Oleh Saif Roja
Napoli berada di belahan selatan Italia. Di negeri itu, selatan adalah zonasinya kaum paria. Sedangkan utara memancarkan aura gemerlap, industrial dan modern. Dua wilayah ini memang tak pernah akur. Sejak negeri tersebut bersatu pada tahun 1871, selatan dan utara gemar berselisih. Ketimpangan ekonomi diantara keduanya menganga lebar, ketidaksukaan satu sama lain banyak berpijak dari sini. Melalui pabrik seperti FIAT di Turin dan kelak Milan yang menjadi sentrum adi busana dunia, Italia utara adalah lanskap kemakmuran. Sementara cerita yang berbeda ada di kutub kebalikannya. Selatan sangat terbelakang, agraris, kusam, terpapar kemiskinan dan pengangguran yang parah. Pernah suatu masa tingkat pengangguran di Napoli melebihi lima puluh persen.
Kesenjangan ekonomi yang berlarut-larut pada akhirnya melahirkan banyak stereotip dan prasangka. Penduduk selatan jamaknya dipandang rendah oleh populasi di utara. Mereka mencapnya sebagai Si Kere yang pemalas, tidak berpendidikan dan rendahan. Di utara ada istilah ‘terroni‘ yang berarti petani, atau lebih pasnya ‘kaum udik’. Istilah ini disematkan sebagai identitas orang-orang selatan. Mereka dianggap parasit korup keturunan Arab dan Afrika, sekumpulan manusia bodoh nan kriminal yang lingkungannya diasuh mafia. Orang selatan akan membalas penyematan beraroma rasialis itu dengan menuding warga utara sebagai gerombolan tamak, angkuh dan berhati beku. Utara hanya terobsesi dengan uang, dan diantaranya, itu dipungut dengan mengambil laba dari selatan.
Orang-orang Napoli (Napoletani) hidup dalam kultur yang demikian. Mereka manusia yang dikalahkan, diperolok-olok, dilukai martabatnya dan tak bisa bersikap lain, kecuali cuma merawat kemarahan. Permusuhan lantas menjalar ke sepak bola, olahraga yang paling digemari di Italia. Rasisme yang pekat selama bertahun-tahun ditimpakan kepada warga Napoli juga melekat di sepakbola. Ketika klub Napoli melakukan perjalanan tandang ke utara, mereka disambut dengan pelecehan yang menyedihkan. ‘Cuci tangan!’, ‘Napoli, penderita kolera’ atau ‘Selamat datang di Italia’, demikian spanduk yang dipajang fans di utara. Fans dari utara terkadang juga melantunkan nyanyian monyet, sebab kulit orang Italia selatan memang lebih gelap.
Orang-orang Napoli ingin sekali menonjok muka arogan kalangan berpunya di utara, tapi mereka tidak tau kapan bisa melakukannya, setidaknya sampai sebelum tahun itu datang, 1984. Tahun dimana Diego Armando Maradona tiba di kota Napoli. Pria yang membawa semua ornamen yang dibutuhkan oleh Napoletani: keberanian, kerja keras, harapan, sikap urakan dan terutama ikhtiar untuk memulihkan martabat kebanyakan paria. Ketika kali pertama menginjakkan kaki di stadion San Paolo, penduduk Napoli berseru,
“Ho visto Maradona, ho visto Maradona .”
(‘Saya melihat Maradona, saya melihat Maradona’).
Mereka seolah baru selesai menyaksikan malaikat.
“Saya ingin menjadi idola anak-anak miskin Napoli, karena mereka seperti saya ketika saya tinggal di Buenos Aires,” ujar Maradona pada hari pertamanya sebagai pemain Napoli.
Maradona tentu tidak mengada-ngada dengan susunan kata-katanya. Maradona lahir dari keluarga melarat dan tumbuh di lingkungan kumuh. Maradona anak kampung Villa Fiorito. Sebuah kawasan kumuh yang kelewat padat di pinggiran ibu kota Argentina, Buenos Aires. Kampung ini ditata dalam kemiskinan ekstrim. Tidak ada air bersih, nihil jalan beraspal, yang ada penduduk harus bekerja sepanjang waktu hanya untuk bertahan hidup. Ayah Maradona, Don Diego, bekerja sebagai tukang batu. Ia pergi bekerja pada pukul 4 pagi setiap hari dan tiba di rumah bak mayat, tanpa secuil tenaga tersisa.
Maradona mengenangnya, “….ia tiba di rumah dalam keadaan mati”.
Maradona pada akhirnya memberikan apa yang ingin dimenangkan Napoletani. Sepasang gelar liga. Tahun 1987 dan 1990. Gelar tersebut dirayakan dengan iring-iringan peti mati Juventus di jalan-jalan utama. Sebuah pesan, orang-orang kaya itu pada akhirnya bisa juga dikalahkan. Atas kemenangan tersebut Maradona punya penjelasan,
“Untuk utara yang kuat, apa yang kami lakukan bersama Napoli adalah pukulan yang nyata. Itu (terasa) sakit (buat mereka). Tak seorang pun dari selatan pernah memenangkan gelar sebelum kami. Dan mereka tidak hanya mencintaiku di Napoli; semua orang miskin di selatan Italia mencintaiku. Aku adalah simbol mereka. Seseorang yang mengambil dari Si Kaya untuk diberikan kepada Selatan yang miskin. ”
Setelahnya, Maradona menjadi sosok kelewat suci di Napoli. Mereka benar-benar melihat ‘malaikat’ di tubuh berkostum nomor 10. Di Napoli yang katolik, orang mudah dimaafkan bila menghina Paus, namun tidak untuk Maradona. ‘Doa Bapa Kami’ telah digubah di banyak rumah di Napoli, menjadi kidung kudus teruntuk Maradona. Sebuah cerita terkenal diterbitkan selama tahun 1986-87 tentang asisten penjual ikan. Namanya Giuseppe. Ia memecat bawahannya karena kurangnya rasa hormat, setelah menolak mengenakan kostum Maradona bernomor 10 saat bekerja. Beberapa hari kemudian dia mendapatkan pekerjaannya kembali, setelah dia bersetuju untuk memakai kaos itu dan menyanyikan lagu menghormati Diego.
Maradona melakukan banyak. Untuk Napoli, dan tentu juga bagi negerinya. Argentina.
Pada pertengahan tahun 2010 jalan-jalan protokol di Buenos Aires lumpuh. Ribuan manusia berhamburan mengerubungi bus yang baru datang. Di dalam bus duduk Messi menerawang, sementara Javier Mascherano memandang kerumunan dengan bola mata berkaca-kaca. Berulang-ulang, kerumunan itu berteriak, ‘Maradona Jangan Pergi!’. Histeria massa kali ini terasa janggal untuk kebanyakan awam, sebab bus yang disambut bukan datang mengangkut rombongan juara. Melainkan mereka yang duduk di bus baru selesai dipencundangi Jerman. Kalah dengan skor mencolok, 4-0! Sementara Maradona adalah pelatih tim yang babak belur itu.
Apa yang janggal buat kebanyakan liyan, adalah normal bagi Maradona. Massa penyambut adalah mereka yang masih merawat memori penting dalam kehidupan publik Argentina. Perihal Maradona yang telah memenangkan sesuatu yang besar buat rakyat Argentina.
Di Meksiko, dia membawa Argentina seorang diri menjadi yang terhebat. Itu adalah kemenangan yang ajaib dan istimewa. Kemenangan di Piala Dunia 1986 merupakan yang kedua bagi Argentina. Tetapi ini sukses yang berbeda dengan tahun 1978. Ketika Daniel Passarella mengangkat tropi juara dunia delapan tahun lebih dulu, rakyat tentu bergembira. Namun hidung siapa saja yang hidup di Argentina pada masa tersebut tentu bisa mencium bau anyir. Piala tersebut bukan sepenuhnya milik rakyat. Ia simbol kemenangan propaganda junta militer Videla, kediktatoran keji dan barbar. Kediktatoran dukungan Amerika yang rajin membunuhi rakyat miskin itu menjadikan gelar juara dunia sebagai tameng politik. Spon untuk membersihkan bercak darah yang menempel di tangan kekuasaan.
Dalam suatu kesempatan, Oscar Ortiz, salah satu anggota tim pemenang Piala Dunia 1978 mengaku,
“Aku rela menukarkan piala itu demi menghentikan apa yang terjadi selama kediktatoran militer.”
Piala Dunia tahun 1986 memiliki rasa berbeda. Teksturnya lebih cocok di lidah mayoritas jelata. Ia merupakan dongeng kemenangan rakyat. Sebuah Piala Dunia pasca junta militer tak lagi berkuasa. Maradona memenangkannya. Dan dengan itu, bersama seluruh bumbu mitologi dan romansa, Maradona menjadi memori abadi dalam historia rakyat Argentina. Baik yang sudah lahir pada masa tersebut, ataupun belum. Tahun yang abadi. Terpatri di hati hingga bergenerasi.
Pernah suatu hari Pablo Osvaldo bertengkar dengan Erik Lamela. Kedua pemain Argentina kala itu masih sama-sama berseragam Roma. Osvaldo mencoba menegur keras Lamela. Pemuda itu melawannya. Dia berseloroh, “Kau tak bisa ngomong seenaknya. Kau bukan Maradona!”. Lamela masih balita ketika Maradona sudah pensiun dari lapangan hijau. Baginya, hanya Maradona yang punya privelege untuk menentukan siapa yang benar dalam bersepakbola atau bebas bersuara untuk didengar.
Syahdan, rakyat Argentina telah menggenapi trinitas sucinya. Trinitas ganda. Orang Argentina hidup dalam kepercayaan kepada Tuhan Bapa, Anak dan Roh Kudus. Bersamaan dengannya, banyak pula yang mengimani ‘holy trinity’ lain: Evita, Che Guevara dan Maradona.
Maradona pergi hari ini. Dia tidak kekal, betapapun pengikut fanatiknya menyebut dirinya ‘Tuhan’. Yang tinggal kini adalah segenap ingatan. Gaya bermain bolanya yang tak ada plagiasinya. Kegilaannya yang meledak-ledak. Kehidupan pribadinya yang bukan tanpa noda. Aksi-aksi ajaibnya, penyihir tanpa alat bantu. Sikap vokal anti imperialisme Amerika. Peluk eratnya kepada Fidel Castro. Tariannya bersama Hugo Chavez. Atau senyumannya kala bersua Evo Morales. Sahabat-sahabatnya itu. Dua diantaranya telah pergi lebih dulu.
Si Tangan Tuhan telah dipanggil Tuhan. Lionel Messi, -pelaku terbaik permainan ini setelah era Maradona-, bilang,
“Dia meninggalkan kita, tapi dia tidak kemana-mana, karena Diego abadi!”
Teruslah mencintai sepakbola dan membela mereka yang miskin! Dua hal yang juga disenangi Maradona.
Artikel ini juga dimuat di buruh.co