“pooooop…pooooop….poooop….” KM. KAMBUNA sudah tiga kali meniupkan terompetnya. Terdengar pengumuman, “abek-abek, siap muka-belakang, tiga puluh menit lagi kapal akan diberangkatkan. diharapkan agar para pengantar dan pejemput untuk segera turun dari kapal.”
Bunyi peringatan dari cerobong kapal siang itu berlayar dengan rute: Pantoloan-Ujung Pandang-Balikpapan-Tanjung Perak.
Di kapal keributan jamak terjadi, riuhnya melebihi pasar, suasananya campur aduk. Kaja dan Ibunya mengalami itu. Misalnya, menyaksikan seorang ibu-ibu yang mengenakan topi kerudung ungu, seperti simbol seorang hajjah itu, berteriak-teriak memanggil Anak Buah Kapal. Teriakkannya meminta tolong karena baru saja pencopet menggasak kalung emas dari lehernya. Sementara masih di Dek yang sama, beberapa porter pelabuhan ada yang mengamuk, mereka memaksa para penumpang supaya jasa mereka dibayar lebih meski tanpa kesepakatan. Ada juga pungutan liar yang dilakukan oleh para ABK dengan menawarkan kasur lipat, alih-alih para penumpang bisa mendapatkannya secara gratis.
Kasur lipat belum juga didapat, begitu pula dipannya. Padahal ditiket Kaja dan Ibunya tertera fasilitas Dek 3 berikut ranjang no. 11 C. Di dalam Dek itu barisan penumpang berhamburan dengan tas yang masih setia di pundak, kardus-kardus dijinjing, serta masih menenteng berbagai perlengkapan pangan. Para penumpang begitu banyak terbengkalai, mengeluh belum dapat tempat sebagaimana dijanjikan pada selembar tiket.
Banyak penumpang membeli tiket di atas kapal ketika kapal sudah berlayar. Harganya dapat lebih murah atau bahkan lebih mahal. Tergantung suasana hati petugas loket. Para penumpang itu pura-pura menyamar sebagai pengantar/penjemput. Kelebihan kapasitas sudah menjadi hal biasa. Dan sialnya, para penumpang yang membeli tiket resmi di agen penjualan ikut berebut fasilitas.
Beberapa orang menyarankan agar kami mencari tempat tidur di lorong-lorong kapal yang masih luas. Nanti setelah pemberhentian selanjutnya, ranjang-ranjang di Dek ada yang kosong karena beberapa penumpang banyak yang turun. Tak ada pilihan lain. Kaja dan Ibunya akhirnya mengikuti saran itu.
Sore hari adalah waktu yang amboi untuk sebuah perjalanan menggunakan kapal. Selain menyaksikan sunset, penumpang juga dapat melihat kawanan lumba-lumba melompat di antara laut Jawa dan Sulawesi. Itupun jika mereka beruntung.
Di pantat kapal lantai atas, tersedia cafeteria kelas bawah. Pemandangannya langsung ke hamparan laut luas tak bertepi. Sebenarnya ada juga restoran yang agak besar, letaknya di tingkat paling atas, posisinya di tengah tubuh kapal. Multifungsi, bisa menjadi bar maupun cafe. Tapi, fasilitas ini hanya untuk mereka yang memegang tiket kelas 1 dan 2 yang berada di Dek 1 dan 2. Kelas 3 yang berada di Dek 3 tak diizinkan masuk, kecuali sanggup membayar tiket masuk seharga 15 ribu, sudah termasuk sekali makan prasmanan, sebotol air mineral dan bonus live music. Sore itu Kaja hanya membeli sebotol air mineral di kafeteria.
Malam hari adalah hal yang paling menakutkan, menyenangkan, juga menegangkan bagi sebagian penumpang. Kaja duduk di pagar kapal yang tak menjorok ke laut, letaknya di sebelah kiri lambung kapal. Dekat dengan temali sekoci. Dia merasakan suasana berlayar di tengah laut lepas dengan langit gelap dan hembusan angin kencang.
Kapal yang memancarkan lampu kerlap-kerlip itu terlihat tak seberapa benderangnya dengan gelap yang tak berbatas, sangat sunyi, seperti mahluk yang begitu kecil, tak berdaya. Kaja yang baru lulus SMP itu antara cemas dan penasaran di tengah-tengah maha luas kegelapan yang sewaktu-waktu bisa saja ombak raksasa datang, atau angin badai menghantam, kemudian menelan KM. KAMBUNA beserta para penumpang di dalamnya.
Di antara pintu masuk masjid kapal terdapat bangku panjang. Di situ ada beberapa gadis belasan tahun sedang dirayu oleh seorang ABK yang tengah duduk diantara para gadis. Gadis-gadis itu sama sekali tak merasa risih. Malah sebaliknya, terlihat pancaran kebanggaan di mata mereka karena mampu duduk bersebelahan, mengobrol lepas, melepas canda, bersama pria berseragam putih, bertopi pelaut, menunjuk kerlap-kerlip bintang dari sebuah bangku asmara.
Sedikit samar, tapi masih jelas. Di depan cerobong asap bagian depan kapal terdapat beberapa sudut yang menyisakkan ruang. Kira-kira cukup untuk ukuran dua orang manusia merebahkan tubuhnya. Seorang perempuan pesolek terlihat sedang menegosiasikan harga. Perempuan itu mengambil kardus tipis, kemudian masuk bersama seorang pria. Setelah itu dua anak manusia itu tak terlihat lagi.
Kaja menjumpai Indonesia mini di kapal KAMBUNA. Pengalaman pertama itu sangat ia rasakan. Dia berjumpa dengan mahasiswa-mahasiswi dari Yogyakarta, Surabaya, Bandung dan Jakarta. Membuat dirinya semakin termotivasi untuk menyelesaikan sekolah SMU, kemudian melanjutkan kuliah.
Maklum, mahasiswa saat itu sangat dielu-elukan masyarakat. Mereka orang berani, cerdas, dan kritis. Terutama mahasiswa angkatan reformasi. Tentara saja berani mereka lawan, apalagi polisi.
Kaja sendiri punya masalah dengan polisi. Sewaktu kecil, jika Kaja menangis meronta meminta sesuatu pada orang tuanya dan mereka tak mampu mengatasinya, Kaja akan didiamkan dengan ancaman, “kalau tak berhenti menangis, polisi berseragam lengkap yang membawa pistol akan datang mendiamkanmu.” Kaja kecil tentu sangat takut dengan ancaman itu, meski bentuk pistol itu lucu dan disukai banyak anak-anak, tapi suara pistol, kemudian tubuh berlubang mengeluarkan darah adalah gambaran yang menyeramkan bagi anak-anak.
Tetapi, Kaja juga ingin seperti musisi cafe yang tampilannya unik, rendah hati, dan tak malu memilih kelas ekonomi. Seorang pria musisi cafe begitu lincah memainkan gitar, jari-jarinya menari rumit, gema yang keluar dari tubuh kayu gitar sangat indah, musisi itu memainkannya bersama sekelompok anak daerahnya dari Ambon. Sepertinya mereka pemusik gereja. Mereka tengah santai rebahan, menguasai salah satu deretan kasur di Dek 3.
Keriuhan, keceriaan dan kewaspadaan hanya bisa dijumpai di Dek 3 kelas ekonomi. Para penumpang di Dek ini bebas bernyanyi-nyanyi, bermain remi, mengobrol, dan ber gosip. Tapi di saat yang sama, mereka selalu waswas dengan barang bawaan.
Kondisi terbalik dengan para penumpang ber tiket Dek 1 dan Dek 2 yang semua ruangannya berbentuk sekat-sekat kamar. Diisi oleh orang-orang yang hanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan di teras kapal, mandi air hangat di bathtub, menikmati live music di restoran, menonton bioskop mini di Dek 2 tanpa khawatir dengan barang bawaan yang sudah aman terkunci di dalam kamar.
Di lantai paling atas, tepat di atap Dek 1, di bawah kanopi hijau yang luas yang digunakan sebagai ruang penyimpanan sekoci, rompi keselamatan dan berbagai perlengkapan kapal, digunakan para penumpang untuk tidur. Mereka adalah penumpang yang tak kebagian tempat tidur di Dek 3. Mereka menggelar tikar, koran dan kardus. Mereka yang bernaung di bawah kanopi hijau itu termasuk sekelompok pria yang keningnya hitam, memakai sorban di kepala dan bergamis tanggung yang menjulur sampai bawah lutut. Pria-pria itu bercelana cingkrang, beberapa bermotif loreng, rompi mereka tertera sebuah aksara arab yang kalau dituliskan dalam bahasa Indonesia berarti, “Jamaah Islamiyah.”
Mereka terlihat sedang bercengkrama. Kaja mendengar logat jawa keluar dari mulut mereka. Kemudian terdengar seorang pria Bugis yang penasaran menanyakan tujuan dari kelompok itu,
“mau turun di mana kita pak haji?”
Sambil melepas senyum ramah, seorang dari kelompok tersebut menjawab,
“Jangan panggil pak haji pak, ana belum haji. Tapi, kami mau turun ke Pantoloan, kemudian melanjutkan jalan darat ke Poso.”
“O, begitu” tatapan mata pria Bugis itu tiba-tiba kosong sekian menit, kata-kata selanjutnya seakan enggan keluar lagi, seperti baru saja telah dibekap oleh malaikat untuk tak banyak bertanya.
Tak lama kemudian pria Bugis yang bersama keluarganya itu menyodorkan sepiring buras, makanan khas yang terdiri dari komposisi beras, santan, dan sedikit garam yang dibungkus menggunakan daun pisang, dikukus hingga tanak. Sambil membungkuk, tangannya terjulur dan berkata
“mari pak silahkan, maaf hanya sedikit ini”
Pria yang berjanggut tipis, bersurban putih yang sejak tadi diajak ngobrol oleh pria Bugis itu pun menerimanya dengan hati senang.
“wah Jazakumullah, terimakasih, gak usah repot-repot pak.”
“Ndak apa-apa pak, semoga ini bisa menjadi berkah juga buat kami pak, karena kami tak bisa ikut dengan perjalanan bapak. Tapi sepertinya tujuan kita sama palek…semoga.”
Ketika panggilan adzan subuh berkumandang di speaker kapal, Kaja hendak naik ke masjid kapal. Ibunya tetap berada di Dek 3, di tempat mereka tidur. Seperti biasa, menjaga barang-barang bawaan. Ibunya menyuruh Kaja untuk segera menunaikan shalat subuh lebih dulu, kemudian kembali turun ke Dek 3 untuk bergantian menjaga barang bawaan.
Di masjid orang-orang sudah berkerumun, kapasitasnya tak cukup, antrean untuk shalat subuh mengular. Tetapi, di congor kapal di bawah kanopi hijau luas tempat para kelompok berkening hitam dan bersurban putih, terlihat aba-aba akan mengadakan shalat subuh. Kaja akhirnya bergabung di situ. Pria Bugis beserta keluarganya terlihat ikut serta dalam barisan itu. Penumpang-penumpang lainnya yang berada di situ juga ikut.
Setelah shalat subuh usai, seorang imam berdiri memberikan ceramah dengan tema, “Ukhuwah Islamiyah.” Isi ceramahnya mengatakan bahwa Islam tidak membeda-bedakan suku, bangsa dan adat. Islam itu mempersatukan manusia, menerima keberagaman. Tapi juga melawan orang-orang kafir.
Meyakinkan. Begitu kesan Kaja. Pada sebuah subuh yang dinginnya menggigit sekujur tubuh. Dia melihat orang Bugis, Kaili, Jawa, Dayak dan Melayu bisa bersatu dalam sebuah jamaah shalat subuh di bawah kanopi hijau di atap KM. KAMBUNA.
Tahun 2001 sudah delapan bulan berlalu, datang disambut dengan suara terompet, petasan dan kembang api sebagaimana yang sudah-sudah. Perjalanan Kaja jauh, ia harus melewati laut Sulawesi dan Jawa. Singgah di Balikpapan dan berlabuh di Tanjung Perak. Selama tiga hari tiga malam jalan darat menggunakan bus ‘Putera Remaja,’ jurusan Bungur Asih-Kotabumi. Ini tahun shio ular, tahun misterius, yang dingin, hening dan sulit ditebak.
Sekarang sudah bulan Agustus, Kaja masuk sekolah SMU di sekolah milik Yayasan Kemala Bhayangkari. Hari pertama sekolah semua orang kebagian untuk memperkenalkan diri. Tapi giliran Kaja memperkenalkan diri, semua orang menertawainya, baik siswa maupun guru. Kaja heran melihat sikap mereka.
Orang-orang itu sengaja mencoba meniru dan mengulangi logat yang keluar dari mulut Kaja yang sangat khas timur itu, yang penekanan vokal “e” nya begitu mencolok. Tak cukup di situ, teman-temannya dan para guru di situ juga seolah menyeragamkan Sulawesi sama dengan orang terbelakang. Terkadang primitif. Hal itu bisa ia rasakan ketika ada saja pertanyaan dari teman-temannya menanyakan manfaat gelang akar kayu yang melingkar dipergelangannya. Kemudian orang-orang itu akan liar menghubungkannya sebagai orang pedalaman.
Kaja marah tapi tak tahu harus dilampiaskan dengan apa. Kaja terhempas, terbuang, tempatnya di sudut paling gelap. Kondisinya persis seperti kapal KAMBUNA yang sedang berlayar di kegelapan. Kecil, tak berarti dan terasing. Orang-orang di sekitarnya memang menatapnya demikian. Kesan itu seakan tak pernah absen. Selalu muncul setiap hari. Memengaruhi semangat belajar dan pertemanannya.
Kaja hanya memiliki segelintir teman. Itupun hasil seleksi ketat. Dua syarat mutlak; tidak boleh banyak bertanya tentang Sulawesi dan tidak banyak menanyakan asal-usul gelang akar pohon yang melingkar di pergelangan tangannya.
Kaja tak pernah nyaman tinggal di kota ini, penuh orang-orang dengan banyak pertanyaan mengenai asal dan usulnya. Karena pertanyaan itu akan merembet ke stereotip-stereotip sesat dan jahat. Ia ingin sekali membungkamnya. Tetapi juga bingung mesti dengan cara apa.
Di kamarnya yang gelap, Kaja tak tenang. Berungkali ia coba untuk tidur tapi hanya matanya yang tertutup, pikirannya melayang ke mana-mana. Olokkan orang-orang terus diingatnya. Perasaannya terganggu, seperti ada bercak api di dalamnya, rasanya bagai korsleting yang memadamkan listrik.
Akhirnya Kaja bangun dari kasurnya. Di tengah gelap. Ia lalu menghidupkan saklar lampu. Membuka laci lemari. Mengambil map berwarna hitam. Menemukan secarik kertas yang tertera, “PENCATATAN SIPIL.” Kemudian di bawahnya terbaca sub judul, “AKTA LAHIR.” Begini tulisannya:
Pada tanggal ENAM BELAS JANUARI, tahun SERIBU SEMBILAN RATUS DELAPAN PULUH TUJUH, telah lahir “KAJA” anak laki-laki dari suami isteri LANGGAI umur tiga puluh tiga tahun, pekerjaan Kepala Desa Dolodan, RAHAYU umur dua puluh enam tahun, pekerjaan guru, keduanya tinggal di Dolo. Tertanda, Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Sulawesi Tengah, TARJO JUSAK PHILLIPUS.
Setelah membaca akta kelahiran itu, Kaja mencoba terus menilisik siapa dirinya, pikirannya melayang jauh ke belakang, saat dimana kepingan ingatannya masih membekas.
Kelahirannya bertepatan dengan malam Jum’at Kliwon. Namanya dicukil dari sebuah akronim Kaili-Jawa, kemudian disingkat menjadi Kaja. Bayi laki-laki itu lahir dari percampuran antara suku Kaili dan Jawa. Pertemuan dua suku ini terjadi ketika Ayah Kaja yang bersuku Kaili itu pernah kuliah di Yogyakarta. Semasa kuliah, Langgai mempunyai pacar seorang gadis cantik, Rahayu namanya, keturunan Jawa. Kedua orangtua dan keluarganya telah bermukim di Kotabumi, Sumatera sejak zaman Bung Karno.
Ayah dari ibunya tersebut seorang polisi yang disegani dan baik hati. Hal itu teruji saat peristiwa kudeta dewan jendral tahun 1965 yang dampaknya turut membuat simpatisan PKI Kotabumi diburu, di sana ada seorang petani bernama Samin, dia merupakan kepala barisan tani dari organisasi di bawah PKI. Saat suasana mencekam merambat ke Kotabumi, Samin memohon perlindungan kepada bapak Senjaya, yang tak lain adalah kakek Kaja yang polisi itu. Kakeknya tak banyak pikir, karena tak tega melihat darah dan kepala untuk sekian kali terpenggal. Dia berani pasang badan, melindungi ketua barisan tani dari genosida politik. Walhasil, Samin pun selamat dari perburuan kejam.
Tiga tahun Kaja sekolah dengan perasaan buruk. Bahkan untuk berkenalan dengan gadis pun dia segan. Malu kalau logatnya yang ketimuran itu terasa asing di telinga sang gadis dan menjadi bahan olok-olok. Hal tersebut memupuskan kesempatan Kaja meraih hati seorang gadis.
Namun Kaja beruntung, akhirnya ada satu gadis yang mau berpacaran dengannya. Mereka menjalin hubungan tepat 3 bulan setelah ujian nasional selesai digelar. Dia gadis Sunda. Desi namanya. Desi sudah tahu beberapa hal yang tidak menyenangkan hati Kaja. Seperti ketidaksenangan Kaja ketika ditanyai tentang asal daerahnya.
Hubungan mereka tak begitu lama. Masa-masa romantis begitu tipis. Mereka berpisah bukan karena putus. Tapi disebabkan oleh perpisahan yang begitu megguncang.
Saat itu pengumuman kelulusan sekolah sudah keluar. Orang-orang sibuk menyemprotkan pilox di seragam abu-abu. Pawai motor kelulusan begitu berisik, tapi euforia itu tak dirasakan oleh Kaja. Dia dinyatakan mengulang untuk satu ujian mata pelajaran. Rasa malunya bertambah besar. Selain tak lulus di waktu yang sama dengan teman-temannya, dia juga tak lulus di waktu yang sama bersama Desi.
Keadaan itu membuat Kaja seperti pantas menerima semuanya, bukan karena ketidakmampuan mengikuti pelajaran, melainkan ketidakmampuan dirinya menjadi seperti siswa-siswi lainnya yang bisa berbahasa Indonesia dengan logat daerah setempat secara baik dan benar. Tanpa mengucapkan kata “e” yang mencolok.
Kaja menulis pesan singkat di secarik kertas buat Desi. Di dalam lipatan surat ia sisipkan sebuah gelang akar kayu, pemberian ayahnya saat Kaja hendak berangkat meninggalkan kampung. Surat beserta gelang itu ia titipkan kepada Selvi, sahabat Desi, berharap Desi bisa menerimanya.
Buat Desi yang tersayang.
Des, maaf. Hubungan kita ini tak akan pernah putus. Tapi kondisinya rumit untuk dijabarkan. Untuk sekarang, kita jangan bertemu dulu. Tidak bisa saya jelaskan panjang lebar. Harap kamu memakluminya.
nb: kenakanlah gelang ini sebagai pengikat cintaku. Semoga kau bisa terjaga dari berbagai musibah dan Bencana.
Kekasihmu, Kaja
Jika di SMU Kaja mendapat perundungan tak berujung karena merupakan orang Sulawesi, yang logatnya aneh, kemudian diasosiasikan sebagai orang terbelakang dan primitif. Di kampung aslinya Dolo, dia juga dipandang berbeda. Meskipun ayahnya seorang Kaili dan menduduki jabatan Kepala Desa, orang-orang di sana masih saja memanggilnya dengan julukan jawamate. Konotasinya mencibir seorang Jawa yang tulen. Medok. Meski Kaja tak pernah sedikitpun bisa menghafalkan bahasa Jawa dengan baik dan sempurna. Akan tetapi, pandangan begitu sudah terlanjur dan mengarah ke hal lainnya, terutama pada bentuk muka Kaja yang bulat, seperti orang Jawa pada umumnya, yang tak seperti struktur wajah orang Kaili yang lonjong tipis dan berotot.
Di meja dapur terlihat pisau tipis yang tajam. Kaja mengambilnya. Sebelumnya, dia sudah mengantongi botol baygon yang masih terisi setengah. Di bawah pohon jeruk, Kaja menimang-nimang dua benda itu. Kemudian memilih botol baygon. Selain praktis, cara kerjannya sepertinya tak akan membuatnya begitu menderita. Ketika Kaja mencekik botol itu dan membuka tutupnya, dia hendak menenggaknya, tapi tiba-tiba Kaja dikagetkan dengan letusan pistol polisi.
Terlihat sekelompok anak SMU yang bajunya penuh coretan dan warna-warni pilox, lari tunggang langgang dan berhamburan. Cairan baygon pun tertunda masuk ke tenggorokan Kaja.
Suara letusan pistol polisi yang membubarkan anak-anak itu membuat Kaja teringat akan kisah kakeknya. Diceritakan oleh ibunya saat Kaja masih kecil dan mendapat olok-olokan dari teman di kampungnya, Dolo.
Cerita itu bermula ketika seorang bocah dari kampungnya marah, karena kalah balap sepeda dengannya. Karena kecewa, kawannya mengumpat kepada Kaja dengan terus menerus menyebutnya dengan julukan jawamate.
Kaja melaporkan hal itu pada ibunya, kemudian ibunya menyuruhnya untuk duduk diam di kursi bambu teras samping. Ibunya masuk ke kamar. Mengambil album foto bersampul merah. Kemudian mencopot satu foto dan menunjukkannya kepada Kaja.
“jangan pernah takut nak, kakekmu itu polisi. Kamu kasih tunjuk saja foto kakekmu ini sama diorang yang bilang-bilang itu. Kasih lihat foto kakekmu yang pake baju polisi ini. Nah…bagus kan…dia pake pistol.”
“Berarti kakekku itu jahat mama?dia ada pistol. Bikin tako anak-anak.” Sahut Kaja kecil.
“Eee tida. Dia itu bae kasian….dia juga pernah selamatkan petani karena dituduh PKI, itu orang mau dibunuh sama tentara dan orang-orang. Tapi kakekmu selamatkan dia.”
Kaja banyak merenung di bawah pohon jeruk. Dia menimang-nimang makna dirinya. Siapakah dia? Jika di kampung dia dijuluki jawamate, di sini dia pandang sebagai orang terbelakang dari pelosok Indonesia, yang jika berucap kata “e,” sangat mencolok.
Kaja masih berteduh di bawah pohon jeruk, yang rantingnya terdapat banyak duri. Duri itu mirip seperti keadaanya sekarang. “Ah, Betapa brengseknya hidup ini.” Pikir Kaja.
Tutup botol baygon diletakkannya kembali ditempat asalnya, diputarnya sampai kencang dan tak bergerak. Pelan-pelan Kaja akhirnya mencoba memahami. Kaja tak punya banyak alasan menolak pilihan ibunya untuk bersekolah keluar dari kampungnya. Meski jauh. Menyebrangi tiga pulau besar. Meskipun kota yang sekarang ini tak memberikan keceriaan dan rasa nyaman untuknya.
Ingatannya terus mengalir. Saat itu sekitar tahun 2000, saat Kaja duduk di bangku kelas 3 SMP. Selebaran-selebaran ajakan jihad fisabilillah di Poso sudah sampai di kampungnya Dolo. Semua pemuda berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi bagian dari mujahid. Lonjakan peminat naik drastis ketika berita penyerangan Pondok Pesantren Walisongo oleh laskar kelelawar dari kelompok Kristen telah membunuh, memperkosa, dan membakar semua penghuni maupun masyarakat yang berlindung di pesantren.
Anak seusia Kaja sudah banyak yang mendaftarkan diri. Ibunya menyaksikan mobilisasi ini. Tak ada yang bisa mencegah. Jangankan Kepala Desa, Gubernur yang mengeluarkan maklumat pun tak diindahkan oleh warga. Mereka seperti sudah begitu siap menanti kematian mulia. Kesempatan membela sesama umat Muslim dengan iming-iming surga. Beruntung, ustadz Sagaf Bin Salim Al-Jufri, pemimpin Alkhaerat, ulama yang sangat disegani itu mengeluarkan himbauan supaya masyarakat tidak gegabah melakukan jihad. Musti berpikir matang-matang dan menganalisanya dengan baik karena begitu banyak orang yang memanfaatkan situasi ini.
Usaha ini sedikit lebih baik. Paling tidak, setelah himbauan habib sohor itu tersebar, jumlah orang yang mendaftar jihad dari Dolo berkurang sedikit demi sedikit.
Pikiran Kaja kemudian merambat seperti daun-daun pohon jeruk yang menantang matahari. Dia ingat sebuah pesan kebisuan dari ibunya. Sebuah bahasa yang sepertinya kecut. Persis buah jeruk yang sedang bergelantung, ia meneduhkan perenunganya siang itu.
Semua hidup ini kecut. Tapi sarinya bisa melezatkan kuah makna yang hambar. Kaja mengenang kampungnya dan satu misteri yang hingga saat ini masih rumit untuk ditafsirkan. Namun, perlahan mulai terbuka. Saat itu, air muka ibunya serius, hening, tanpa bahasa, menyaksikan kemenangan Gusdur menjadi Presiden Republik Indonesia.
20 Oktober 1999 nyiur melambai pada sebuah lembah yang besar. Pohon-pohon kelapa sudah seperti hutan menghijaukan rata dataran itu. Lautnya hijau kebiru-biruan, pulau-pulau kecilnya bagaikan mutiara surga yang diendapkan jutaan tahun oleh tuhan. Bocah kecil ingusan, bersarung, menangis tersedu-sedu di depan layar televisi. Dia ditanya oleh ayahnya yang saat itu merasa heran melihat tingkah anaknya, “hei Kaja, mengapa kau menangis?” sang bocah hanya mampu menjawab dengan gelengan kepala.
Ayahnya menertawakan tindakan Kaja yang seolah sedang menonton sinetron. Sedang ibunya terlihat begitu serius, sikapnya dingin, mematung, tanpa secuil kata. Dalam tayangan di televisi itu, orang-orang bertakbir dan berselawat, terlihat kerumunan para pejabat mengangkat-ngangkat seorang pria yang wajahnya sering mewarnai debat politik di televisi, radio dan surat kabar. Pria itu adalah politisi, humoris, cendekiawan yang berhasil menjadi Presiden era reformasi pertama.
Saat 1998, tensi politik begitu panas, tenaga banyak terkuras, mengorbankan banyak hal; nyawa, ekonomi, ingatan dan toleransi. Baik Jakarta maupun pulau Jawa dan sekitarnya sering terjadi demonstrasi. Dampak ketegangan politik tersebut juga menimbulkan perpecahan horizontal di sejumlah daerah.
Di luar Ibu Kota seperti Poso, konflik lokal begitu mudah meletus. Banyak mata melihatnya secara sederhana sebagai konflik Kristen-Islam, padahal begitu kompleks. Guncangannya turut mengayak wilayah Dolo.
Tokoh-tokoh politik banyak berkumpul di kediaman Habibi tepatnya di rumah Patra. Setelah bisik-bisik, diplomasi, takar-menakar pengaruh kepentingan juga suara, akhirnya pemungutan suara berlangsung. K.H. Abdurrahman Wahid memperoleh suara 373, Megawati meraup 313. K.H. Abdurrahman Wahid keluar menjadi pemenangnya. Dia unggul 60 suara. Mengalahkan puteri Presiden RI pertama. K.H. Abdurrahman Wahid berhasil menyingkirkan sisa-sisa tirani Orba yang coba maju tapi tak ada daya.
Peristiwa itu membuat hati segenap rakyat membuncah, merayakannya dengan doa yang tak putus, serta derai air mata halus. Tak terkecuali dengan bocah lelaki kelas lima SD, pipinya basah, matanya memerah, tersedu-sedu. Tangisan itu keluar tentu bukan karena hasil dari sebuah analisa politik yang matang. Kaja menangis begitu saja karena alunan selawat dikumandangkan orang-orang bercampur rasa haru. Rasanya seperti merayakan kemenangan kesebelasan sepak bola yang diremehkan.
Setelah menjadi Presiden, Gusdur terlihat banyak mengeluarkan kontroversi. Seperti menghadiri misa di gereja, menyerahkan dirinya didoakan oleh para romo, membuat undang-undang yang membahagiakan komunitas Konghucu, mengganti nama Irian Jaya dengan Papua serta membolehkan pengibaran Bintang Kejora, hingga berani membuka hubungan diplomasi dengan Israel.
Masih di bawah pohon jeruk yang aromanya tajam. Kaja merenungi, mengingat dan merefleksikan semuanya. Kaja mencoba menafsirkan. Terutama sikap hening ibunya yang tanpa kata. Ketika menonton kemenangan Gusdur saat itu, ibunya merayakan dengan hati gembira walau dengan kata yang tak mampu terucap.
Mungkinkah sikap Ibunya yang merayakan kemenangan Gusdur itu juga berkelindan pada persoalan yang tengah dihadapi Kaja saat ini? Kaja mencoba menyimpulkannya di bawah pohon jeruk.
Kaja merasa asing dimanapun ia berada. Sekolah, teman, dan hidupnya yang penuh dengan olokan. Dia terlempar dari kampung halaman dan tersingkir di tempat persinggahan. Tapi tak bisa tidak, ia harus tetap melanjutkan hidup.
Sirine mobil polisi sejak tadi masih terdengar dari bawah pohon jeruk, tempat Kaja berdiam diri. Suara sirine itu terus berbunyi. Bukannya semakin hilang, suaranya makin ke sini makin terdengar jelas. Euforia kelulusan anak SMU sudah bubar. Dari arah kirinya ada seorang ibu pedagang jamu yang berteriak histeris,
“darah….darah…darah….tolong….tolong…tolong….”
Derap sepatu sekawanan polisi terdengar seperti kapal yang tengah mengangkat sauh. Mereka berlari menuju Kaja. Tetapi Kaja bingung, takut, dan khawatir. Polisi itu dilihatnya dengan muka kasihan. Sangat berbeda dengan raut wajah mereka yang biasanya sangar, gahar dan bar-bar. Saat para polisi itu hanya berjarak tiga langkah di depannya, Kaja merasakan sesuatu aneh menancap di dadanya. Dia menoleh ke dada kirinya. Di sana darah telah merubah warna seragam putih menjadi kemeja dengan warna merah yang amis.
Pandangan Kaja akhirnya gelap. Bagaikan kejauhan laut di malam hari. Tak setitikpun cahaya. Kaja tewas. Dalam kegelisahan yang belum selesai. Rumit. Ditembus peluru tajam dari pistol polisi. Yang meleset membubarkan karnaval kegembiraan.