Oleh: Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
“duar…duar…duar…”
“duar…duar..duar…”
Asap putih membumbung dan menyebar ke kerumunan massa. Seketika itu banyak yang menjerit. Berlarian. Berdesakan. Mereka melesak masuk gang-gang sempit itu. Untung saja gerbang gang itu tidak ditutup. Beberapa orang tampak ada yang di bopong temannya. Perempuan-perempuan menangis sambil menutup matanya. Efek dari gas itu benar-benar membuat mata perih.
“odol..odo..odol..olesin di bawah mata” ujar salah seorang pendemo berjalan membagikan cairan odol ke orang yang ada di gang itu, “ini gas air mata, bisa buta kalau gak benar nanti”.
“sialan, aparat main tembak gas air mata aja. Kadaluarsa pula. Aparat ini memang benar-benar mau membunuh kita” seorang pendemo mengumpat.
“tenang, tenang, tenang dulu bung, ini odol olesin ke mata elo dulu biar gak perih”
“kita datang baik-baik, kita dalam satu komando, kita berbaris rapi, eh malah di hantam gas air mata. Memang bangsat pemerintahan ini”.
*
Aku masih ingat saat gas air mata itu di tembakkan. Tak terhitung barisan massa berlarian merangsek kemana-mana. Kebetulan di lokasi aksi massa itu aku bertemu kawan lama, Zulkarnain. Aku biasa memanggilnya dengan singkat Zul. Disana kami juga kebetulan barusan saja masuk ke salah satu gang sempit di depan para pendemo yang sedang menuntut negara membatalkan putusannya tentang undang-undang cipta kerja. Kami masuk kesana karena mau beli es teh yang ada di warung di dalam gang sempit itu. Kerongkongan sedari tadi belum tersiram apa-apa. Kering. Sembari menunggu es teh dibuat, aku sempat makan beberapa pisang goreng hangat yang ada di meja. Duduk di sebelah ada dua orang bapak-bapak yang juga sedang mau mulai menyantap lotek segar yang baru saja diantarkan. Tiba-tiba kemudian terdengar tembakan yang sangat keras. Massa seketika berlarian. Termasuk bapak-bapak yang tadi mau menyantap makanannya, pun turut berlari ke dalam gang. Barisan massa yang kocak kacir berlarian menerobos gang sempit itu karena di tembak aparat dengan gas air mata.
“bang.. bang.. bang.. ayo lari” Zul mencoba untuk menarik bajuku mengajak lari, “itu polisi sudah nembakin massa dengan gas air mata, perih semua mata kita nanti, ayo lari, cari odol dulu”.
“gak usah lari coy, sini aja” aku coba menenangkannya sambil menghabiskan sisa goreng pisang yang terlajur sudah ku gigit.
“gas air matanya di tembakkan di arah kita ini. Itu di tembakkan polisi di depan gang ini. Ayo lari”
“tenang aja, gak usah panik, duduk aja sini, awas kena tabrak massa yang masuk”
Zul kemudian menjauh sedikit. Ia masuk ke dalam gang itu bersamaan dengan yang lain. Tak lama ia kembali membawa cairan odol di jari telunjuknya.
“ini bang oleskan dulu di bawah mata biar gak perih”, Zul menambahkan kalau terpapar gas air mata ini hanya cairan odol lah satu-satunya langkah antisipasi atau untuk menghilangkan perih yang ada dimata. “karena ada cairan menthol dingin yang seolah meresap di mata” katanya lagi.
Aku mengambil cairan odol tersebut dan langsung mengoleskan di bawah mata. Sambil terus menutup mulut dan hidung dengan masker. Perih karena tadi ikut terpapar gas air mata yang di tembakkan aparat, kini perlahan mereda. Sementara warung makan tempat dimana aku duduk dan pesan minum tampak sudah berhamburan. Beberapa tempe dan bahan masakan yang akan dibuat tumpah tersenggol massa yang berlarian ke dalam gang. Batu es pun tumpah. Ibu yang berwarung hanya pasrah. Ia sadar dengan kejadian yang ada. Ia maklum. Ia bahkan memberi minum bebeapa perempuan mahasiswi yang terlihat lemas dan hampir pingsan karena di serang aparat dengan tembakan gas air mata.
Letusan-letusan dari tembakan gas air mata tak seketika berhenti. Bahkan sampai beberapa waktu masih saja terdengar. Asap putih masih terlihat membumbung dan menyebar. Bahkan semakin pekat. Ada yang di tembakan ke atas, ke samping dan sebagainya. Bahkan ke tenda medis yang dibuat oleh sekolmpok mahasiswa kesehatan untuk menangani pendemo yang lemas, pingsan atau lainnya. Tembakan gas air mata ini terbilang membabi buta. Entah apa motifnya hingga aparat melakukan itu. Padahal aku lihat aksi demo berjalan damai-damai saja. Apa mungkin ada yang memprovokasi? Ataukah ada tindakan yang menyulut aparat itu menjadi beringas? Lalu kalau sama-sama beringas, lantas siapa yang lebih berbahaya?
*
Di depan gang di sepanjang jalan utama pusat kota itu, di penuhi oleh barisan massa yang tak terhitung jumlahnya. Mereka datang dari berbagai kampus dengan berbagai macam almamater kebanggannya. Mereka membawa poster-poster aksi yang mengejek kinerja para politisi anggota dewan yang tak becus dan malah mengecewakan rakyat. Sembari menyanyikan yel-yel perjuangan dan menyindir anggota dewan yang telah sengaja melacurkan bangsa demi kepentingan segelintir kelompok golongan dan pribadi. Barisan massa aksi tersebut tak henti bergantian ber-orasi di atas mobil komando dengan pengeras suara. Tampak sesekali mereka menenangkan barisan massa yang sebagian terus melontarkan kritik dengan kata-kata yang keras.
“DPR guoblok, DPR bodoh, DPR asu” teriak para demonstran yang diulangi massa lainnya. “DPR guoblok, DPR bodoh, DPR asu” “Kont*l”
“DPR guoblok, DPR bodoh, DPR asu”
“DPR guoblok, DPR bodoh, DPR asu”
“kont*l”
Teriakan-teriakan itu terus meluncur bersamaan dari banyaknya massa yang hadir di depan gedung dewan perwakilan rakyat. Ada yang sambil naik di pagar tulisan gedung dewan. Ada juga yang sambil tarik-menarik besi pagarnya. Situasi mulai tidak kondusif. Lemparan-lemparan botol, kayu dan batu mulai menghiasi kerumunan massa yang tadinya aman dan damai. Karena situasi mulai liar, aku dan Zul mulai menyingkir agak menjauh dari lokasi tersebut. Sudah tak ada gorengan, sudah tak ada es teh. Selain karena untuk menghindari gas air mata yang terus-terusan ditembakan aparat. Kami menyingkir agak ke selatan sambil melihat kondisi kawan-kawan lainnya. Di tempat itu, tidak semua orang terlibat dalam aksi. Banyak juga yang hanya sekedar menonton aksi tersebut. Dikarenakan memang hari itu momen dimana sebagian daerah se-Indonesia menggelar aksi besar-besaran menolak kebijakan pemerintah yang telah mensahkan undang-undang cipta kerja atau omnibuslaw. Undang-undang itulah yang kemudian membakar dibanyak daerah untuk melakukan aksi dan rusuh. Dan tercatat hampir aksi di semua daerah menjadi kerusuhan pada hari tersebut.
Barisan massa aksi tetap tidak bubar. Meskipun terus di hantam aparat dengan gas air mata. Bahkan semakin membludak dan banyak. Dan dari jauh sudah terlihat ada kepulan asap hitam membumbung. Biasanya ini berasal dari ban-ban yang di bakar. Orang-orang mengabarkan bahwa massa sudah masuk ke halaman gedung dewan. Motor-motor, mobil polisi dan sebagainya dikabarkan banyak yang rusak. Pos jaga pun ikut di rusak. Dan tak ketinggalan dinding-dinding gedung dewan tersebut di tulisin dengan kata-kata yang kasar dan jorok. Ini mungkin akumulasi dari semuanya. Putusan tentang omnibuslaw, keengganan dialog pemerintah serta mungkin tindakan aparat yang terlalu refresif yang membuat massa juga brutal. Tak ketinggalan sebuah restoran yang di dekat gedung dewan pun ikut terbakar. Entahlah siapa yang membakarnya. Ada yang bilang dari tembakan gas air mata polisi. Ada juga yang bilang dari mahasiswa.
Ambulan tak henti membawa korban yang berjatuhan karena di hantam aparat.
Pemadam kebakaran pun tiba tuk menjinakkan api yang lelalap sebuah restoran.
*
Di dalam saku celana, hape tak henti berbunyi tanda pesan baru masuk. Grup-grup whatapps yang kuikuti tak henti mengabarkan situasi yang terjadi hari itu. Dari seluruh daerah di Indonesia. Dari Jakarta, Padang, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi, termasuk yang dari Jogja sendiri. Di Jogja, aksi yang dilakukan di depan gedung DPRD itu juga rusuh. Karena itu, aku dan Zul menyingkir dari lokasi agar tidak terpapar gas air mata. Atau lebih parah lagi di pukuli aparat keamanan dan kelompok vigilante-vigilante yang ada.
Begitu pun dengan medsos lainnya. Di pesbuk misalkan, banyak masyarakat kemudian menyalahkan aksi hari itu kepada mahasiswa. Mereka menilai kerusuhan itu di sebabkan oleh masyarakat luar yang sengaja ingin bikin kekacauan di Jogja. Kata-kata makian dialamatkan pada para mahasiswa yang terlibat aksi. Kata-kata rasis hari itu seolah tidak berlaku bagi daerah yang berslogan kota pelajar dan tempatnya kaum intelektual.
“coba liat di pesbuk ini, semua memaki para perusuh yang katanya jadi biang kerusuhan. Dan itu katanya adalah mahasiswa yang dari luar Jogja” aku sambil menunjukkan hape kepoada Zul.
“ya biasalah bang, memang begitu yang slalu terjadi. Apa-apa dikatakan karena orang luar. Segala anarki lah, segala keributan lah, segala mabuk lah dan lain-lain. Udah dari dulu begitu”
“rasis banget e. Sebenarnya antara yang di boncengi dan memboncengi itu gak jelas”
“ya bagaimana mau jelas bang, mereka bilang mahasiswa di boncengi. Lalu mereka yang memukul mahasiswa apa gak di boncengi? Vigilante yang mengatasnamakan masyarakat itu apa gak di boncengi kepentingan elit penguasa?” ucap Zul, “kalau mau yang sudah pasti di boncengi ya yang di sarkem itu, jelas siapa yang membonceng dan di bonceng”
“haha..itu mah bukan di boncengi tapi memang menunnggu boncengan kalau yang di sarkem itu”
“mereka memaki mahasiswa yang berkata kasar tapi mereka di medsosnya juga berkata rasis, lalu apa artnya?”
“nah itu dia, bahkan ingin usir segala, emangnya kalau mahasiswa hengkang semua dari sini trus bagaimana”
Zul masih saja berapi-api membahas isi medsos para vigilante yang mengatasnamakan masyarakat yang asyik berkicau dan memaki pendemo luar daerah yang mereka anggap yang membuat kekacauan. Menurutnya justru tindakan refresif dan kekerasan fisik yang dilakukan aparat dan kaum vigilante itu yang benar-benar tidak bisa di benarkan. Ia membayangkan berapa banyak korban yang tlah jatuh dan di bawa ke rumah sakit karena pingsan, kepala bocor, badan lebam, tulang patah dan semacamnya. Hanya karena mengkritisi kebijakan pemerintah. Toh juga kalau berhasil masyarakat juga yang senang. Makanya yang perlu di usut tuntas bahkan di pidana dan di pecat adalah aparat yang melebihi kapasitasnya yang perlu di tindak, dan kaum vigilante yang memang sudah terbiasa melakukan kekerasan yang di bekingi oleh aparat. Mereka ini yang menurut Zul yang harus di hukum. Bukan para pendemo yang dikatakan merusak fasilitas umum karena fasilitas umum tersebut adalah hal kecil bagi bangsa ini.
Aku pun sependapat dengannya. Memang semua beralasan, tapi ada hal yang lebih substantif yang perlu di lihat. Fasilitas umum yang terbakar, rusak dan segala macam itu tidaklah sebanding dengan harga diri dan mental bangsa yang sengaja di rusak para elit politik dan penguasa sekarang ini. Fasilitas itu hanya barang. Sementara mental itu jiwa yang dalam. jadi kalau jiwanya sudah rusak maka bangsa ini pun turut rusak. Apalagi presiden berkali kali menggaungkan revolusi mental. Rupanya yang dimaksud revolusi mental adalah merubah mental yang sudah ada menjadi lebih buruk lagi.
“aku tak tahu yang paling benar bagaimana bung Zul. Tapi intinya kalau saja pemerintah mau mendengarkan aspirasi rakyat, maka hal seperti ini tak mungkin terjadi. Aku juga tak sepakat dengan adanya kerusuhan dan kekerasan. Siapapun itu. Termasuk aparat. Apalagi adanya bahasa-bahasa rasis yang seolah-olah dia-lah pemilik daerah ini. Itu jelas-jelas mental barbar, preman-preman tengik yang cari makan dari bisnis hitam dan kekerasan”
“ya itu bang, makanya sebagai kaum terpelajar jangan menghakimi asal-asalan, seolah-olah ini ulah mahasiswa luar. Harusnya mereka perjelas dulu data dan faktanya. Mereka bilang aksi ini ada yang menunggangi tapi yang disalahkan mahasiswa yang dari luar daerah. Itu kan kacau. Harusnya yang mereka kecam itu yang menunggangginya. Nah di cari dong siapa yang menungganggi kalau memang ada”
“cuma memang perlu adanya konter narasi yang tepat bahwa ini bukan soal kerusuhan atau bakar-bakaran saja. Tapi ini soal keputusan yang diambil elit penguasa yang jelas-jelas tidak pro dengan rakyat, buruh, petani dan sebagainya. Narasinya harus di kembalikan ke pangkal masalahnya menurutku bung Zul”
“sependapat bang. Aku pun berpikir begitu. Makanya aku bilang jangan asal langsung tuduh dan klaim saja seolah-olah ini murni kerusuhan dan kekerasan. Yang jelas itu malah tindakan refresif aparat yang berlebihan serta aksi kekerasan dari kaum vigilante itu. Itu yang seharusnya di hukum”
Aku pun mengangguk pelan sambi kembali melihat pesan yang masuk. Banyak video yang memperlihatkan pendemo melempar aparat dengan kembang api lalu di balas aparat dengan menembakkan gas air mata ke arah pendemo. Lalu ada pendemo yang berhasil di pegang dan kemudian di hajar habius-habisan seolah olah sedang menghajar penjahat, di pukulin aparat beramai-ramai, di tendang, di tonjok berkali-kali, di pukul dengan kayu, rotan dan sebagainya. Tak terhitung berapa jumlah pukulan membabi buta itu mendarat di tubuh para pendemo. Pesan-pesan baru terus masuk. Ada pendemo perempuan yang di pukulin sekaligus di lecehkan secar seksual dengan meremas payudaranya saat terjadi rorong mendorong. Ada pula pendemo yang rahangnya patah karena kena tembakan gas air mata. Ada yang diinjak-injak sampai pingsan. Semua menampilkan tindakan kekerasan. Lalu adakah mahasiswa dan para pendemo melakukan hal serupa terhadap aparat? Ach aku kok tidak melihat yang sebaliknya itu ya.
“semua berita yang ada, baik di medos dan lain-lain memang hanya memberitahukan bahwa demo berujung anarkis” ucapku pada Zul, “dan sudah begitu, para elit seenaknya membual bahwa undang-undang ini adalah untuk kebaikan rakyat. Kalau memang undang-undang ini untuk kebaikan rakyat, tidak mungkin rakyat marah. Lha ini, bisa kita saksikan bahkan hampir di seluruh daerah, seluruh rakyat marah atas putusan elit yang men-sah-kan undang-undang ini. Tidak mungkin kan kemarahan kolektif ini di picu hanya oleh berita bohong. Kajian banyak. Analisis banyak. Dan tidak sembarangan yang membuatnya. Masa dianggap karena kabar bohong”
“benar bang, memang elit kita hari ini penipu ulung. Sifat penipunya itu manunggaling dengan aliran darahnya. Dan sampai mati pun akan terus begitu kalau tidak segera di lengserkan. Coba lihat saja pesan-pesan yang masuk ini, jelas-jelas sudah ada penelitiannya dimana para cukong-cukong pebisnis menjadi sponsor utama di berlakukannya dengan cepat undang-undang ini. Mereka semua adalah orang di lingkaran kekuasaan, entah itu dimiliki dan dikerjakannya secara langsung, atau di kerjakan anak istrinya, atau suaminya, atau menantunya. Mereka memberlakukan undang-undang ini memang untuk kepentingan mereka saja. Kalau katanya untuk kepentingan rakyat agar bisa lebih baik lagi, monyet di dalam hutan pun tahu kalau anggota dewan dan elit penguasa itu sedang berbohong. Monyet bang. Monyet di dalam hutan pun tahu kalau elit dan penguasa ini sedang berbohong dan memainkan hajat hidup rakyat”.
Zul pun paham bahwa yang ikut melakukan kekerasan pada para pendemo itu adalah kaum vigilante. Dan kemudian mereka mengklaimkan diri sebagai masyarakat sekitar. Padahal sesungguhnya mereka adalah preman lokal yang setia pada junjungannya yang tak lain adalah anggota dewan dari partai yang di biasa mencekokinya dengan sebotol ciu. Menurut Zul, masyarakat hanya bingung dan kehilangan panduan saja sehingga mudah terombang ambing oleh isu yang tidak akurat.
“ngerti kan yang kumaksud kan, bang? Bukan pendemo yang ditungganggi. Kalau disusupi mungkin. Tapi yang benar-benar di tunggangi adalah kelompok vigilante itu sendiri. Sedari awal mereka memang dikerahkan untuk memukul mundur mahasiswa dan rakyat yang mendemo putusan junjungannya” ucap Zul.
*
Tak terasa hari semakin sore. Tapi bukan saja karena hari sudah sore. Tepatnya karena kami tahu bahwa semakin sore dan semakin malam, dan ketika pendemo belum bubar juga, maka tindakan refresif aparat akan semakin menjadi-jadi. Dan itulah yang terjadi di seluruh daerah di negeri ini. Karena itu kami pulang. Juga tak mungkin pula terus berada dilokasi yang jumlah aparat dan para pendemo sama banyaknya. Apalagi aparat lengkap dengan semua persenjataan diri. Dari yang tumpul sampai yang berapi. Sementara pendemo dengan kekuatan hati, pikiran dan kekuatan bicaranya. Tentu tidak sebanding melawan aparat yang dibiayai negara bermilyar-milyar rupiah untuk memukuli pendemo yang berangkat dari modal sendiri, dan itupun dari kiriman orang tuanya di kampung halaman.
Mempertimbangkan hal tersebut, kami paham bahwa meneruskan perbincangan juga tak akan selesai sampai besok. Karena itulah, pilihan yang tersisa adalah pulang. Kami berpisah di perempatan Nol Kilometer. Hape berbunyi lagi, ada pesan baru masuk. Katanya seratusan mahasiswa dan aktivis hilang. Para koordinator kampus mengabarkan bahwa kawan-kawannya ada yang belum pulang dan hingga hari ini tak ada kabarnya. Aku berusaha memberitahu Zul, tapi dia sudah terlanjur buru-buru naik ojek yang telah dipesannya. “KAMPUS MELARANG MAHASISWA IKUT DEMO MENOLAK PUTUSAN PEMERINTAH. DAN KAMPUS DIPERINTAHKAN AGAR MEMPERBANYAK AKTIVITAS BELAJAR ONLINE DARI RUMAH SEMBARI MEMASUKKAN MATERI SOSIALISASI TENTANG UU CIPTA KERJA” pesan dari seorang teman masuk lagi. Pesan ini adalah terusan dari pesan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Indonesia untuk semua universitas. “alamak, apa lagi ini”.
Aku hanya bisa membatin “pantas saja bangsa ini rusak, wong elitnya saja terbiasa membaca tulisan tarik menjadi dorong ketika masuk supermarket”. Hehehe…
Sekian.