Sebelum revolusi, Indonesia dijajah selama lebih dari tiga abad, oleh kerjasama iblis antara perusahaan multinasional, negara asing, penguasa lokal, dan kaki tangan militer serta polisinya. Kisahnya, setelah ratusan tahun perjuangan, kita merdeka. Lantas, jika dongeng indah itu benar dan adil, mengapa kuli tambang masih melarat seperti budak, membanting tulang hingga tulang iga terlihat, untuk perusahaan timah Australia yang mengejar keuntungan tanpa mengenal kemanusiaan?
Mengapa nelayan kecil berlayar dua puluh jam sehari di atas ombak garang dan angin keras untuk dirampok tengkulak, diperas berjuta-juta oleh polisi lokal jika tidak melapor sebelum melayar, seakan-akan lautan luas adalah sapi perah milik negara, meratapi teman dan keluarganya yang mati tenggelam di lautan, untuk pendapatan tidak stabil dan dibawah UMR?
Mengapa gunung asri kita diperkosa oleh tambang perusahaan Amerika Serikat yang dilindungi polisi dan militer Indonesia, buruh suruhan pemerintah yang hobi memutilasi kawan-kawan kita di Papua setiap minggunya? Mengapa anak muda desa tidak diajari bahasa dan kebudayaan daerah di sekolah, namun hanya bahasa Indonesia dan Inggris beserta kebudayaan negara penjajah, berpakaian Transformers dan bermain dengan Hello Kitty, tidak tahu adat dan tradisi lokal, hingga mencuri perhiasan orang tua untuk membeli sabu dan mati muda meminum arak?
Dapatkah kalian mendengar tangisan pasir putih dan lautan biru zamrud penuh koral dan kepiting, yang sekarang menjadi lumpur kelabu dan lautan coklat tanpa kehidupan? Atau gugatan mereka: mengapa anak kecil yang tersenyum bermain dibawah damainya senja dan pelukan ombakku, sekarang mati melara menjadi budak tambang, tenggelam dalam biru tanpa akhir karena terpaksa bekerja untuk sepiring nasi? Atau mungkin kalian mendengar desis pengusaha: harga untuk memerkosa lautan adalah 300 juta untuk sogokan pemerintah daerah, ditambah dengan 5 kilogram nasi dan 400.000 rupiah per bulan untuk menyogok dan mendiamkan rakyat yang melawan.
Hari ini, menjelang tanggal 17 Agustus, kita dijajah oleh kerjasama iblis antara perusahaan multinasional, negara asing, penguasa lokal, dan kaki tangan militer serta polisinya. Nama lain kerjasama iblis ini adalah: kolonialisme. Lupakan candu propaganda negara: Indonesia belum merdeka!
Penjajahan yang kita alami sekarang berbeda bentuk dari penjajahan kita dulu. Kolonialisme berubah seiring perubahan zaman dan kondisi objektif daerah jajahan. Tetapi inti penjajahan tetap sama. Dulu, kita dijajah oleh perusahaan multinasional bernama VOC, perusahaan multinasional pertama dalam sejarah umat manusia. Sekarang, kita dan bumi kita dijajah oleh perusahaan multinasional berupa Shell dari Belanda, Freeport dari Amerika Serikat, dan lusinan alien raksasa lainnya. Kita diperas, digusur, dan dilecehkan pula oleh perusahaan lokal raksasa yang menguntungkan pemerintah, seperti Pertamina.
Dulu, dijajah oleh orang yang menghirup udara dan memakan ubi yang sama dengan kita, yang menjilat kepentingan modal demi kekayaan keluarga dia sendiri, bernama raja, raden, dan sultan. Sekarang, dijajah oleh bangsa sendiri, pejabat Indonesia yang poster kampanyenya lebih besar dari matahari dan bulan, yang janjinya lebih manis dan beracun dari narkoba manapun, dan dalam nafsu keserakahannya bercinta dengan kepentingan perusahaan raksasa.
Dulu, VOC mengadu domba segala kerajaan untuk kepentingannya sendiri, tentara asal Sumatra dikirim ke Jawa untuk mendiamkan rakyat Jawa, tentara asal Jawa dikirim ke Sumatra untuk mendiamkan rakyat Sumatra, seribu macamnya politik divide et impera. Sekarang, transmigran buruh dan militer dari Jawa memenuhi Papua, sementara pribumi Papua dilenyapkan dari bumi manusia. Pribumi! Pribumi adalah kaum yang mengenal kehidupan yang ramah dengan alam milik bersama, bekerja dengan pelan dan manusiawi.
Maka dari itu, pribumi digantikan oleh kepentingan modal, negara, dan penjajahan, yang menginginkan bumi dan laut menjadi miliknya, dimana kuli bekerja dan diperas darah dagingnya untuk menjadi rupiah. Modal menginginkan kuli ideal yang membanting tulang dan menuruti segala komando atasan, bukan pribumi. Pribumi: orang lokal yang digantikan buruh asing dan dilenyapkan untuk kepentingan modal. Tidak mengherankan jika ada konflik antara orang pribumi Papua dengan Indonesia, Indonesia yang dilihat mereka secara benar adalah penjajah kolonial di daerah mereka. Akar masalah dari konflik suku, ras, dan agama adalah kolonialisme dan kepentingan modal. Lain tidak.
Dan betapa kejamnya Papua disiksa karena sadar bahwa dijajah dan lincah mengejar kemerdekaan yang nyata! Penjajah yang merampok Indonesia dan Papua adalah sama: pemerintahan dan perusahaan kolonial itu sendiri. Rakyat Indonesia dan Papua bukanlah musuh tetapi sesama kaum tertindas yang memiliki kepentingan bersama dan ditindas atas satu nama: Indonesia.
Jika begini kenyataan kesatuan yang namanya Indonesia, bukankah sama saja dengan kesatuan Hindia Belanda ataupun VOC, dan yang dibanggakan sebagai kemerdekaan hanyalah pergantian nama bungkus racun dan bentuk perampokan? Dulu kita dipaksa menghormati bendera Jepang dalam upacara bendera, sekarang di sekolah dipaksa menyembah bendera Indonesia dalam upacara bendera, bendera berbeda dengan isi hati yang sama: penindasan buruh, petani, perempuan, dan bumi!
Kehancuran yang hari ini kita alami lebih menyeluruh dan pahit, dijajah oleh bangsa sendiri, oleh orang-orang yang mengatasnamakan Tuhan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan kemerdekaan Indonesia. Belanda dan Jepang kejam dengan meriam dan pedang, tetapi di zaman tersebut tidak ada ibu yang melahirkan daging berbentuk anggur karena memakan sayur pahit sisa pestisida dan ikan pari yang diracuni logam berat bekas ludah tambang, berupa merkuri, arsenik, dan timbal.
Tidak ada penghancuran sawah dan rawa hingga menjadi danau berwarna hijau, biru, dan coklat di tengah-tengah padang pasir kering tanpa satupun ular dan kadal. Tidak ada ufuk yang dipenuhi kabut abu dari asap pabrik dan bahan bakar kendaraan. Tidak ada pulau yang lenyap dari kenyataan karena pasirnya dikeruk untuk dijual perusahaan ke Singapura. Tidak ada rumah kota dan jalanan desa yang tenggelam diterjang naiknya air laut. Tidak ada ribuan bukit sampah dari negara penjajah dan pabrik lokal yang tebalnya menutup tanah dan tingginya menghapus ufuk. Mirisnya dijajah oleh orang yang berbicara tentang agama dan revolusi mental walaupun hatinya hanya uang!
Soekarno adalah satu-satunya pemimpin Indonesia yang mencoba melawan kolonialisme secara nyata dan utuh, dengan seribu kesalahan dan kelemahannya. Walaupun gagal dalam mengatur siklus pangan beras, mengendalikan militer, maupun memperlakukan perempuan, orang Tionghoa, dan seluruh bumi Papua dengan hormat dan adil, banyak yang bisa dipelajari dari keberhasilan dan kegagalan revolusi Indonesia. Ini adalah tugas mutlak siapapun orang Indonesia yang ingin merdeka: memahami siapa dirinya dan bagaimana arus sejarah dunia telah membentuknya. Bukan menelan ludah intelektual Barat ataupun mencontek perjuangan di negara lain, apalagi dengan tidak kritis bekerja di NGO!
Sejak pertama tibanya kolonialisme di bumi Indonesia ratusan tahun yang lalu, di antara ratusan perjuangan lokal dan berbasis agama, revolusi Indonesia mencoba memerdekakan bukan hanya Indonesia, tetapi seluruh bumi manusia. Berkat krisis yang didatangkan perang dunia kedua, wilayah jajahan di seluruh Amerika Latin, Afrika, dan Asia bangkit dari tidur terbiusnya, membangun gerakan massa berbasis buruh dan kaum terjajah. Babak sejarah dilanjuti oleh Perang Dingin, dimana agresi dan perlawanan kumpulan negara penjajah menaklukan perjuangan melawan kolonialisme dan modal. Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Gerakan Wanita Indonesia digugurkan dalam perang tersebut oleh Soeharto, Amerika Serikat, beserta seluruh pendukungnya, dari pemerintahan Australia hingga personel Nazi dari Jerman Barat.
Jutaan orang yang sepanjang hidupnya melawan kolonialisme dibunuh seperti hama oleh bangsa sendiri yang ingin menjajah Indonesia dengan dukungan negara penjajah lainnya! Kejadian G30S adalah titik balik Indonesia modern. Tidak tepat menyebutnya G30S PKI: PKI dan Gerwani difitnah oleh pemerintah jajahan yang menulis ulang sejarah dengan lumpur kebohongan menjijikan dan sampai sekarang hanya “menyesalkan” tahun berdarah tersebut, tanpa kata maaf, memorialisasi sejarah, reparasi memadai pada korban, ataupun proses pengadilan yang jujur.
Indonesia, yang dilahirkan oleh revolusi Indonesia pada tahun 1945 dalam proses perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme dan penjajahan modal, telah mati pada tahun 1965, digantikan oleh pemerintahan jajahan baru, dan sampai sekarang masih terjajah. Sebuah kolonialisme jenis baru, imperialisme jenis baru, penyakit baru yang mendarat di Indonesia pada tahun 1965 dan sampai sekarang belum ditumpaskan.
Apa itu Indonesia? Tertulis dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, bahwa ke-Indonesia-an bukan semata-mata kulit sawo matang, rambut hitam, dan pelipis yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak dikandung oleh “wujud pernyataan hati dan pikiran kami”. Wujud pernyataan hati dan pikiran yang memiliki cita-cita bumi manusia yang merdeka, dimana tidak ada manusia yang menindas ataupun ditindas, diperbudak ataupun memperbudak, berawal dari wilayah jajahan Hindia Belanda itu sendiri. Indonesia datang dari kata indisch, yang artinya: bersifat Hindia. Makna dari Indonesia adalah perlawanan melawan Hindia dan dunia kolonial yang berasal dari wilayah jajahan dan bersama dengan segala yang tertindas.
Terlihat sejelas batu kerikil di pinggir danau bahwa penyerangan militer Indonesia di Timor Leste, penjajahan Indonesia di Papua, penculikan misterius rakyat yang melawan, perbudakan buruh sawit dan tambang, pemerkosaan massal pekerja seks, dan peracunan bumi, adalah pengkhianatan terhadap aspirasi awal Indonesia dan Pancasila, penjajahan yang hina atas nama kemerdekaan yang mulia. Jika nasionalisme dan perampokan Indonesia sejak 1965 dilihat secara utuh, nampak bahwa Indonesia – negara beserta segala pejabat, tentara, dan perusahaan didalamnya – telah berubah menjadi serigala berbulu domba.
Seperti layaknya perubahan musim kemarau menjadi musim hujan, adalah hukum mutlak bahwa penjajahan kolonial melahirkan perlawanan terhadap dirinya sendiri. Perjuangan kemerdekaan di Aceh, Timor Leste, dan Papua adalah ekspresi dari prinsip ini, dalam berbagai bentuk. Segala perjuangan kemerdekaan yang berhasil didasari oleh gerakan dan organisasi massa yang didasari keanggotaan dan partisipasi massa, mengontrol lingkup produksi dan reproduksi, dengan kekuatan ribuan tangan, kaki, mata, dan kepala. Bukan NGO atau LSM. Justru, NGO adalah struktur sosial baru di Indonesia yang baru dikembangkan pada masa Soeharto. Dalam kata lain, setelah Soekarno dijatuhkan dan Indonesia berubah menjadi negara penjajah, barulah NGO dikembangkan.
NGO-NGO seperti Dharma Wanita dan PKK dibentuk oleh negara penjajah Indonesia dan berfungsi untuk mengekang benih ekspresi objektif perjuangan melawan penjajahan. Caranya sekarang, antara lain, dengan mengalihkan permasalahan dari perjuangan politik massa dengan tidak adanya partisipasi massa yang menyeluruh melalui rapat terbuka dan kepemimpinan demokratis, propaganda ideologi yang tidak sesuai kondisi objektif dan kebudayaan kita seperti hak asasi manusia dan feminisme dunia Barat, dan menyiksa kaum tertindas yang ingin berjuang melalui kegelapan labirin birokrasi tanpa akhir.
Tidak mengejutkan bahwa sampai hari ini, NGO seringkali didanai oleh pemerintahan negara penjajah seperti Swedia dan organisasi perusahaan multinasional seperti Ford Foundation, yang memiliki sejarah bekerja sama dengan badan intelijen negara penjajah Amerika Serikat. Bekerja untuk kepentingan kolonialisme, didanai oleh donor penjajah, atas nama keadilan dan kesejahteraan: NGO adalah bagian dari penjajahan jenis baru hari ini. Hanya organisasi massa yang bisa membangunkan Indonesia dari mimpi buruk penjajahan ini.
Tidak pernah penjajah memberi kemerdekaan yang riil pada jajahannya dalam sejarah bumi manusia. Tidak pernah ada penjajahan yang roboh dengan sendirinya, tanpa usaha keringat dan darah kaum yang terjajah. Sudah lebih dari cukup – lebih dari enam puluh tahun – Indonesia mengeluh dan meratapi nasib, berpura-pura bodoh dan gagal bergerak secara serius. Sampai sekarang belum ada gerakan massa progresif dengan mimpi kemerdekaan yang jelas dan utuh di Indonesia.
Dan mesin penjajahan terus menggilas setiap centimeter bumi manusia, meruntuhkan gunung, melubangi tanah, dan mengeraskan hati manusia. Penjajahan mengubah manusia, makhluk ulung dan mulia yang bisa bercinta, bernyanyi, dan bertani, menjadi mayat hidup yang individualis, tertekan, dan bergerak tanpa rasa dalam lingkaran setan pekerjaan, konsumsi, dan reproduksi. Penjajahan adalah peternakan manusia: kitalah hewan ternak pengusaha, pejabat, dan negara ini. Bumi manusia yang indah, adil, dan merdeka bukan hanya mimpi, tetapi kenyataan yang berteriak untuk diraih. Suatu hari, bumi manusia tanpa penjajahan akan menjadi surga nyata di atas tanah dan laut kita. Perihal kapan datangnya tergantung pada cara kita berjuang dalam menanggapi zaman dimana kita hidup sekarang.
Penulis: Juan Lee