Oleh: Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
Selepas si begundal bajul buntung berewokan itu keluar dari penjara, Nana memutuskan untuk memberinya kesempatan lagi untuk hadir dalam hidupnya. Karenanya itu aku kemudian berusaha mengambil jarak dengannya. Karena bagiku begundal bajul buntung itu tidak terlalu penting untuk dijadikan seorang teman. Meskipun dulu aku terlibat dalam pembelaan pada kasus yang dialaminya. Walau aku juga tak membenarkan tindakan yang dilakukannya. Aku mau membantu membelanya karena rasa kemanusiaan saja. Selebihnya karena pribadi Nana yang baik.
Pasca itu, lama kemudian aku tidak melihat Nana. Komunikasi dengannya sengajaku batasi pada hal tertentu saja. Hanya stori-stori di Instagram saja yang masih sering kulihat. Tidak seperti dulu ketika wajah dan suaranya selalu hadir setiap harinya. Bahkan ke toilet pun suara dan wajah itu tak pernah ketinggalan. Ada-ada saja hal yang dilakukan, dari yang serius memeras otak, sampai yang paling konyol sebodoh-bodohnya kelakuan. Kini, sekalinya bertemu lagi, wajah itu terlihat sayu. Tidak tampak kegairahan yang ada seperti dulu. Bibir atasnya masih membekas pecah. Geraknya pun terlihat tidak selincah dulu. Dan, suara yang dulu ceplas-ceplos itu kini seakan serak dan berat.
“Entahlah dari mana aku harus mulai bercerita, Bang,” ucapnya lirih.
“Semua terjadi begitu saja. Tapi mungkin ini adalah yang paling terakhir dari cerita panjang tentang Yusuf. Aku sudah tak mungkin lagi memberi kesempatan padanya. Bahkan aku akan meninggalkan semua yang ada. Termasuk kos sialan ini. Mungkin dalam waktu dekat aku akan pindah dari tempat ini. Sudah terlanjur trauma dengan semua yang terjadi ini.”
Aku hanya diam membisu mendengarkan ceritanya. Aku sebenarnya sudah menduga hal ini akan terjadi. Bukan pada berakhirnya hubungan antara ia dan Yusuf, akan tetapi pada apa yang dilakukan Yusuf padanya. Aku bukan seorang peramal, tetapi aku sangat yakin bahwa lelaki itu memang bangsat. Dan sekalinya bangsat tetaplah bangsat. Tapi apa aku harus menceritakannya dengan Nana? Tentu bukan hal yang baik ketika hal itu kuceritakan padanya. Bahkan itu bisa memberangus bunga-bunga harapan yang ada dalam diri Nana pada Yusuf. Makanya, agar harapan itu tetap tumbuh, sedari awal aku tak hendak untuk membicarakan pendapatku padanya. Walau ku tahu harapan itu pasti akan layu, cepat atau lambat.
“Hmm … ya kalau itu terbaik buatmu, ndak apa-apa. Yang terjadi padamu memang tidak bisa aku rasakan langsung. Aku hanya bisa mendengar ceritanya saja. Dan pilihan terakhir memang ada pada dirimu sendiri” ucapku membalas Nana sambil menghela nafas panjang.
——-
Namanya Nana Pratiwi. Di kampungnya ia dipanggil Tiwi. Tapi aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Nana. Bagiku sebutan itu tampak manis. Seperti merpati. Aku mengenal Nana belum begitu lama. Orangnya asyik untuk diajak ngobrol dan bercanda. Tak jarang sekonyol-konyolnya pembicaraan sering terjadi di antara kami. Dan itu membuat kami tertawa sampai terbahak-bahak.
Nana kadang sering protes karena aku suka merokok. Bahkan menurutnya, hanya aku saja yang berani merokok di dalam kamar kosnya. Aku dianggap orang yang ngeyelan karena tetap saja merokok meskipun sudah disindir halus. “Rokok lagi rokok lagi, isaplah terus itu sampai seluruh kamar ini bau rokok semua.” Terus begitu ia menyindir aku yang dijulukinya sebagai ahli hisap. Sampai akhirnya ia menyerah untuk memperingatiku. Aku senang karena jadi satu-satunya orang yang diwajarkan merokok meski selalu ada nada protes. Hanya satu-satunya. Selain itu tidak ada. Termasuk Yusuf, si Bajul Buntung bangsat sialan itu.
Sebelum bertemu kembali dengan Nana, ia sudah terlebih dahulu mengabari kalau dirinya sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja ia masih belum bercerita kalau sebenarnya ia mendapatkan kekerasan fisik dari orang yang pernah disayanginya, Yusuf. Sampai-sampai meninggalkan bekas dan membuat dirinya masih merasakan sakit perih pada beberapa bagian tubuhnya. Kekerasan ini tidak hanya terjadi sekali dua kali. Tapi terus terulang dan berulang.
Dalam hal ini, sebenarnya aku sudah banyak memberikan masukan pada Nana. Juga dari teman-teman lainnya. Akan tetapi Nana sendiri punya pandangan berbeda. Makanya ia masih memberi kesempatan pada Yusuf. Meskipun Yusuf pernah mendapat kesialan yang berujung di penjara karena hal yang sama. Ia memukul seseorang teman karena cemburu melihat orang tersebut dekat dengan Nana. Karena tak terima dipukul, teman kami sebagai korban menggilasnya ke penjara. Menangislah kemudian Yusuf sejadinya dalam sel tahan yang berukuran 4 x 4 itu dengan empat orang tahanan lainnya. Tapi sudahlah. Biarlah itu jadi pembelajaran baginya.
Namun untuk kejadian kali ini menurutku Yusuf sudah tidak pantas lagi di bela karena yang jadi sasarannya adalah perempuan. Karena bagiku, sebagai lelaki, pantang untuk melakukan kekerasan pada perempuan. Ditambah lagi Yusuf melakukan kekerasan tersebut pada Nana, perempuan yang telah mencurahkan segalanya, terpontang-panting mengurusinya selama ia dalam penjara, memberinya makan, mencucikan dan menyeterikakan pakaiannya, membelikannya kebutuhan pribadi bahkan dengan permintaan yang mengada-ada seperti minta dibelikan martabak, rokok dan sebagainya. Tapi apa balasannya. Setelah bebas dari penjara, kekerasan yang selama ini kerap dilakukannya, terulang kembali. Bahkan dengan cara yang lebih kasar lagi. Sampai memiting leher, menonjok, menendang dan lain-lain.
Mendengar cerita dari Nana tentang perlakuan Yusuf padanya, semua orang pasti kesal. Apalagi aku. Tapi aku bersyukur ketika Nana berani mengambil keputusan untuk meninggalkan segala yang ada tentang Yusuf pasca kejadian hari ini. Karena bagiku ini adalah jalan terbaik yang tegas baginya untuk mengambil keputusan pasti. Dengan cara ini ia bisa memulai kembali menata hidupnya. Nana bukan orang yang bodoh. Ia lulusan terbaik dari kampusnya. Hanya saja ia terjebak pada pusaran cinta yang ngehek. Ia tersesat pada jalan asmara yang tak bertujuan. Perasaannya tenggelam dalam kubangan emosional yang egosentris. Sehingga kerap mengambil keputusan sepihak dan menganggapnya sebagai jalan tengah. Karena itu dengan gampang ia menelan mentah-mentah trik dan taktik dari seorang Yusuf. Hingga akhirnya ia menyadari kalau selama ini hanya di jadikan bulan-bulanan dan dimanfaatkan saja. Terlambat memang dengan kejadian yang telah terjadi berulang dan menyisakan pedih dan sakit untuk kemudian melepaskan. Akan tetapi hal itu lumrah. Bukankah penyesalan selalu datang belakangan.
Sesampainya aku di rumah, cerita Nana tadi masih tadi terngiang di telinga. Karena itu aku coba membuka kembali catatan yang pernah kami buat bersama. Aku membaca kembali tulisannya yang pernah ada, yang pernah kami bukukan dalam sebuah kumpulan puisi. Ia menuliskannya dengan judul KITA MEMANG HARUS MELAWAN, dengan tanda pesan UNTUK PEREMPUAN YANG MELAWAN;
….
Lawan,
Lawanlah sayang,
Sudah tak jamannya wanita lemah,
Sudah tak jamannya wanita teraniaya,
Lawanlah,
Lawan itu semua sayang, sebab,
Sendiri bukan suatu dosa,
Kau berhak dicintai,
Kau pantas bahagia,
Lepaskan manusia-manusia yang tak berakal itu,
Karena kau berhak menjunjung martabat,
Dan harga diri yang memang ada.
Lawanlah sayang,
Melawan itu suatu keharusan,
Kewajiban yang harus di amalkan tuntas,
Melawan adalah akal yang paling sehat yang kan kita kerjakan.
….
Puisi yang ditulis Nana itu dimaksudnya agar perempuan bisa tegar dengan segala yang ada. Dan juga tegas. Tidak boleh jadi bahan eksploitasi apalagi hanya fantasi dari kaum lainnya, termasuk lelaki. Tapi pesan pada catatan itu kini justru tertuju padanya. Pesan itu tidak saja tertuju untuk kaum perempuan liyane, akan tetapi termasuk untuk dan pada dirinya sendiri. Dan dari tulisannya tersebut, aku membacai kembali banyak tema yang justru pernah dibuat Nana dalam mengkritisi apa yang terjadi pada kaum perempuan. Judul-judulnya pun sangar; BRENGSEK, BEDEBAH, KEGELAPAN, SALAHKAH KAMI PUNYA VAGINA, SUMPAH PEREMPUAN, PERINGATAN, dan banyak lagi. Sesungguhnya tidak kurang apa yang ingin disematkan sebagai pesan Nana pada setiap tulisannya, pada setiap kata yang ia tumpahkan, pada setiap kritik yang ia sampaikan dengan berapi-api. Tetapi siapa menyangka ia yang sadar akan hal itu masih saja terjebak pada persoalan primitif primordial seperti yang dialami kali ini.
Tapi dengan kejadian ini, aku pun berharap ini menjadi yang terakhir bagi dirinya. Cukup sudah pengalaman mengajari apa yang harus dilakukannya. Kini ia harus kembali tegar seperti apa yang pernah di tuliskannya sendiri. Ia harus kembali pada intelektual yang ada pada dirinya. Intelektual yang tidak hanya menekankan agar bisa berhitung, tapi juga bisa memperhitungkan apa yang ada hari ini. Nana harus belajar dari masa lalu. Ia juga tidak boleh melupakan apa yang pernah terjadi pada masa lalunya, sepahit apa pun itu. Karena masa depan adalah bangunan yang di susun dari masa lalu yang berserak dan berantakan, yang di tata kembali dengan sudut pandang yang berbeda dan harapan yang memberi manfaat. Karena masa lalu bukan untuk dilupakan, tapi masa lalu sebagai kontemplasi untuk dipelajari kembali sebagai rujukan untuk beranjak ke masa depan. Orang yang meninggalkan masa lalu pasti akan ditinggalkan oleh masa depan.
Dan tentang cinta, sudah tak ada lagi yang harus dipertahankan. Melepaskan tak selalu jadi hal yang buruk. Karena memiliki menjadi hal yang tak berarti dan absurd kalau praktiknya malah lebih sering menyakiti dan tersakiti. Dan kalau masih memberi kesempatan lagi kepada Yusuf, maka itu adalah tindakan yang terbodoh di abad ini dalam sejarah panjang umat manusia. Memberi kesempatan pada Yusuf sama seperti menyusun gelas yang sudah pecah. Meskipun bisa di satukan kembali tapi tetap tidak memberikan arti apa-apa lagi. Malah memaksa untuk menyusunnya akan membuat ia sendiri terluka, tersayat dan berdarah lagi. Sudah cukuplah pengkhianatan yang dilakukan Yusuf, lelaki yang namanya mirip dengan nabi, tapi kelakuan serupa babi. Perlakuan Yusuf itu adalah pengkhianatan nyata dari ketulusan yang diberikan Nana selama ini. Dengan melepaskan Yusuf, Nana berkesempatan untuk menabung kembali kepercayaan dan ketulusan yang memang itu ada dalam dirinya, sampai benar-benar mendapatkan pengganti yang sesuai dan diharapkan. Sang merpati kini sudah seharusnya pulang kembali ke habitatnya setelah lama mengarungi jagad yang tak bertuah.
Bahwa perbuatan baik hanya untuk mereka yang berbuat baik saja, mereka yang berbuat jahat biarkan dimangsa oleh kejahatannya. Dan ini yang jadi pelajaran paling berharga yang harus diingat Nana dari pengkhianatan yang dilakukan Yusuf. Kalau ia membaca lagi tulisan-tulisan yang pernah dicatatnya di buku itu, maka mungkin tak akan terjadi apa-apa pada dirinya. Sebab tulisan yang dibuatnya adalah sokoguru untuk dirinya sendiri. Kalaupun tidak bisa menghalangi apa yang akan terjadi setidaknya meminimalisir tindakan kekerasannya.
Nana boleh kecewa tapi ia tidak harus membenci. Karena membenci adalah tindakan nirfaedah, yang hanya akan menyalakan sumbu dari api yang akan merebus jiwanya dalam emosi yang tak berkesudahan. Cukup saja sebatas kecewa. Karena kecewa sudah mewakili perasaan yang tersakiti. Kecewa adalah masalah yang paling fundamental yang konsekuensinya adalah tidak akan ada lagi jalan harapan yang tumbuh untuk bisa bersatu kembali. Itu saja sudah cukup. Tak perlu membenci. Forgive but not forget. Memaafkan tapi tidak melupakan. Dan biarlah ini jadi pengkhianatan terakhir dari cerita panjang yang tak menjadi apa-apa dan hanya sia-sia. Gagal bukan untuk di sesali. Justru dengan banyaknya kegagalan kita bisa menjadi gagal secara lebih baik lagi. Begitu pesan seorang sufi.
….
Benci adalah perasaan sesaat,
Tapi kecewa akan menutup semua,
Jendela maupun celah-celah,
Untuk kembali lagi,
Apabila perempuan disakiti,
Dimanfaatkan untuk enaknya saja,
Kemudian ditinggalkan, atau
Dicampakkan begitu saja,
Dan puisiku adalah peringatan untuk kalian semua,
Wahai perempuan.
….
Aku membaca bait terakhir dari puisi Nana yang berjudul AKU TIDAK BENCI TAPI HANYA KECEWA, sebelum kemudian rasa kantuk menyerangku dengan begitu liar sebelum azan subuh berkumandang. Tampak samar bayangan wajahnya, tapi akhirnya semua sirna ditelan pagi yang buta.
Sekian.
Ilustrator: Hisam