Saya bangga dengan Pilkada sekarang ini. Aktivitas politik yang berani diselenggarakan atas dasar kepercayaan diri yang tinggi dari Presiden, KPU hingga Mendagri. Sikap Presiden bisa dimaklumi karena puteranya sedang mencalonkan diri. Sikap KPU dapat dimengerti karena anggotanya positif Covid-19 tapi masih bisa bekerja seperti biasa. Meskipun begitu, komisionernya yang dinyatakan positif, cukup bekerja dari rumah saja dan Pilkada masih tetap dapat berjalan sesuai rencana. Sikap Mendagri mudah dimengerti karena dirinya meyakini bahwa Covid-19 lama kelamaan nanti lumpuh dengan sendirinya. Keahliannya bukan saja menata pemerintahan dalam negeri tapi juga bisa menyusun kesimpulan penanganan Covid-19. Ia pernah punya pendapat kontroversial: negara yang otoriter dan oligarkhis lebih mahir menangani pandemi.
Itulah kemampuan pejabat kita belakangan ini. Bisa memberi pandangan pada persoalan yang berada di luar kompetensinya. Bukan hanya pejabat bahkan lembaga negara dapat pula menjalankan fungsi di luar kewenangannya. Seperti BIN yang juga membuat vaksin, Kementrian Pertahanan yang diberi tanggung jawab soal pangan hingga menteri koordinator ekonomi jadi komando penanganan Covid-19. Sungguh hebat kita punya elit yang bisa berperan apa saja sehingga rakyat bisa terkagum-kagum dengan kemampuan yang dimiliki oleh mereka. Istilah kerenya: Multitasking. Itu pula sebabnya saya setuju dengan Pilkada. Muncul anak muda yang dulunya jual martabak kini dengan percaya diri ingin jadi walikota. Muncul istri yang selama ini hanya menemani suami kini dengan percaya diri mau gantikan posisi suaminya sebagai bupati. Bahkan lahir seorang calon pemimpin dari anak-anak para pejabat.
Disebut sebagai politik dinasti. Sejumlah sekretaris jenderal partai tak setuju dengan sebutan itu. Saya pun demikian. Karena memang istri, anak hingga keponakan itu secara biologis sudah punya keberuntungan. Untung tinggal disini, untung aturan tidak melarang mereka mencalonkan diri dan lebih untung lagi partai politik tak menyoal sama sekali. Anak Presiden, anak Wapres, anak pejabat hingga istri pejabat adalah kumpulan manusia yang berhak memiliki kesempatan seperti bapak, suami atau saudaranya. Jangan tanya prestasi mereka tapi cukup dengan menyebut siapa bapak atau keluarganya kita sudah mengerti ‘kesaktian’ yang dimilikinya. Bukan politik dinasti tapi rasanya seperti hidup di alam kerajaan. Mereka anak, istri dan keluarga yang memang punya takdir hidup mujur, punya kesempatan emas dan memang orang tuanya mendidiknya seperti itu. Ikuti langkah bapakmu nak karena itulah ciri anak yang baik. Pilkada seperti bukti betapa keluarga bahagia itu ada di lingkungan para penguasa.
Saya setuju dengan Pilkada karena banyak calon tunggal di dalamnya. Pilkada membuktikan betapa susahnya menjadi seorang pemimpin. Kalau bisa semua daerah calon tunggal saja karena rakyat tidak terlalu repot dalam memilih. Biarkan kekuasaan itu digilir diantara sesama saudara karena rakyat akan lebih mudah menghapal nama penguasanya. Oh itu anak si ini, oh itu istri si ini, oh itu keponakan si itu. Jadi kita tak perlu menghapal nama cukup dengan sebutan status dirinya: anak siapa, istri siapa atau keponakan yang mana. Kita bisa menghemat apa saja: foto kepala daerah cukup dengan membawa foto keluarga sehingga rakyat sudah bisa memastikan sepuluh tahun atau dua puluh tahun lagi anak atau cucu mana yang akan memimpin. Rasanya kita akan menjadi pengamal semangat kekeluargaan yang dijunjung sejak zaman Soeharto.
Bahkan saya setuju dengan partai politik yang bersikap pragmatis dan memilih calon yang jelas menang. Biarkan partai politik itu tak lagi berseteru terus-terusan tapi bersatu dalam pandangan. Senang rasanya lihat para sekjen partai tersenyum, berkumpul bersama dan meyakini apa yang dilakukannya itu untuk kepentingan rakyat semua. Perkataan mereka bukan mirip bualan tapi seperti sebuah adegan teater yang dihayati sekali oleh para pemerannya. Bayangkan pemberian surat keputusan untuk dicalonkan dihadiri oleh pejabat partai dengan sikap, muka hingga direkam dalam posisi yang serius. Mereka mengambil keputusan pencalonan itu seperti sudah dipertimbangkan dengan bijak, diteliti dengan mendalam bahkan mungkin juga melalui pertimbangan yang panjang. Masakan kita tidak percaya dengan partai politik kita yang para pemimpinnya tampak sehat, senang dan selalu punya komentar yang mengejutkan.
Lihatlah para politisi kita hari ini: mereka seperti tidak dalam situasi resesi, tidak berada dalam pandemi dan tetap menjalankan agenda politik seperti biasa. Bersikukuh untuk mendorong RUU Cipta Kerja, tetap saja menyelenggarakan Pilkada bahkan sangat mendukung kandidat tunggal di banyak daerah. Paling tidak menurut catatan Kompas ada 28 bakal calon pasangan tunggal yang nanti akan berlaga melawan kotak kosong. Hebatnya lagi, partai politik merasa bahwa situasi ini merupakan situasi yang wajar dan lazim. Mereka merasa memang aturannya memperkenankan situasi itu terjadi. Kesimpulannya memang politisi kita punya pandangan yang sedikit aneh, rancu dan beresiko dalam memahami demokrasi. Tapi bukankah memang sejak masa Orde Baru kekuasaan itu bergilir saja diantara sesama elit dan rakyat hanya tahunya percaya saja.
Jadi Pilkada tetap dilaksanakan untuk bisa menjadi contoh bagi bangsa lain. Setidaknya kalau dalam soal penanganan Covid-19, kita kalah jauh dibanding dengan negara tetangga. Tetapi soal kepatuhan dalam menjalankan proses politik kita sangat maju. Juga bisa menjadi contoh pula di negara lain betapa dalam sebuah sistem demokrasi bisa muncul suasana pemilihan yang mirip sebuah kerajaan. Bahkan kita dapat menjadi tauladan dalam sikap nekat dan keberanian: walau pandemi belum mereda bahkan penanganannya masih jauh dari sempurna tapi kita tetap nekat mengadakan Pilkada. Anjuran para epidemolog yang minta untuk ditunda diabaikan begitu saja. Sungguh luar biasa bangsa ini bisa dikenal dalam sejarah sebagai bangsa yang keputusan politiknya bisa dipandu tanpa pertimbangan sains sama sekali.
Maka saya setuju Pilkada karena kita akan kembali mengulang hidup di masa Orba. Partai politik walau jumlahnya lebih banyak ketimbang di masa Orba tapi keyakinannya sama: mengutamakan para pemodal, memelihara semangat nepotisme dan menganggap rakyat hanya himpunan yang berguna di masa pemilu saja. Saya sepakat dengan Pilkada karena hidup jadi seperti sebuah pertaruhan nyawa yang resikonya luar biasa besarnya: dicengkram oleh kematian Covid-19 yang masih merajalela atau mendapat pemimpin yang kita sudah paham bagaimana kualitasnya. Pilkada membuat pilihan hidup jadi simpel: mati menuju alam baka dengan resiko mendapatkan petualangan yang berbeda atau bertahan hidup dengan iklim politik seperti di masa lalu. Sungguh Pilkada membuat saya jadi percaya kalau memang Republik ini tidak mampu mengubah sejarahnya. (EP)
Ilustrator: Hisam