Kepada kawan-kawan yang saya hormati dan kasihi,
Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak atas proses yang kita lalui bersama-sama selama 4 bulan ini sebagai Solidaritas Pangan Jogja. Berada di Solidaritas Pangan Jogja, berada di antara kawan-kawan sekalian, mengajarkan saya banyak hal.
Saya belajar untuk mendengarkan. Saya belajar untuk memperhatikan. Saya belajar soal kepercayaan. Yang terpenting adalah saya belajar untuk percaya pada kemungkinan.
Di tengah pandemi ini, saya menyaksikan bagaimana berbagai macam kemungkinan tumbuh dan berkembang.
Tidak ada yang pernah memberitahu bahwa sebuah jaringan dapur yang terdiri dari berbagai macam orang, dari berbagai latar belakang, di berbagai lokasi di Yogyakarta, dapat terwujud di masa di mana kita harus tetap di rumah dan menjaga jarak. Tidak ada yang tahu bahwa jaringan dapur ini akan mendapat bantuan sayur setiap bulan dari PPLP, paguyuban petani yang lahannya sedang dalam bahaya direbut tambang pasir besi. Tidak ada yang membayangkan bahwa akan ada kebun yang terus mengirimkan sayur ke orang-orang yang membutuhkan.
Solidaritas Pangan Jogja bekerja seperti kacamata bagi saya. Saya mampu melihat hal-hal yang sebelumnya tidak terlihat bagi saya. (saya berhutang bagian refleksi ini pada proyek film seorang kawan)
Sebelumnya saya hanya bisa mengakses realitas atau kenyataan melalui apa yang saya lihat di internet diperantarai media sosial, apa yang terlihat di jalan raya atau ruang publik, tempat yang biasanya saya lewati. SPJ membawa saya memasuki rumah-rumah lain, gang sempit, jalanan yang tidak pernah saya lewati, kost atau kontrakan atau asrama, sawah-sawah dan petani yang menggarap sawah-sawah tersebut, ruang pertemuan yang tersembunyi. Solidaritas menciptakan pertemuan di antara orang-orang yang kerap terlupakan karena keberadaannya tidak terlihat atau dianggap tiada oleh para pemangku kekuasaan.
Saya teringat sebuah kutipan dari sebuah rekaman diskusi antara dua akademisi yang membangun refleksi mengenai gerakan sosial, khususnya terkait perjuangan melawan diskriminasi ras dan kelas di Amerika, yaitu Fred Moten dan Stefano Harney. Fred Moten mengatakan bahwa ada perbedaan antara empati dan solidaritas. Empati muncul dari kemampuan kita untuk melihat diri kita di orang lain. Ada diri kita di orang lain. Sedangkan solidaritas muncul dari ketiadaan diri “saya” di orang lain. Bukan persamaan yang dicari. Yang diakui adalah ada hal yang menghancurkan berbagai kehidupan. Hidup ini ambyar untuk saya. Ambyar untuk anda. Ambyar untuk mereka. Ambyar untuk kita. Solidaritas tidak melulu diawali dari hubungan antara keambyaran hidup kita semua karena memang banyak perbedaan. Tapi solidaritas memungkinkan kita untuk bertemu, menemukan perbedaan, membangun penghormatan atas perbedaan tersebut dan menciptakan hubungan yang menguatkan kita bersama agar berbagai jenis kehidupan dapat terus hidup.
Sebuah dunia di mana banyak dunia bisa muat. (ini adalah prinsip yang digaungkan pula oleh Zapatista, sebuah kelompok masyarakat yang mengelola wilayah otonom di Chiapas, Mexico)
Dunia yang sedang kita huni, dibangun tidak dalam nilai ini. Pembangunan yang marak kita saksikan justru menghancurkan banyak kehidupan. Terutama kehidupan yang hidup dari tanah, sawah, kebun, serta rumah keluarga tanpa sekat. Para penguasa membangun kekuasaannya dengan memakan habis kehidupan-kehidupan lain dan membangun dunia yang hanya layak huni untuk mereka, para elit.
Solidaritas, di dalam dan yang sudah melampaui SPJ, adalah upaya untuk membangun dunia yang lain. Dunia di mana banyak dunia dapat muat. Setiap batu untuk membangun dunia baru ini, muncul dari hubungan-hubungan di tengah perbedaan dan persamaan. Setiap batu di dapat dari proses berjalan bersama- sama dan terus bertanya kepada satu sama lain. Dan semua ini dimungkinkan karena ada kepercayaan pada kemungkinan. Siapa saja bisa menyebut ini sebagai kemungkinan untuk pembangkangan yang militan, radikal, revolusioner atau apapun itu. Bagi saya, ini adalah ada bentuk penghormatan untuk berbagai kehidupan dan pembangkangan kepada kekuasaan yang sedang membunuh kita perlahan-lahan. (refleksi mengenai solidaritas sebagai penghormatan saya dapatkan dari Mas Wid, PPLP)
Dalam solidaritas. Selalu.
Dina (salah satu admin Solidaritas Pangan Jogja)
Tulisan ini adalah sebuah surat yang disampaikan Dina dalam pertemuan internal Solidaritas Pangan Jogja. Kamu dapat melihat aktivitas Solidaritas Pangan Jogja melalui laman ini https://solidaritaspanganjogja.net/
Ilustrator: Hisam