“Intelektualisme tak akan tumbuh dalam suasana konformisme” (TH Sumartana)
“Kamu dilahirkan dengan sayap. Mengapa kamu lebih suka merangkak dalam hidup?” (Jallaludin Rumi)
***
Saya terharu menyaksikan warga Papua yang melunasi uang beasiswa Veronika Koman. Jumlahnya Rp 777.876.918. Itu angka kecil dibandingkan dengan kekayaan Presiden dan seputarnya. Ini angka kecil dibanding dengan uang proyek yang sekarang ini mewabah di kampus-kampus. Itu angka tak seberapa dibanding dengan uang yang digasak oleh Jiwasraya. Itu pun bukan uang pemerintah tapi uang rakyat yang selama ini diberikan pada semua anak muda pintar yang ingin sekolah ke luar negeri. Veronika Koman memberi bukti betapa beasiswa itu tidak ada artinya jika pengetahuan hanya digunakan untuk melayani nafsu imperialistik. Tapi Veronika Koman juga membuktikan dedikasi seorang intelektual itu bukan melayani penindasan tapi melawan kekejian.
Bagaimana sebenarnya peran seorang intelektual dalam sebuah negeri seperti ini? Negeri yang masih mengabaikan penegakan HAM dan meyakini kalau pelanggaran HAM itu hanya peristiwa masa lampau. Negeri yang menyelenggarakan pembangunan dengan cara pengrusakan lingkungan dan penyitaan hak milik rakyat dimana-mana. Negeri yang menyeret demokrasi menjadi arena transaksi, bahkan negeri yang mempertahankan politik dinasti begitu rupa serta menempatkan partai politik sebagai pemegang kuasa melebihi segalanya. Apa yang tersisa dari seorang intelektual ketika ada usulan untuk tidak memusuhi kekuasaan tetapi menarik jarak yang kritis terhadapnya? Sebuah istilah yang kemudian dikemas dengan konsep jalan ketiga. Mampukah seorang intelektual mengambil peran suci seperti itu: berada dalam kekuasaan tanpa dikotori bahkan tetap menjaga kesucian gagasan?
Veronika Koman menolak deklarasi seperti itu. Baginya negeri ini tak ubahnya seperti sebuah orde senjata. Terutama pada kasus Papua di mana semua orang takut dan cemas untuk bicara. Paling yang maksimal dilakukan adalah melakukan riset lalu membentangkannya di hadapan kekuasaan untuk dipastikan skenario perubahannya. Metode umum yang biasanya dilakukan untuk dasar perubahan kebijakan. Veronika Koman tidak yakin dengan prosedur ilmiah, nir kekerasan dan berbasis data itu. Baginya pelanggaran HAM yang terus menerus dilakukan oleh aparat pada warga Papua tidak bisa diselesaikan dengan sekedar berunding dan bicara. Gema suara Veronika Koman lantang kemana-mana untuk meyakinkan semua orang bahwa yang dibutuhkan Papua adalah keadilan bukan pembangunan jalan.
Sikapnya keras dan berani: tiap ada tekanan pada warga Papua, Veronika menggemakannya dengan lantang. Suara Veronika yang luar biasa bukan ditanggapi tapi dikecam dengan luar biasa. Ibarat peluru maka pandangannya menjatuhkan sasaran dengan cepat dan seketika. Menkopolkam pernah meremehkan data tahanan Papua yang diberikan kepadanya. Kepolisian menetapkannya sebagai tersangka. Sikap elit dan aparat yang spontan dan agresif membuat Veronika tampil sebagai sahabat warga Papua. Veronika seperti pembela yang selama ini ditunggu dan langka: warga Indonesia yang tidak berdiam di Papua, mendapat beasiswa negara tapi punya kepedulian tinggi atas kejahatan yang menimpa rakyat Papua. Sosoknya kemudian menjadi-istilah orang Papua-malaikat. Bukannya pemerintah mencoba mengembangkan dialog dengan Veronika tapi malah menjatuhkan sanksi pelunasan atas beasiswa. Kebijakan yang agak memalukan dan lebih menampar lagi ketika uang beasiswa itu dikembalikan.
Terpilih mendapatkan beasiswa memang bukan hal istimewa. Ratusan orang kini didanai oleh pemerintah untuk sekolah ke luar negeri. Studi yang diambil beragam dan sebagian yang pulang memilih untuk ‘mengabdi’ pada kampung halamannya: menjadi dosen kebanyakan dan lainya bekerja di tempat mereka berasal. Veronika Koman jadi istimewa karena pengabdiannya untuk mereka yang selama ini dianiaya yakni warga Papua. Baginya kemerdekaan Papua merupakan cita-cita yang harus dihormati dan sepantasnya diperjuangkan. Upayanya untuk membongkar kejahatan HAM bukan lagi menyangkut para pelaku tapi ideologi yang terbentuk saat ini ternyata tidak jauh berbeda dengan Orde Baru, tatanan kapitalisme yang fasistik. Dirinya tidak bergumul dengan teori yang abstrak dan menuliskannya pada jurnal bergengsi tapi mengurusi secara langsung warga Papua yang jadi korban kesewenang-wenangan. Baginya pengetahuan itu bukan sebuah perjamuan teori tapi praktek perlawanan nyata yang muncul karena kesadaran akan kontradiksi yang dilihat bahkan dialaminya sendiri. Veronika Koman merumuskan sosok intelektual LPDP yang berbeda dengan anak-anak muda pada umumnya.
Ia memang terpilih oleh LPDP melalui seleksi. Lolos dari semua ujian tidak membuatnya berdiam diri selama belajar. Tinggal di Australia tidak membuatnya lupa akan persoalan negerinya sendiri. Dari jauh disaksikan olehnya tindakan aparat pada orang Papua. Ia menyaksikan di media betapa senjata lebih banyak digunakan untuk bereskan soal Papua. Protes dari gereja hingga rakyat pada umumnya tidak dijawab dengan dialog yang adil dan terbuka. Maka pengetahuan hukum yang memandunya tidak lagi dimanfaatkan hanya untuk menganalisa dan mengamati saja. Ia memilih untuk mencebur ke persoalan Papua yang beresiko pada hidupnya sendiri. Tiap kali namanya jadi pembicara di Indonesia dengan segera panitia pengundangnya diancam dan ditekan. Veronika Koman nasibya sudah serupa dengan orang Papua: ditekan, diancam dan diburu. Ia musuh pemerintah tapi sahabat rakyat Papua yang rindu merdeka.
Ia belajar ke luar negeri bukan untuk mendapatkan gelar tapi menjadi pejuang kemanusiaan. Ia belajar tidak untuk menghasilkan risalah tesis atau desertasi yang mengguncang tapi membongkar tatanan. Baginya pengetahuan itu bukan berarti untuk mendukung sebuah tatanan apalagi memperbaikinya melainkan membongkar dasar-dasar tatanan itu sendiri. Veronika Koman memperagakan apa yang dulu dilakukan oleh para intelektual di masa lampau: kerja pengorganisiran dan protes. Tak ingin ia memposisikan intelektual sebagai mitra kritis pemerintah atau sekedar menjadi kolaborator dalam berbagai proyek perubahan. Bahkan pasti dirinya tidak sudi untuk sebuah tesis jalan ketiga, jalan tengah atau jalan apapun yang pada dasarnya kesimpulannya sama: kekuasaan itu bisa diubah dengan cara intelektual terlibat dalam kekuasaan.
Veronika menyuarakan apa yang kini langka dinyatakan oleh para akademisi: kebenaran dan kebebasan. Kebenaran itu bukan konsep yang abstrak apalagi definisi yang beragam. Tapi kebenaran itu nyata ketika dilawankan dengan kebohongan. Benarkah warga Papua mendapat keadilan ketika ada pengadilan yang tidak lazim atas mereka? Mungkinkah ada perubahan lebih baik di Papua jika penganiayaan hingga pembunuhan terus terjadi disana? Inilah yang membuat Veronika Koman memastikan kebebasan dengan keberaniannya demi mempertanyakan ketidakadilan. Veronika mempertanyakan tentang aparat keamanan yang jumlahnya terus bertambah di Papua bahkan Veronika membongkar kejadian yang sesungguhnya di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya. Ciri intelektual yang gelisah dan sering bertanya dijadikan sarana Veronika Koman untuk membongkar berbagai manipulasi dan propaganda. Baginya seorang intelektual itu bukan ‘mesin pelaksana’ tapi keterlibatan intens, penuh gairah dan berani pada apa yang selama ini dianggap sebagai kesewenang-wenangan.
Andai semua mahasiswa LPDP seperti Veronika Koman, mungkin banyak rakyat yang akan bahagia. Terutama rakyat yang jadi korban pelanggaran HAM negara. Korban-korban penggusuran akan dibela dengan luar biasa oleh mahasiswa yang belajar di luar negeri, yang dikriminalisasi oleh aparat akan dibela oleh mahasiswa yang ada di luar negeri dan mereka yang jadi korban kejahatan HAM masa lalu akan dibantu suaranya hingga ke manca negara. Rakyat merasa memiliki ‘pembela, pelindung dan pejuang’ muda yang tentu punya kewibawaan pengetahuan yang luar biasa. Mereka akan merasa beruntung karena anak-anak yang belajar di luar negeri itu bukan pulang sekedar membawa gelar tapi terlibat dalam membela hak-hak hidup mereka. Itulah yang dulu dilakukan oleh Hatta, Tan Malaka, Sjahrir hingga Tjipto Mangunkusumo: menjadi sarjana bukan sebuah kebanggaan tapi pembela tangguh prinsip kemanusiaan.
Saat warga Papua mengembalikan uang itu saya merasa itulah hubungan kaum terdidik dengan rakyat yang sebenarnya. Uang rakyat itulah yang mengantarkan Veronika Koman duduk sebagai mahasiswa di manca negara dan Veronika membela mereka karena itulah pengabdian seorang ilmuwan yang sebenarnya. Uang pelunasan itu dikumpulkan mirip dengan adegan Tan Malaka memobilisasi uang untuk pendirian sekolah rakyat: rakyat akan bermurah hati untuk memberikan apapun yang berharga bagi seorang intelektual yang membela kepentingannya, yang melindungi martabatnya dan yang memastikan pemenuhan keadilan untuknya. Memang Veronika Koman tidak sendiri tapi dirinya memberi bukti tambahan tentang apa sebenarnya makna cendekiawan: ia mulai bertanya lalu membela kemudian dengan berani melawan apa yang dianggapnya bertentangan dengan hati nuraninya.
Veronika Koman seperti Noam Chomsky: ia kritik kebijakan negaranya yang zalim pada bangsa Palestina. Baginya sebuah negara bukan sekedar tempat di mana dirinya menetap, tumbuh dan bersekolah tapi juga wilayah yang mana kemanusiaan dan hak asasi manusia mesti dijunjung tinggi. Siapapun yang berkuasa jika itu melecehkan martabat kemanusiaan, itu akan jadi sasaran kritiknya. Panggilan seorang intelektual bukan sekedar ‘mengubah’ dari dalam atau luar, tapi memastikan bahwa rakyat tidak hanya jadi sasaran perubahan tapi terlibat dalam perubahan. Hidupnya bukan berdiri di atas kepala rakyat tapi terlibat di dalam perubahan bersama rakyat. Veronika tidak pulang kembali ke tanah air tapi dirinya bermukim di hati rakyat Papua yang juga merupakan bagian dari tanah airnya. Saat warga Papua mengembalikan uang ke LPDP sebenarnya itu menjadi pesan pembebas bagi siapa saja: intelektual yang ditawan oleh kekuasaan otoriter akan dibebaskan oleh rakyat jika mereka berjuang bersama-sama. Veronika Koman telah membuktikannya. Dan untuk peraih beasiswa LPDP lainnya di manakah posisi anda yang sebenarnya?
Terimakasih Veronika Koman. (EP)
Ilustrator: Hisam