Masihkan Kita Pecaya Hukum?

“Tidak ada perdamaian tanpa keadilan. Tidak ada keadilan tanpa kebenaran. Dan tidak ada kebenaran kecuali seseorang bangkit untuk mengatakan yang sebenarnya” – Louis Farrakhan

“Keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi dalam ruang sidang. Keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu” – Clarence Darrow

“Hukum Buyar Karena Mereka Yang Bayar” 

Dalam perdebatan hukum atau pendiskusian tentang hukum, bagi saya hanya ada satu pertanyaan yang paling menarik dan krusial: yaitu, apakah kita masih percaya pada hukum yang berlaku dan yang masih diterapkan sampai hari ini. Itu saja. Karena bagi saya menguji tingkat kepercayaan masyarakat pada praktik penerapan hukum  menjadi penting untuk melihat apakah masyarakat itu sendiri masih percaya atau tidak dengan institusi tersebut. Dan mungkin itu pertanyaan yang sangat sederhana dan simple. Akan tetapi itu bisa menjadi indikator bagi penyelenggaraan negara yang ‘katanya’ hukum adalah panglima di negeri ini. 

Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membuat penjelasan tentang hukum secara teoritik. Hal itu biarlah menjadi pekerjaan mereka yang belajar di sekolah hukum.  Akan tetapi ada beberapa hal yang bisa diceritakan tentang bagaimana praktik hukum itu sendiri dijalankan. Dan ini adalah realita langsung yang terjadi, yang sangat bisa kita saksikan, simak, bahkan menilainya, apakah proses hukum itu sendiri sesuai prosedur yang berlaku atau justru melanggar tatanan hukum yang sudah ada. Karena bagi saya, disamping aturan yang berlaku dan konsep-konsepnya secara tekstual, masih ada pertimbangan lainnya secara prinsipil yang seharusnya tidak bisa dilepaskan dari hukum itu ketika berlaku di tengah masyarakat awam. Misalnya bagaimana hukum itu sendiri melihat persoalan tidak hanya pada sisi kebenaran tapi juga keadilan yang ada. Atau bagaimana kebenaran itu yang seharusnya bersandar pada sisi kemanusiaan. Sehingga kasus-kasus seperti seorang nenek yang mengambil biji kakao yang tak seberapa di kebun milik orang lain, tidak seharusnya juga menjadi pesakitan yang terhukum hanya karena perbuatannya terbilang mencuri. Atau kemudian penerapan hukuman mati yang sangat tidak relevan sebagai praktik hukum. Karena sebagai instrumen hukum, kita pun tak bisa memastikan apakah putusan pengadilan terhadap sebuah kasus benar-benar seratus persen sebagai sebuah kebenaran. Andai saja terdapat kekeliruan dalam persidangan dan kemudian dinyatakan tidak terbukti bersalah, maka sebanyak apapun instrumen hukum dan para ‘jagoan hukum’ tersebut pun tidak bisa membangkitkan mereka yang sudah mati. Apalagi kita tahu, praktik mafia hukum di negeri bak cendawan di musim hujan. Subur menjamur dan akut. Makanya indikator kepercayaan publik perlu jadi pertimbangan, sehingga bagaimana hukum di negeri ini bisa dipandang, terpantau dan dirasakan sendiri oleh masyarakat dari azaz kebermanfaatannya secara manusiawi.

Di Jogja, ada sebuah kasus yang cukup rumit dan aneh. Akan tetapi ini kasus yang tidak main-mian. Karena berkaitan dengan pembunuhan. Dan dilakukan dengan cara yang acak. Masyarakat menyebutnya dengan klitih atau hari ini di sebut kejahatan jalanan. Biasanya, tindakan klitih ini dilakukan tanpa harus tertuju pada orang tertentu. Para pelaku tidak pernah menargetkan siapa korbannya. Semua terjadi secara acak. Dan salah satunya ialah yang terjadi di wilayah gedongkuning, kota jogja. Malam itu seorang anak terkapar dan dinyatakan meninggal setelah kena klitih. Dan ini bukan sembarang anak karena ternyata korban tersebut adalah putra dari seorang anggota dewan. Berita menyebar. Semua platform media mengutuk kejadian tersebut. Tapi kasus klitih seperti ini bukan pertama kali terjadi. Akan tetapi terjadi berulang kali di kota yang menyandang gelar sebagai kota pendidikan, budaya, pariwisata dan city of tolerance ini. Karenanya, pimpinan daerah, gubernur yang juga sebagai raja di DIY, menjadi sangat murka dengan masih terjadinya kasus klitih. Dan berangkat dari hal itulah, kelima anak di tangkap pada suatu malam dan digelandang ke kantor polisi. Penangkapan ini tidak menunjukan surat-surat seperti SOP nya. Juga intimidasi dan tekanan bahkan dilakukan sejak perjalanan dari anak tersebut di tangkap sampai ke beberapa tempat sebelum akhirnya sampai ke kantor polisi. Dan berdasarkan pengakuan yang dianggap pelaku, mereka disiksa habis-habisan, di cambuk dengan kelamin sapi yang dikeringkan, dipukulin banyak orang tanpa henti, dipaksa mengakui perbuatan tersebut bahkan diancam ditembak. Sampai akhirnya penyiksaan itu sudah tidak mampu ditahankan. Dan akhirnya kelima orang tersebut dipaksa mengakui perbuatan yang kemudian disangkal semuanya lagi di persidangan. Dan meskipun sudah disangkal, diakui bahwa pengakuan tersebut dikarenakan anak-anak tersebut sudah tidak tahan dengan siksaan aparat. Tapi hal itu tidak pernsh menjadikan pertimbangan apa-apa di hadapan pengadilan. Pengadilan memakai hasil BAP kepolisian yang janggal dimana semua hasil BAP tidak punya kesesuaian dengan hasil laporan visumnya. Seperti, penyebab kematian korban yang dinyatakan karena pecah tengkorak kepala belakang dikarenakan benturan benda keras. Akan tetapi dalam BAP polisi memberikan alat bukti berupa gir motor yang jelas-jelas itu tidak berkesesuaian dengan penyebab kematian. Kemudian hasil video rekaman cctv yang aneh. Karena pada dasarnya cctv tersebut adalah dokumentasi dinas perhubungan yang beresolusi tinggi. Akan tetapi dalam persidangan hasil cctv nya sangatlah rendah dan bahan seorang ahli digital forensic menyatakan bahwa cctv tersebut tidak bisa dipakai karena tidak terbaca lagi. Tapi pengadilan tetap menyatakan bahwa kelima anak tersebut adalah pelaku berdasarkan cctv yang ada serta dari argumen penguatan keterangan seorang polisi yang jelas-jelas bukan ahli dalam bidangnya. Sementara untuk mengakses cctv ke dinas perhubungan dilarang oleh kepolisian. Bukankah kalau ingin membuktikan kebenarannya, justru akses terhadap segala bukti yang pasti  sangat diperlukan. Lalu mengapa ada pelarangan terhadap hal tersebut? Dan juga bukti lain berdasarkan cctv pihak lain yang justru merekam keberadaan sesuai waktu yang ada yang menerangkan kelima anak tersebut bukanlah pelaku, malah tidak digubris oleh pengadilan. Sungguh ini sangat aneh dan ajaib. Dan masih banyak lagi kejanggalan yang terjadi pada banyak hal juga. Termasuk bagaimana kepolisian menggelar sidang etik terhadap laporan penyiksaan yang dilakukan terhadap yang dianggap pelaku tersebut. Tapi apa hasinya? Mungkin ‘masih kami dalami’, kira-kira begitu alasannya. 

Selain di Jogja, di Sulawesi Tenggara tepatnya di pulau Buton, sebuah kisah miris juga dialami masyarakat. Dalam laporan Multatuli Project (projectmultatuli.org), seorang ibu harus menerima kenyataan bahwa beliau menjadii korban bertubi-tubi. Ibarat pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula, lalu tercebur ke kubangan lagi. Dalam laporan yang berjudul “Dua Putri Saya Dicabuli, Saya Lapor ke Polres Baubau, Polisi Malah Tangkap Anak Sulung Saya”, dikisahkan bagaimana seorang perempuan penjual sayur di pasar harus menerima keyataan pahit bahwa dua putri kecilnya jadi korban pemerkosaan. Dan karena mendapati hal tersebut sang ibu melaporkan hal ituke kepolisian. Tapi apa yang terjadi? Kepolisian justru menetapkan anak lelakinya sebagai tersangka yang melakukan pemerkosaan terhadap adik-adiknya tersebut. Padahal sang anak lelakinya sedari pagi sampai sore terus berada di pasar. Bahkan siang pun tidak beranjak kemana-mana. Dan itu dikuatkan oleh kesaksian dari para pedagang lainnya. Lalu bagaimana bisa sang kakak yang kemudian dinyatakan malah yang telah memperkosa adik-adiknya. Tapi polisi tetap kekeuh dengan pernyataannya dan bukti-buktinya sekalipun hal tersebut tidak ada relevansinya sama sekali. Dan derita sang ibu semakin bertambah dimana saat menyelidiki sendiri dan berdasarkan keterangan dari putri-putrinya yang jadi korban, malah sang ibu diancam kriminalisasi karena berhasil merekam video para pelaku yang ditunjukkan oleh putrinya tersebut. Sungguh ini kejadian yang miris. Kedua putri kecil jadi korban, pelaporan ke kepolisian dipersulit. Pelaporan ke unit perlindungan perempuan dan anak juga dipersulit. Kemudian tidak ada pendampingan kelembagaan saat mengadukan kasusnya. Dan justru anak lelakinya yang ditetapkan sebagai pelaku tanpa bukti konkrit. Terkahir sang ibu diancam dikriminalisasikan karena menyelidiki pelaku sebenarnya dari keterangan sang anak yang jadi korban perkosaan. Malang dan teramat malang. Anak perempuan jadi korban perkosaan. Anak lelaki dituduh sebagai pelaku dan dipenjara. Dibohongi lembaga perlindungan perempuan dan anak. Polisi lepas tanggungjawab dan selalu menghindari pertanyaan. Jatuh, tertimpa tangga, masuk ke kubangan konspirasi.

Dari kedua cerita tersebut, jelas diperlihatkan bagaimana proses aparat dalam menindaklanjuti laporan masyarakat. Dari cerita tersebut kita bisa menyaksikan bagaimana sebenarnya hukum sangat bisa di negosiasi dan diatur-atur sendiri sesuai dengan kesepakatan.  Dan ini mungkin tidak saja terjadi di Jogja atau Sulawesi. Mungkin masih banyak kasus serupa, dimana ada rekayasa kasus lainnya sehingga proses hukum menjadi sulit untuk dipercaya. Desas desus di masyarakat terkait penyelidikan dan penyidikan kepolisian yang semena-mena terkadang tidaklah salah. Lalu kemudian adanya peradilan sesat dalam hukum yang berlaku, juga bukan info yang receh. Karena memang praktiknya memang benar-benar ada. Dan karena itulah, kita patut mempertanyakan kembali kepercayaan kita pada institusi hukum yang ada sekarang ini. Karenanya kembali ke pertanyaan awal, disitu letak krusialnya sebagai masyarakat awam. Bahwa perlakuan hukum masih jauh berpijak pada prinsip kesetaraan. Jangankan keadilan, bahkan kebenarannya pun masih diselimuti awan-awan gelap. Kedudukan masyarakat dalam hukum itu sendiri dirasakan tidak pernah sama. Mungkin secara teoritik hukum diagungkan sebagai panglima yang tidak pernah membedakan satu dan yang lainnya. Akan tetapi dalam penerapannya, hal tersebut bisa di negosiasi bahkan dikadalin sedemikian rupa. Tetapi anehnya kita masih saja disuguhkan pada akrobat-akrobat ala politisi dan penggiat hukum yang memitoskan bahwa kita semua sama di hadapan hukum. Sungguh suatu ironi pembodohan yang miris dan kegilaan yang akut untuk percaya serats persen hukum itu netral. Karena dalam realitanya adalah sangat-sangat berbanding terbalik. Seorang petani atau masyarakat kecil lainnya bila bermasalah secara hukum, terlihat bagaimana hukum begitu tajam. Berbeda bilamana hal tersebut terjadi pada yang punya kuasa seperti pejabat, pengusaha, anak pejabat, anak orang kaya dan yang punya relasi dengan hukum itu sendiri, seperti sesama aparat penegak hukum, maka pisau keadilannya seketika menjadi tumpul. Itulah realitas hukum kita. Dan itu yang harus kita jawab dari pertanyaan tersebut tadi. Selain masih teramat banyak lagi cerita-cerita dari kamar-kamar kegelapan penegakan hukum yang ada. Hukum tercipta bukan lagi untuk mengatur bagaimana agar keberlangsungan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Tapi sudah menjadi alat penundukan paksa oleh segelintir pihak berkepentingan untuk melemahkan, melabeli bahkan mengancam masyarakat untuk keberlangsungan kuasa dan kekuasaan yang menguntungkan. Hukum bukan saja mengatasi kejahatan tapi menjadi jalan lain bagi sebuah kejahatan. Terkadang.

Lalu,masihkah kita percaya hukum? Tergantung.


Penulis: Melki AS

Ilustrasi: Hisam

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0