi saya, berbagai hal di atas sungguh memalukan! Bagaimana bisa seseorang begitu haus akan kekuasaan hingga kemudian menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya? Bahkan, seorang pemimpin bangsa rela mengubah hukum negara demi keluarga dan berusaha membodohi rakyat dengan narasi-narasi bohongnya. Tak pelak, rakyat Indonesia hanya dijadikan sebuah objek yang dibutuhkan ketika pemilu, dan ditinggalkan ketika pemilu usai.
Bagi saya, perasaan malu ini merupakan salah satu bukti kecintaan saya terhadap negara. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang Indonesianis, Benedict Anderson (1999) yang pernah menyatakan bahwa rasa malu politik mesti ditumbuhkan agar rakyat dapat dengan gagah berani menghadapi penyalahgunaan kekuasaan. Sebaliknya, negara ini akan hancur ketika kita tidak menghidupi rasa malu.
Oleh karenanya, kita mesti malu apabila penyelenggara negara menyalahgunakan kekuasaan hanya untuk segelintir orang. Kita mesti malu apabila penyelenggara negara hanya berfokus pada kepentingan kelompok tertentu. Kita mesti malu ketika para elite pemerintah menyatakan berbagai macam kebohongan atas nama “netralitas”. Dan tentu saja, kita mesti malu ketika melihat berbagai keculasan dan kecurangan secara jelas di depan mata, tetapi mereka justru berlindung di bawah narasi netralitas.
Berbagai perasaan malu itulah yang kemudian mesti kita pupuk menjadi sebuah laku aksi pergerakan. Sebuah aksi yang ikut menyuarakan, sekaligus menyadarkan kembali pada rakyat, bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja. Rasa malu tidak boleh hanya sekadar menetap di dalam benak. Rasa malu itu mesti kita suarakan! keculasan para elite mesti kita lawan!
Bahkan, dalam konteks sehari-hari, kita juga mesti selalu menaruh rasa curiga terhadap hegemoni kekuasaan yang begitu mengikat kita. Bukan hanya sebagai objek pada masa pemilu, kita juga merupakan objek dari ekonomi kapital dalam hidup sehari-hari. Kita selalu diperas dengan berbagai hal yang mesti kita beli. Kita mesti bekerja keras dengan upah yang sangat kecil. Bahkan, kita tidak pernah dapat menikmati hasil kerja kita.
Melalui perasaan-perasaan malu dan perlakuan tidak adil ini, mestinya kita adalah orang-orang yang sungguh berjiwa Indonesia. Karena Indonesia bukanlah para elite penguasa yang culas dan tak tahu rasa syukur maupun cukup. Sebagai rakyat, sesungguhnya kitalah pencipta sejarah.
Ilustrasi: A nutshell