Islam dan Politik dalam perspektif Taqiyuddin An-Nabhani dan Hasan Al Banna

Oleh Ansar Elhaddadi

Dunia Islam pada masa ini telah mencapai puncak keterpurukan atau kalau boleh dikatakan kehilangan daya dobrak dan kreasinya yang sebelumnya telah memberikan warna dalam kehidupan dan membangkitkan kekuatan dan harakah. Islam sendiri dalam perjalanannya juga memiliki sejarah yang besar. Peradaban Islam pernah menjadi sebuah imperium yang besar nan berperadaban tinggi. Ketika itu Islam mampu menghegemoni separuh dari bumi. Islam menguasai tanah dan air dari Barat hingga ke Timur. Imperiumnya menjadi tempat rujukan dari abad ke-8 hingga ke-14 , yang ketika itu begitu kokoh dan kuat disegala aspek politik, ekonomi, pendidikan, sains teknologi, militer, maupun sumber daya. Akan tetapi, ummat islam sejak awal abad hijriah, telah kehilangan identitasnya, tercabik-cabik jiwanya dan terlihat lemah. Bahkan, pemikiran dan intelektualitasnya mandul. Kelemahan ini terlihat nyata dari beratnya umat Islam membebaskan jiwanya yang telah terkungkung oleh dominasi sistem jahiliyah.

Tuntutan perubahan atas kondisi yang menimpa ummat islam sejak keruntuhan Khilafah Islamiyah di Turki terasa mendesak, demikian juga dengan bahaya kekuatan luar yang terus mengancam.

Hegemoni imprealis telah membelenggu semua upaya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk menghidupkan kembali kesadaran ummat islam. Mereka membangun sekat-sekat nasionalisme yang memecah belah negeri-negeri muslim begitupun dengan sistem demokrasi kapitalisme, sosialisme yang menyengsarakan umat manusia. Khilafah satu-satunya model pemerintahan yang bisa melindungi segenap darah dan jiwa kaum muslimin. Tatkala harakah islamiyah mengalami kepekaan aktivitas kolektif yang menjadi syarat inti dalam merealisasikan kembali model kekhalifahan islamiyah.

Pada momentum inilah kehadiran gerakan-gerakan islam seperti Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin sangat dibutuhkan oleh ummat Islam. Asas fundamental yang melatar belakangi gerakan islam ini sejatinya hanya ingin mengembalikan kembali institusi politik Khilafah Islamiyah, walaupun banyak perbedaan antara metode dan ijtihadnya.

Ketika para pengikut dari Taqiyuddin dan Hasan Al Banna dalam sejarahnya banyak mengalami pergumulan pemikiran yang berbeda dalam menentukan metodenya, tentu saja hal seperti ini sudah selayaknya dipinggirkan guna mengembangkan visi dan misi kebangkitan islam. Antar gerakan Islam tentu harus saling bekerja sama dalam merespon persoalan-persoalan umat yang kenyataannya saat ini mengalami keterpurukan dalam berbagai aspek baik dalam bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik maupun sains dan teknologi. Yang tampak kini hanyalah sisa-sisa kejayaan Islam dimasa lalu. Menyatukan fiqrah dan thariqah antara HT dan IM hanya akan berakhir dalam perdebatan yang panjang dan tiada ujung. Yang diperlukan adalah mengembangkan kesamaan visi dan misi dari berbagai pola-pola metode ijtihad dalam menguatkan barisan perjuangan gerakan islam. Kemunduran ummat Islam saat ini juga dikarenakan beberapa harakah islamiyah kurang mengedukasi ummat terhadap persoalan Islam dan politik yang sejatinya tak dapat dipisahkan karena agama dan politik adalah dua hal yang integral. Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Sebab Islam bukanlah agama yang mengatur ibadah secara individu saja. Namun, Islam juga mengajarkan bagaimana bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat. Yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, serta menjadi pencegah adanya kezaliman oleh penguasa.

Sebagaimana yang telah digambarkan oleh Imam Al-Ghazali terkait agama dan politik:

“Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh, dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap.”

Olehnya itu, penulis menguraikan beberapa khazanah pemikiran kedua tokoh pembaharu abad 20 terkait dengan definisi Islam dan politik  dalam rangka membangkitkan kembali institusi kekhalifahan Islamiyah.

Menurut Imam Syahid Hasan Al Banna agama dan politik tak dapat dipisahkan karena keduanya saling berintegrasi. Persoalan organisasi-organisasi Islam yang ada saat ini adalah tidak adanya unsur politik dalam metode perjuangannya. Substansi makna yang merendahkan fikrah islamiah yang dibatasi oleh ruang-ruang agama yang sempit menimbulkan ruang gerak islam menjadi terbatasi. Konsepsi antara Islam dan Politik Hasan Al-Banna Menyatakan bahwa: “politik adalah hal yang menyangkut tentang masalah-masalah internal maupun eksternal umat. Ia memiliki dua sisi: internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan sisi internal politik adalah “tata kelola pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebenaran dan dikritik jika mereka melakukan kekeliruan. Sedangkan yang dimaksud dengan sisi eksternal politik adalah “kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkan mencapai tujuan yang akan menempatkannya di tengah-tengah bangsa lain,

Beliau dengan gamblang mengaitkan antara aqidah dan aktivitas politik. Ia menyatakan, “Sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politikus, mempunyai pandangan jauh kedepan dan memberikan perhatian penuh terhadap masalah bangsanya. Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada masalah-masalah tersebut kepada bangsanya.

Selanjutnya, Hasan Al-Banna mengatakan, “Sesungguhnya kami adalah politikus dalam arti bahwa kami memberikan perhatian kepada persolan-masalah bangsa kami, dan kami bekerja dalam rangka mewujudkan kebebasan seutuhnya.”

Definisi ini dipandang sebagai definisi politik transformatif (berorientasi perubahan) dan lebih luas dibandingkan dengan definisi politik prespektif modern yang hanya difokuskan pada aktivitas struktur-struktur organisasi politik maupun pelaku politik.

Karenanya, menurut ikhwan, politik adalah pengelolaan masalah internal dan eksternal umat, memberikan perhatian kepadanya, dan bekerja demi seluruhnya. Ia berkaitan dengan aqidah dan akhlak serta bertujuan untuk melakukan perubahan.

Adapun tujuan akhir dari proses ijtihad konsepsi politik Hasan Al Banna ialah menyatukan sebanyak mungkin faksi atau gerakan islam yang memiliki tujuan akhir yang sama yakni terwujudnya kembali institusi politik khilafah islamiyah.

Sedangkan menurut Syekh Taqiyuddin dengan Hizbut Tahrirnya menyatakan bahwa Islam mengajarkan konsepsi spiritual dan politik sekaligus, dimana spiritualitas dan politik tersebut menjadi bagian yang integral dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan aqidah ruhiyyah sementara setiap akidah mempunyai sistem, maka Islam juga mengajarkan sistem yang menyangkut urusan spiritual dengan jelas. Islam juga mengajarkan aqidah siyasiyyah , Islam juga mempunyai sistem yang menyangkut urusan siyasiah. Agar suatu sistem dianggap benar-benar Islami, keyakinan Islam (akidah) harus dijadikan landasan negara, sehingga konstitusi dan aturannya harus berasal dari sumber-sumber hukum Islam yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Negara Islam didirikan diatas empat prinsip. Pertama kedaulatan ada ditangan syariah, bukan ditangan rakyat seperti demokrasi. Kedua, hak untuk memilih, meminta pertanggungjawaban, dan menurunkan penguasa ada ditangan kaum Muslim. Ketiga, kepemimpinan tunggal atas seluruh kaum muslim adalah kewajiban. Keempat, pemimpin terpilih memutuskan hukum syara’ mana yang harus diikuti jika muncul perselisihan. Aktivitas politik Taqiyuddin An Nabhani telah menggariskan metode yang khas. Berfikir politis adalah jenis berfikir yang paling tinggi dengan mengkaji fakta negara-negara yang ada didunia, kemudian mengklasifikasikannya dari segi pengaruh terhadap konstelasi politik internasional. Pemahaman politik dalam maupun luar negeri inilah merupakan salah satu perkara paling penting untuk membentuk institusi Daulah Islam.

Gerakan politik yang efektif akan muncul ketika masyarakat sepenuhnya sadar bahwa sistem kapitalisme yang ada sekarang terbukti bobrok dan masyarakat cenderung kepada sistem islam yakni Khilafah Islamiyah.

Dengan demikian, Khilafah adalah negara Islam yang didirikan atas dukungan masyarakat maupun faksi-faksi gerakan islam yang sudah terbimbing oleh pola-pola yang diwacanakan oleh pengembangan kolaborasi antara Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin.


Referensi :

Pankhurst, Reza. 2019. The Inevetible Caliphate. Penerbit Quwwah.

Yusanto, Ismail. 2016. Perjuangan Dengan Dakwah Islam, Yogyakarta : Irtikaz

Al Banna, Hasan. 2015. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Surakarta : Intermedia.

Abdurrahman, Hafidz.  2018. Islam Politik Spiritual, Bogor : Al Azhar Press

Ilustrator: Hisam

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0