Kritik Atas Pendidikan Hukum Hari Ini

Berdasarkan data yang dirilis oleh KPK, dalam kurun waktu 2004 hingga 2022 terdapat jumlah aparat penegak hukum yang tersandung kasus korupsi berjumlah 34 orang yang di antaranya 21 koruptor dengan jabatan hakim, 10 koruptor dengan jabatan jaksa, dan 3 orang koruptor dari kepolisian. Data tersebut mungkin hanya tip of the iceberg dari maraknya praktik korupsi di daerah-daerah yang belum teridentifikasi. Aparat penegak hukum merupakan tonggak dari penegakan hukum di Indonesia. Ironisnya, mereka justru ikut dalam pelanggaran hukum itu sendiri. Keboborokan institusi penegak hukum itu merupakan dosa dari pendidikan hukum di Indonesia. 

Pendidikan hukum Indonesia punya  perjalanan sejarah panjang, khususnya pada era kolonialisme Belanda. Hal tersebut dilatar belakangi oleh kebutuhan Pemerintah Belanda untuk mengisi jabatan-jabatan birokrat. Akses terhadap pendidikan hukum hanya terhadap para kalangan priyayi yang kemudian menjadi hakim, jaksa, atau polisi di daerah-daerah tertentu. Pendidikan hukum pada era ini hanya berkutat pada penguasaan peraturan perundang-undangan Belanda yang prosedural, sehingga menutup kemampuan siswa untuk berpikir kritis terhadap suatu kondisi tertentu. 

Ahli atau pakar hukum pada era ini cenderung konservatif dengan mengedepankan kepastian hukum (legalistik), sehingga tidak ada perubahan yang radikal dalam tata hukum Indonesia. Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, seorang Guru Besar socio-legal theory and method pernah merekam perkataan Sukarno sebagai berikut :

Presiden Soekarno menyerukan perlunya menciptakan hukum revolusi untuk menggantikan semua sisa hukum kolonial yang sampai saat itu menurut kaidah-kadiah formalnya masih harus dipandang sebagai hukum yang berlaku. Presiden Soekarno mencela secara terbuka pada ahli hukum dan hukum-hukum formal yang dikukuhinya sebagai kekuatan-kekuatan konservatif yang akan menghambat berputarnya roda revolusi. Para ahli yang selalu berkutat secara legalistic pada hukum-hukum formal inilah yang – dengan dalih demi kepastian hukum – selalu cenderung untuk mempertahankan sistem-sistem dan tertib-tertib yang lama, yang sesungguhnya amat kolonial.”

Tujuan pendidikan hukum tersebut kemudian tidak pernah terealisasi sejak zaman Orde Baru. Kuasa rezim terhadap institusi pendidikan sangat kuat, sehingga pendidikan hukum mundur ke belakang sama seperti era kolonialisme. Pada era ini, hukum hanya berfungsi sebagai legitimasi atas kekerasan yang dilakukan oleh rezim terhadap para “pembangkang”. Upaya pembaharuan hukum dapat dilihat dengan didirikannya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun 1970 oleh Adnan Buyung Nasution. YLBHI merupakan bagian terpenting dalam pendidikan hukum progresif dengan penyelarasan antara realitas sosial dengan cita-cita hukum. Hal tersebut menjadikan YLBHI sebagai salah satu aktor kunci perlawanan terhadap rezim Orde Baru.

Terobosan yang dilakukan oleh YLBHI adalah dengan meluncurkan konsep Bantuan Hukum Struktural sebagai alat perlawanan terhadap kemiskinan struktural yang disebabkan oleh pemerintah Orde Baru. Akses masyarakat terhadap hukum menjadi inklusif dengan mengedepankan aspek-aspek Hak Asasi Manusia. Mahasiswa mulai bergerak di luar kampus dengan melakukan advokasi terhadap masyarakat marjinal. Oliver Wendell Holmes, seorang mantan Hakim Agung Amerika Serikat, berpendapat “The life of the law has not been logic; it has been experience”. Pendidikan hukum tidak dapat dilaksanakan hanya berdasarkan logika atas sekumpulan aturan, tetapi ia harus melalui pengalaman langsung dengan masyarakat.

Advokasi dan pengorganisasian masyarakat yang gencar, menjadi bom waktu bagi pemerintah Orde Baru. Masyarakat yang sadar akan haknya bergerak di berbagai daerah hanya dengan satu tuntutan: “Turunkan Soeharto!”. Reformasi pun dimulai dengan dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) serta program untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Akan tetapi, pendidikan hukum hari ini tetap saja tidak jauh berbeda dengan pendidikan hukum masa kolonialisme Belanda. Institusi pendidikan hanya menghasilkan sarjana hukum yang telah disesuaikan dengan minat pasar.

Prof. Satjipto Rahardjo dari Universitas Diponegoro Semarang merupakan salah satu pakar hukum pada era reformasi yang menggagas “Hukum Progresif”. Ini adalah salah satu kritik terbesar dalam sejarah tata hukum Indonesia dengan mengedepankan semangat kemanusiaan (spirit of humanity). Teori ini adalah kebutuhan atas kondisi hukum pada saat itu. Hal ini sangat dibutuhkan oleh pendidikan tinggi hukum kita dengan mengedepankan penegakan hukum yang humanis dan hukum sebagai process bukan sebagai hal yang mutlak.

Pendidikan hukum progresif diperlukan oleh mahasiswa hukum untuk melihat perkembangan zaman ke depannya. Kita sebentar lagi akan menyambut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Tentunya, pelaksanaan UU baru itu belum tentu dapat berjalan dengan maksimal, sehingga diperlukan lulusan hukum yang kritis serta responsif terhadap penyesuaian tersebut. Hukum tidak boleh terjebak pada legalitas formal belaka, tetapi ia harus berpihak pada kemanusiaan. Mahasiswa tidak boleh terjebak pada hal-hal yang bersifat kemahiran saja, tetapi ia juga harus dibekali dengan pengetahuan serta nilai-nilai kritis untuk menjawab persoalan-persoalan hukum ke depannya.

Pembekalan mahasiswa hukum apabila hanya terbatas pada prosedural belaka, maka akan melahirkan aparat penegak hukum yang “pintar” untuk mengakali sistem. Penguasaan peraturan perundang-undangan harus dibarengi dengan keteguhan moral dan nilai-nilai keadilan, sehingga putusan-putusan atau tindakan-tindakan penegak hukum dapat mengakomodir kepastian, keadilan serta kemanfaatan bagi masyarakat. Rangkaian tersebut semata-mata untuk mempersiapkan aparat penegak hukum yang sesuai dengan adagium “Lex nemini operator iniquum, neminini facit injuriam” (“hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapa pun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapa pun”). 


Penulis: Farhan Syahreza

Editor: Langit Gemintang

Ilustrator: Hisam

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0