Oleh Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
Aduhai betapa lihainya pembuat lukisan dinding itu. Serasa nyata saat ku mulai melihatnya. Sederhana namun begitu hidup. Lekuk-lekuk garisnya yang menekan, serta sapuan warna yang begitu magis berhasil ditangkapnya dan dipindahkan ke dalam kanvas tersebut. Bagiku ini mungkin lukisan terindah yang pernah kulihat. Aku tak tahu siapa pelukisnya. Dan aku juga tak hendak bertanya kepada pemilik kedai itu siapa yang telah membuat tiga lukisan yang begitu ciamik tersebut. Aku hanya ingin menikmatinya saja dengan segelas teh hangat yang selalu dan selalu ku pesan. Dan pada dua bola mata ini, aku juga menemukan kalimat – Jangan pernah menunjukkan kebaikanmu agar orang bisa bertahan tapi tunjukkanlah keburukanmu dan lihat siapa saja yang masih bertahan – begitu yang aku baca dari sebuah buku kecil yang ada di sebuah kedai kopi yang memajang beberapa lukisan yang indah.
*
Seperti pada petang sebelumnya, pada petang kali ini pengunjung di kedai tersebut tak terlalu ramai. Bukan karena petangnya, melainkan karena pemerintah sedang membatasi setiap aktivitas masyarakat untuk tidak membuat kerumunan di tengah pandemi covid-19 yang sedang melanda. Kedai-kedai memang masih diijinkan untuk beroperasi akan tetapi hanya bisa sampai pukul tujuh malam saja. Ah, aturan yang sangat ngawur, emangnya virus corona sangat gencar bergerilya pada malam hari sampai-sampai aktivitas malam harus dibatasi, lalu apa bedanya antara malam dan siang, apa yang menjadikan kalau malam harus tak ada lagi aktivitas apapun setelah jam tujuh – aku hanya bisa mangkel dan marah di dalam hati. Karena bagiku jelas pemerintah hari ini sudah kehilangan akal sehatnya. Bukannya vaksin yang harus dipercepat distribusinya ke masyarakat, malah masyarakat yang dibatasi geraknya. Dan ini berimbas pada ekonomi dan pendapatan mereka. Kehidupan makin berat. Dan pemerintah tidak mau tahu dengan semua itu. Pokoknya semua aktivitas harus di hentikan selepas isya. Kalau tidak akan di tutup paksa atau denda. Termasuk kedai kecil ini, yang biasa aku duduk bersantai sambil minum teh, baca-baca buku yang ada di perpustakaannya atau sekedar melihat lukisan-lukisan yang ada. Semuanya harus tunduk pada aturan penguasa yang bebal.
Aku memang suka datang ke kedai tersebut, selain karena memang berada di tepi sawah, di kedai tersebut juga banyak lukisan dan buku-buku yang bisa di nikmati. Banyak kisah yang telah kubaca disana. Banyak karya yang sudah kulihat. Dan, mungkin saja dari sekian lukisan dan buku tersebut tidak dihasilkan oleh para pesohor atau orang yang sudah dikenal luas namanya sebagai sastrawan atau sebagai seniman. Bisa jadi itu hanya lukisan atau tulisan dari beberapa orang yang belum bernama. Tapi aku berkeyakinan, tidak semua orang yang punya nama besar menghasilkan karya yang baik. Pun sebaliknya, tidak semua orang yang belum punya nama besar selalu menghasilkan karya buruk. Nama besar itu bagiku hanyalah sebuah kebetulan saja. Bahkan hal itu bisa di dongkrak dengan hanya membuatnya viral di media sosial. Akan tetapi sebuah karya adalah kekuatan diri yang sesungguhnya. Itulah identitas dan kualitas nyata dari seorang seniman, sekalipun tak banyak yang mengetahuinya.
Dan seperti di petang kali ini, selain menikmati lukisan yang entah siapa pembuatnya, aku juga meminjam beberapa buku yang menurutku menarik untuk kubaca. Dan lagi-lagi aku tak mengambil buku itu karena penulisnya. Aku hanya membuka lembar-lembar sedikit, dan sekiranya menarik, maka buku tersebut akan tersiksa oleh mataku untuk sekian waktu yang tak terduga.
Aku memang sangat menikmati lukisan dan sastra; novel, cerpen, puisi dan sebagainya. Bagiku sastra memberi kehalusan dan cara pandang yang berbeda dari sisi hidup yang dipenuhi peristiwa politik seperti hari ini. Membayangkannya saja aku muak. Seperti pandemi sekarang, disaat rakyat berjuang melawan penyakit dan mentaati protoko kesehatan, malah menterinya melakuan korupsi besar-besaran. Hal-hal seperti ini membuat darah kita mendidih. Seharusnya dibunuh saja pelaku korupsi itu. Tapi hal itu takkan mungkin terjadi. Karena koruptor tersebut adalah pelaku politik – tepatnya adalah orang yang ada di balik sebuah partai politik – dan karena itu tak mungkin mereka dibunuh sekalipun sudah melakukan perbuatan yang sangat menjijikan. Paling-paling mereka hanya di penjara sebentar. Bahkan bisa lebih lama rakyat kecil yang mencuri telur daripada binatang politik yang merampok kekayaan negara dan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tapi dengan melihat lukisan-lukisan serta membaca buku-buku sastra, aku merasa tensi kemarahan tersebut bisa sedikit berkurang. Kisah-kisah yang ada, atau kata-kata yang dihasilkan seorang seniman dan sastrawan – siapapun ia – membuka cara pandang yang berbeda terhadap sebuah persoalan yang ada. Karenanya semua bisa tertegun bahkan semua bisa tertawa dengan betapa kocak dan konyolnya mereka meledek pelaku-pelaku kejahatan tersebut.
*
Beberapa mahasiswa kulihat sedang asyik mengerjakan tugas-tugas kuliah. Ada yang sendirian di depan laptopnya. Ada pula yang duduk berempat sambil melontar berbagai pertanyaan ke sesama mereka. Di pojok yang berbeda juga terlihat beberapa orang tertawa terbahak-bahak sambil menikmati kopi sore nya. Entah apa yang dibicarakan mereka tapi sepertinya hal itu begitu mengocok perut hingga mereka bisa tertawa se histeris itu. ‘Atau barangkali mereka sedang mentertawakan pemerintahan yang sering bikin kebijakan yang tak pernah merakyat ya’, begitu pikirku dalam hati. Tapi ya sudahlah, terserah merekalah mau mentertawakan apa dan siapa. Bisa jadi mereka sedang mentertawakan kebodohan diri sendiri. aku tak hendak menginterupsi kecerian mereka di petang itu. Aku cukup bahagia dengan diri sendiri dan apa yang bisa kulakukan; membaca dan melihat-lihat.
Tapi lukisan di dinding itu begitu mempesona. Gambar ayam yang sedang berada di dekat perapian di belakang rumah itu begitu nyata seolah aku sedang berada di kampung halaman yang jauh disana. Serta hamparan padi yang mulai menguning di belakangnya, amboi sungguh-sunguh menggugah sekali. Ini mengingatkan aku saat dahulu masih sering bantu paman memanen padi di sawahnya yang tak begitu luas. Karena disanalah kehangatan keluarga sangat merindu membatu sampai hari ini. Walaupun sekarang paman sudah tiada. Tapi sawah tersebut masih ada. Sawah tersebut diwaris-turunkan pengelolaannya pada anak-anaknya. Dan itulah tabungan hidup yang benar-benar sudah menghidupi banyak keluarga. Meskipun hanya pas-pas-an dan tak pernah lebih. Bahkan sampai hari ini. Meskipun suasana sudah jauh berubah. Sawah itu juga bukan saja tentang penghidupan tapi juga tentang kenangan yang indah. Dan lukisan itu benar-benar melontarkan ingatanku kembali pada apa yang telah lama kutinggalkan.
Disebelah lukisan ayam tersebut, ada lukisan tentang sandal jepit. Tidak banyak yang di tampilkan, hanya sepasang sandal jepit di atas tanah yang sedikit menguning. Pun begitu dengan sandalnya, penuh tanah yang mengeras di sisi-sisinya serta di telapak luarnya. Dan telapak dalam yang sudah sedikit berlobang di bagian tumit karena sudah terlalu lama di pakai. Istimewanya, ini lagi-lagi adalah penggambaran utuh yang pernah kurasakan. Sandal jepit yang meskipun sudah putus akan tetapi masih bisa dipakai dengan menautkan paku pada sisi penjepit bawahnya. Dan itu akan selalu begitu sampai sandal itu benar-benar tak bisa dipakai lagi dan rusak baru diganti dengan yang baru. Ini benar-benar seperti yang pernah kurasakan sewaktu masih tinggal di desa. Di lukisan tersebut, aku sangat yakin bahwa senimannya pasti bukan saja pernah melihat kejadian itu, akan tetapi pasti turut pernah merasakan hal serupa. Dan itulah mengapa lukisannya begitu nyata dan menjadi begitu hidup.
Kekuatan lukisan itu terpancar dengan begitu mempesona. Seniman sejati tak perlu menambahkan caption apapun lagi pada lukisannya. Dengan melihatnya saja orang jadi tahu – atau setidaknya – bisa menafsirkan kehidupan yang diangkat pelukis ke dalam kanvasnya tersebut. Dan aku tak hanya menafsirkan tapi juga turut merasakan langsung apa yang disajikan seniman pelukis tersebut sebagai apa yang di sebut ‘anak kampung atau orang desa’.
Setelah lama aku tertegun dengan lukisan tersebut, aku menyeruput kembali teh hangat yang masih ada di meja itu sambil terus melihat-lihat lukisan lainnya. Sesekali aku membaca buku-buku puisi yang tadi kupinjam di perpustakaan kedai tersebut. Buku dan lukisan adalah kombinasi terbaik petang itu. Di tambah dengan lukisan yang juga asyik dinikmati saat keduanya asyik beradu pandangan. Lalu lukisan terakhir yang kulihat adalah tentang hurup. Ya tentang hurup. Bagaimana bisa seorang seniman tersebut membuat hurup-hurup menjadi sebuah lukisan. Aku sebenarnya tak begitu paham sebelum mencoba mengurai maksud yang diharapkan pelukisnya. Banyak hal coba ku tebak-tebak dari maksud lukisan tersebut. Lagi dan lagi. Tapi tak kutemukan juga maksudnya apa. Barangkali begitulah caranya seniman mengekspresikan dirinya – begitu pikirku. Rahasianya bisa ditafsir semua orang akan tetapi hanya dia sendiri yang mengetahui pasti apa yang hendak dia sampaikan.
Tapi lama kelamaan aku pun memilik tafsir sendiri pada apa yang dibuat pelukis tersebut. Dengan hurup yang dibuat bermacam-macam, ada yang mengulang dan ada pula yang menebal serta ada pula yang seolah samar. Aku melihat ada sisi hidup yang sedang berjalan di antara deretan hurup-hurup itu. Ini seperti jalan hidup yang memang kadang begitu jelas, tapi kadang juga begitu samar. Kadang begitu pasti tapi tak jarang menjadi begitu absurd. Hurup yang menebal, membesar dan sangat jelas terlihat seolah bagai hidup yang sedang bersinar. Lalu ada juga hurup yang kesannya samar bahkan tinggal setitik hitam saja berbalur dengan warna background pada kanvas tersebut. Dan mungkin hal itu bagai hidup yang mulai kehilangan peranannya. Apalagi di tengah situasi sekarang yang justru tingkat kemiskinan semakin tinggi. Dan itulah mungkin maksudnya dari hurup yang makin redup dan samar. Pelukis mungkin hendak mengatakan bahwa banyak yang mampu bertahan bahkan lebih terang hidupnya, akan tetapi justru lebih banyak lagi yang makin kehilangan dan makin sengsara hidupnya dalam situasi yang serba sulit dan sempit ini. Kira-kira begitu – meskipun aku sendiri bingung. Hehehe…
*
Waktu sudah menunjukkan hampir magrib. Artinya hanya tersisa sebentar bagiku untuk berada di kedai ini. Kembali aku menyeruput teh yang hanya tersisa separuh. Beberapa orang yang kukenal di kedai tersebut mulai melambaikan tangan tanda berpamitan pulang. aku membalasnya dengan sedikit berkata ‘ok, sebenatar lagi aku pulang, aku selesaikan dulu buku ini ya’. Tapi buku yang tadi kupinjam harus dikembalikan segera bila kedai akan tutup. Pelayan sudah mengngatkan kalau jam tujuh nanti semuanya pesanan sudah tidak dilayanani lagi. Dan semua yang ada harus dibereskan. Termasuk semua buku yang dipinjam oleh para pengunjung, harus segera diletakkan kembali ke tempatnya semula. Akan tetapi setidaknya aku harus menyelesaikan dulu buku yang sudah kupinjam tersebut. Sebab bukan tidak mungkin besok aku tak kembali lagi kesini atau jangan-jangan buku tersebut sudah dipinjam orang lainnya lagi.
Aku terus saja membaca lembar demi lembar. Beberapa yang bagiku kurang menarik aku lompatin saja. Dan dengan waktu yang tinggal satu setengah jam lagi, aku masih memegang satu buku puisi yang belum dibaca. Buku tersebut sedikit tipis. Hanya terdapat kurang dari seratus puisi saja. Dan karena itu, paling lembarnya sekitar seratus halaman saja. Tapi buku tersebut jelas dibuat oleh orang yang luar biasa pada masanya. Aku mengenal penulis itu saat kulihat nama di cover depannya. Tapi bukan sebagai sastrawan tapi sebagai aktivis gerakan. Dan aku pernah pula ikut dalam pelatihan yang pernah ia sebagai narasumbernya. Ku tahu ia adalah tahanan politik yang berani menentang penguasa yang diktator saat itu. Ia bernyali besar karena punya keyakinan yang besar. Aku selalu menaruh hormat padanya. dan yang tak kusangka, dibalik gahar aktivitasnya, ada sisi kelembutan yang bisa ditunjukkannya. Seperti pada puisi yang dibuatnya;
Cinta, katamu, adalah tangga nada / Dan kau pun mulai menyusun not buta
Kudengar piano itu berdenting, garing, / Ada suara saksofon, monoton.
Mungkin kau tak mengerti / Cinta bukan partitur biasa
Tak bisa dimainkan dari ‘la / Lalu berhenti sebelum ‘si
Syahdu. Jelas ini syahdu sekali. Puisi yang berjudul ‘Cinta Dalam Setengah Blues’ itu tentu sangat menggugah. Aku tak bisa membayangkan ketika seorang aktivis yang pernah menjadi narapidana karena meruntuhkan kekuasaan orde baru tersebut bisa seromantis itu. Atau kemudian pada judul yang lain ia menjadi begitu religius.
/4/
Rindu adalah cahaya yang tertegun
cinta semalam dari sebuah lubang hitam
‘Kun’, katamu
‘Fayakun’, kataku.
Nezar Patria – begitu nama seorang aktivis dan penulis puisi tersebut – punya sisi yang berbeda yang tak mungkin semua orang tahu. Pamornya dalam dunia gerakan dan HAM begitu kuat sehingga tak jarang orang mengenal ia dari sisi yang berbeda. Dan petang itu aku baru tahu kalau ia juga menulis buku puisi. Karena sebelumnya yang ia tulis tidak pernah yang melow-melow. Ia menulis tentang politik kebudayaan, ia juga menulis tentang Gramsci, seorang sosialis eropa yang menjadi panutan banyak kaum kiri dunia. Ia banyak mengisi pelatihan dan seminar nasionaldan internasional. Ia belajar ke negeri eropa sana setelah kenyang disiksa oleh rezim orde baru. Ia juga seorang jurnalis handal yang banyak melakukan investigasi pada kejahatan HAM dan sebagainya. Itulah Nezar yang aku tahu. Tapi kali ini aku tahu ia juga penulis sastra yang juga cukup lihai dan ciamik.
*
‘Mas, ini gelasnya saya ambil ya. Soalnya kedai mau tutup. Nanti takutnya ada Pol PP yang sering merazia ini itu’, kata seorang pelayan, ‘Sekarang mereka tidak merazia keple saja mas, tapi juga kedai dan kafe-kafe sejak pendemi ini’ katanya lagi.
‘Oh mongo-mongo mas’, sambil kuhirup kembali sedikit teh yang tersisa, ‘memangnya pernah kena razia mereka mas? Apa kena denda juga?’ tanyaku.
‘Kalau kena razia sudah pernah sekali mas. Tapi kalau denda mungkin belum. Mungkin kemarin baru diperingatkan agar mengikuti instruksi pemerintah. Makanya sudah seminggu ini kami tutup lebih cepat’.
‘oalahhhh begitu toh’.
‘Iya mas. Susah sekarang ini. Ekonomi makin sulit mas. Karena imbas instruksi pemerintah, kedai ini akhirnya buka beberapa jam saja. Dan cilakanya lagi, gaji kami juga dikurangi mas. Menurutku wajar sih soalnya kedai cuma buka dari jam tiga sampai jam tujuh’.
‘Masih mending kalian bisa kerja dan masih mendapat pemasukan. Banyak yang lainnya malah dikeluarkan dari tempat kerja dengan alasan tidak mampu membayar gaji karyawan lagi kok. Pengangguran semakin meraja lela. Kemiskinan juga semakin bertambah’.
‘Nah itu mas. Naga-naganya bentar lagi hidup kita ini akan jadi miskin semua. Yang tetap bertahan dan hidup enak ya para pejabat dan pegawai pemerintahan saja. Orang seperti kita ini sudah baik kalau masih pas-pas-an. Lha sekarang malah lebih sering kekurangan’.
‘Kita itu tidak miskin sebenarnya tapi di miskinkan. Pemerintah itu senang kalau melihat rakyatya miskin. Karena kemiskinan itu bisa dijual ke dunia internasional untuk menumpuk kekayaan bagi yang menjualnya. Makanya semua aparat dikerahkan agar rakyat tetap miskin. Caranya dengan tidak memperbolehkan mereka mencari keuntungan lebih. Dan kebetulan ada situasi yang pas untuk dijadikan alasan. Aparat yang digaji oleh pajak rakyat di tugaskan untuk memukuli nasib hidup rakyat. Nah bangsat kan’.
‘Ngeri mas ya, aparat kok seperti itu. Termasuk yang suka razia-razia kedai-kedai atau kafe ini ya. Makan taik semua berarti mereka itu. Oh ya, mohon maaf mas ya, saya harus beberes di belakang lagi’ ujar pelayan sambil berpamitan.
‘Baik mas. Saya juga segera cabut. Tetap sehat ya’ balasku.
*
Lalu kemudian aku meninggalkan kedai tersebut. Hanya tinggal seorang diri saja kulihat. Yang lain sudah pada pulang semua. Hanya pelayan-pelayan saja yang masih beberes, cuci perkakas kedai, buang-buang sampah dan lain-lain. Aku juga berpamitan lagi dengan beberapa pelayan. Maklum, efek keseringan nongkrong disana jadi kenal banyak pekerjanya. Tidak hanya banyak baca, lihat lukisan tapi juga kenal banyak orang. Tapi aku harus segera cabut. Langit sudah terlihat begitu mendung. Bentar lagi sepertinya akan turun hujan lebat. Harus segera sampai dirumah. Breeemmmm…motorku melesat secepat mungkin.