Rohis dan Komunis Gayu Baru

Tak ada yang bisa menandingi meriahnya senyum Ohta siang itu. Di bawah siluet lambang sinar 12 memancar. Di antara taman kembang warna-warni dan rumput hijau, di depan sportorium, dia masih mengenakan toga dengan gulungan ijazah digenggamnya. Dia menyuruh Pak tua, pedagang cilok, yang saat itu kebetulan ada di dekatnya untuk menekan tombol merah yang muncul di layar gadgetnya, sebuah aplikasi pengabadian gambar. Sambil menunggu aba-aba, dalam hitungan mundur, tiga…duaa….satuuu….Ohta seketika lompat sambil menekukkan kedua lututnya berikut toga yang sengaja dilayangkan ke udara. Cekrekk…

Syahdan. Berkat prestasi yang ditempuhnya itu Ohta mendapatkan “pena cendekia” dari pihak universitas. Nilai sempurnanya sudah menjadi selempang, melilit di bahu kanan kemudian terjuntai membentuk lingkaran separuh badan di jubah wisuda. Sungguh kebanggaan tiada tara, kata-kata di selendang itu bertuliskan: “Cum Laude.”

Tak sia-sia. Selain tekun, dia begitu disiplin dalam berbagai hal, terutama dalam kehadiran mengikuti kuliah. Hampir semua jam kuliah seakan tak pernah dilewatkannya. Tak ada yang bisa menghadangnya untuk menyia-nyiakan pelajaran. Kecuali sakaratul maut. Bertatap langsung dengan dosen adalah hobi yang ganjil dimilikinya. Ada kepuasan tersendiri. Jika mahasiswa/i lain berharap dosen tak datang mengisi kuliah, lain halnya dengan Ohta, dia begitu sedih, marah, dan dalam batas kekecewaan tertentu tubuhnya bisa menggelepar-gelepar layaknya ikan mujair yang baru kena jerat jala bila sang dosen berhalangan hadir.

Pernah suatukali dirinya sedang diserang flu berat, kepala pusing, badan demam, suhu tinggi dan hidung mampet. Tapi ketika dirinya mendapatkan sms yang mengatakan jika Pak Budi yang mengampuh mata kuliah Statistik itu dikabarkan masuk, Ohta melepas selimutnya, gulingnya ia buang, nyangkut di baling kipas angin yang menggelantung di langit kamarnya. Kemudian dia beranjak ke kamar mandi, membasuh kedua kelopak mata, yang di sana masih menempel gundukan kuning kering kotoran, suhu tubuhnya pun menunjukkan grafik signifikan, ajaib, mengalami penurunan yang cepat. Dengan tertatih, langkah lunglai, dan seakan siap roboh, seketika staminanya berubah saat dirinya mengetuk pintu, mengucapkan salam sambil menarik gagang pintu. Aliran darah Ohta hening melihat wajah Pak Budi, kulit wajah Ohta mekar bagai bunga raflesia. Demamnya hilang. Sakit kepala lenyap. Jalan udara di hidung plong. Dia mandi keringat. Sekujur tubuhnya kembali sehat walafiat.

Seperti kaum mahasiswa pada umumnya, Ohta aktif mengikuti organisasi kampus, Unit Kegiatan Mahasiswa Rohis. Ohta punya penilaian sendiri dengan makna mahasiswa aktivis. Pandangan yang mengatakan bahwa mahasiswa adalah darah muda yang mudah membangkang, tak ingin dikontrol dan menyukai kebebasan, bagi Ohta itu adalah racun. Mahasiswa harusnya fokus dengan kuliah. Organisasi hanya pendukung agar nilai kuliah bisa bagus, menjadikan pribadi semakin beriman dan tentu jembatan lompatan karir masa depan. Maka, organisasi paling ideal menurutnya tak ada lagi sebening Rohis. Organisasi yang lain abal-abal di hadapannya, karena tak memberi garis tegas pada nilai spiritualis.

Sewaktu di UKM Rohis, Ohta mendapat suara aklamasi menyingkirkan dua kandidat calon ketua lainya, Ghafur dan Ninik. Sikap ceplas-ceplos dan, berani menjaring aliansi politik dengan organisasi ekstra kampus yang condong membawa pijar-pijar pemikiran Syariati membuat posisi Ghafur minim simpatik. Sedangkan Ninik, sebagaimana pertimbangan teologis, kepemimpinan perempuan adalah hal yang gawat di dalam organisasi Islam, oleh karena itu secara alami dia tereleminasi.

Ohta akhirnya menjadi ketua Rohis, kemudian menjadi anak ideologis dari kakak seniornya, Hari Indah Sotowo. Pemimpin Redaksi Islam Saud (RIS). Sosoknya sangat dielu-elukan. Miskin bicara, alim dan dalam banyak hal kaku. Kebetulan, Hari dan Ohta sama-sama pernah menjabat dalam struktur paling puncak oganisasi Rohis: Ketua. Mereka juga alumnus satu jurusan, Hubungan Internasional. Mereka hanya selisih 3 tingkat.

Saat masih kuliah, puluhan sertifikat seminar sudah dikumpulkan Ohta. Bermacam-macam jenis acara dia ikuti untuk mendapatkan sertifikat. Dari seminar yang bertema; “Bagaimana membangun keluarga sakinah dengan empat istri sekaligus menjadi pengusaha” sampai dengan seminar yang diselenggarakan oleh kampus bekerjasama dengan Danramil, Kemendagri dan organisasi Pemuda Penjaga Banteng, yang menggelorakan patriottisme; “Pemuda dan Garda Depan dalam menjaga keutuhan NKRI.”

Upah kerja kerasnya berkuliah dan berorganisasi terbayar. Lima perusahaan antre menunggu jawaban Ohta. Perusahan-perusahan tersebut terdiri dari; media nasional, rumah sakit, digital marketing, NGO lingkungan hidup hingga perusahaan perminyakan. Semuanya mengiming-iming upah standar sarjana baru. Ohta menyeleksi semua panggilan perusahaan itu, dikalkulasinya semua keuntungan, fasilitas dan tunjangan-tunjangan lainya. Kemudian dia mengabarkan begitu bersemangat pada Ibunya.

Sangking gembirannya, Ibunya memanggil marbot, yang saat itu sedang memacul tegalan untuk mempersiapkan benih padi. Marbot itu ikut gembira ketika mendengar kabar Ohta yang lulus dengan predikat Cum Laude. Ibu Ohta memerintahkan marbot tersebut agar kabar ini kiranya bisa disiarkan di toa langgar. Marbot tak kuasa menolak, dengan masih bermandikan lumpur dia begitu bersemangat pergi ke langgar, menghidupkan amplifier, mengetuk-ngetuk mik dengan jari-jarinya, tes…tes…tes…Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengumuman. Pengumuman. Pengumuman. Berita penting, berita bahagia untuk kita semua. Alhamdulillah hari ini, Abu Ohta Sulaimani, putera dari Ibu Siti dan Bapak Ismaili telah lulus di jurusan HI, Universitas Sinar12 Yogyakarta dengan predikat sangat memuaskan. Kum laude. Kume lauce, eh kom lod maksud saya. Berkenaan dengan hal tersebut, tuan rumah atas nama Ibu Siti dan Bapak Ismaili mengundang para warga untuk datang dalam acara tasyakuran, pembacaan Surat Yasin dan pengajian dari Ust. Abu Rohim Firanda. Demikian pengumuman ini disampaikan. Jangan lupa datang ya. Bila taufik walhidayah, wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.   

Empat tahun setelahnya ada lagi kabar baik. “Labaik Allahhumma Labaik, keberangkatan yang baik adalah rumah yang baik, tentu dengan pilihan yang baik.” Begitu tulisan iklan yang dipajang di biro pemberangkatan haji yang letaknya hanya tiga baris dari deretan Kantor Agama. Tiga setengah tahun setelah dirinya bekerja di perusahan perminyakan. Ohta sudah mampu memberangkatkan kedua Orangtuanya untuk menunaikan ibadah haji. Tak perlu mengantri bertahun-tahun dalam urusan haji negara, Ohta memilih paket haji plus, semuanya begitu lancar dan mulus.

Kini, sudah tiga tahun Ohta bekerja di perusahan eksplorasi minyak yang terkenal itu. Logo perusahaan itu berbentuk circle warna-warni, namanya hanya terdiri dari lima huruf, diawali dengan huruf “T” dan diakhiri dengan huruf “L,” akronimnya seolah menegaskan totalitas. Hari-hari Ohta sibuk di gedung perkantoran Ibukota, Jakarta. Ia jarang pulang kampung. Karena waktu kerja jarang ada libur. Jika ada libur cuti betul-betul digunakan Ohta untuk menyenangkan hatinya.

Pada saat waktu liburnya di bulan Agustus, ketika tahun pertama si tukang kayu itu akhirnya menjadi Presiden, Ohta memilih memancing di sebuah danau buatan letaknya ada di belakang kampus Surya 12. Dia menyukai dunia pancing karena terpaksa, hanya ingin menyeragamkan hobi dengan tokoh idolanya, Presiden terlama, yang lekat dengan julakannya “Bapak Pembangunan.”

Si tukang kayu, yang jadi Presiden itu, diharapkannya bisa meneruskan semangat tokoh idolanya. Maka ritual memancing di bulan kemerdekaan ini diharapkannya tak muluk-muluk, bukan untuk memperoleh ikan yang banyak. Tetapi cara dia mengenang dan merefleksikan bangsa serta sederet pembangunan ke depan.

Sudah 4 jam lamanya Ohta dengan kayu pancing membungkuk ke air danau, bentuknya mirip hamba yang sedang menghadap sultan. Perutnya sudah berbunyi akibat reaksi gelembung asam yang membentuk gas naik ke usus. Sementara kerumunan burung pipit bertengger di ranting pohon daunnya sudah gugur menyisakan batang-batang cokelat yang rapuh. Masih ada beberapa tangkai imajinasi yang coba dibangunnya. Memikirkan arah peradaban yang terus bergerak, yang baru, yang sejalan dengan semangat “Pembangunan.”

Dari kejauhan terdengar bunyi denting keramik sengaja dibentur-benturkan menggunakan sendok garpu stenlis, menecemaskan perhatian Ohta. Tinting…tinting..tinting…Saat kepalanya berputar 180⁰, dilihatnya gerobak seperti menjajakan penganan ringan. Tali pancing digulungnya dengan tergesa, disaat yang sama dua muda-mudi tak jauh di samping kirinya masih bertukar lidah mengulum dengan gejolak asmara. Ohta meludah sambil berkata, cuihhhh…..dasar pezina. Semoga lekas dilaknat. Tak lama kata yang lain ikut keluar dari mulutnya, kali ini dengan irama yang ingin. Pak tolong ke sini, apa yang dijajakan?.

Pak tua mendekati arah Ohta, memarkir gerobaknya dan menjulurkan daging aci berbentuk bulat yang sudah ditusuk menggunakan lidi. Cilok nak…mau beli berapa?

Dalam jarak yang tak begitu dekat, posisinya masih di bibir danau, Ohta mengangkat tangan dan mengacungkan 10 jari tangannya ke arah Pak tua, sepuluh ribu pak, ga usah pakai sambel, saos dan kecap.,    

Pak tua meracik cilok pesanan Ohta, tanpa sambel, saos dan kecap. Kemudian memasukkanya ke dalam bungkusan plastik bening. Dia hendak menyerahkan pesanan itu kepada Ohta, saat dirinya semakin mendekat ke hadapan Ohta. Pak tua memicingkan mata. Mencondongkan wajahnya lebih dekat lagi ke arah wajah Ohta, mengulurkan pesanan itu pada Ohta.

Saat Ohta memberikan uang kertas bergambar pahlawan Kaisipo, Pak tua itu berujar, “Pemuda Sarjana. Toga terbang. Anak muda beuntung.”

Sempat bingung beberapa saat, kemudian Ohta pun teringat, Oh…kau kah bapak tua yang membantu memotretku saat wisuda 5 tahun yang lalu itu ya?

Janggot putih dan kumis tebal membantu senyum pak tua semakin terlihat rimbun, meneduhkan hati. Pak tua meraih uang bergambar pahlawan Papua berwarna merah pudar dari tangan Ohta. Kucel membentuk gundukan bola kertas, seperti telah sengaja dibuat demikian. Boleh aku duduk di sini? Pinta Pak tua dengan menunjuk di samping Ohta.

Oh ya silahkan Pak….

Dua muda-mudi yang sedang dimabuk cinta di samping mereka baru saja mengusap mulut basah dengan kaos yang mereka kenakan, saling menertawakan tanpa sebab yang jelas, seolah danau itu hanya milik mereka berdua.

Ohta berdehem dengan kencang, seperti tumbukan bor sumur minyak yang mengenai lapisan batu di dalam tanah. Ehemmmmm ehemmm ehemmm

Sepasang kekasih itu pun sadar jika deheman itu peringatan keras atas sebuah ketidaknyamanan. Mereka menggulung tikar, pindah dari perhatian Ohta dan Pak tua.

Pak tua menyeletuk. Masnya gagah sekali sekarang. Sepertinya sudah sukses ya, wah wah wah…

Heheh…tidak juga Pak tua. Ini hanya bungkusan duniawi. Berkat doa kedua Orangtua dan Allah mengabulkannya.

Syukurlah….saya juga selalu mendoakan anak saya agar bisa sukses.

Oh harus itu Pak. Doa Orangtua itu cash. Tunai. Langsung. Maka perbanyaklah berdoa.

Pak Tua itu tersenyum sambil mengurai-ngurai jenggot putihnya yang menjulur. Iya nak. Andai saja dia saat itu tidak khilaf, barangkali tak serumit ini dirinya mencari kerja.

Usianya sepertinya sama dengan usia anda. Tapi ya, namanya nasib. Kami menerima semuanya. Mungkin dia saat ini masih di jalanan. Menunggu orderan. Kasian dia, kadang seharian penuh hanya dapat 5 penumpang.

Oh ya. Dulunya kuliah di mana anaknya Pak?

Sinar 12.

Oh, sama, dengan saya Pak. Jurusan apa ya kalau boleh tahu?

Hukum.

Ooooo….loh kenapa Pak kok kuliahnya berhenti?

Pak tua mengambil posisi bersila, pandanganya menghadap ke danau. Membelakangi Ohta. Menghembuskan nafas panjang yang agak sedikit bersuara, hufffftttpanjang ceritanya nak. Tapi menurut cerita anakku, dia dikhianati. Disingkirkan. Karena aktivitasnya yang begitu banyak menyuarakan ketidakadilan negara, kampus dan berbagai institusi.

Pak tua menyentuh bahu Ohta dengan beberapa tepukan halus, dedaunan kering dari pohon mahoni terbang dibawa pusara karena tiupan angin lumayan kencang, kemudian saat anginnya reda, daun-daun itu jatuh perlahan di tengah danau.

Dia dituduh berzina dengan seorang rekan perempuannya yang juga satu organisasi dengannya. Fitnah yang menyerangnya begitu jahat nak. Anak saya disidang dan disuruh mengakui perbuatanya yang telah meremas payudara di balik pintu yang ia sengaja kunci, di sebuah hotel, yang sebelumnya ia sengaja pesan.

Tujuh langkah dari arah kanan mereka, seorang pemuda sedang asyik membaca sebuah buku, dilihat dari kulit buku itu, ada gambar sebuah pohon yang sedang dipenjara, judulnya: Si Lugu. Pak tua melanjutkan.

Padahal, anak saya hanya menyentuh tangan perempuan itu. Bukan meremas payudara. Anak saya mengaku salah, karena menyentuh perempuan itu tanpa persetujuan. Tapi hotel yang dituduh sengaja ia pesan itu bukan untuk memfasilitasi hasrat menggumpal. Hotel itu dipesan karena pamannya yang segera datang dalam keperluan tugas kerja, butuh tempat menginap.

Dan, yang membuat fitnah itu semakin terang ialah ketika sang perempuan mengadukan anak saya sebagai pelaku pelecehan seksual. Dituntut dengan denda 50. 000.000, harus keluar dari kampus, dan melayangkan permohonan maaf di media nasional. Tapi kami tidak mampu membayar 50.000.000, juga tidak membuat permohonan maaf di harian nasional. Anak saya, hanya keluar dari kampus.

Anak saya aktivis nak. Barangkali karena statusnya itu, tudahan dan pembungkaman mudah diarahkan.

Ohta sedari tadi hanya menyimak dengan jantung berdegup kencang kemudian dengan suara serak tertahan di tenggorakan, kembali bertanya, siapa nama anak bapak?

Ghofur. Ali Ghofur Teherani.

Nafas Ohta berhenti 7 detik. Keringat basah keluar dari kedua telapak tanganya. Memorinya kembali ke masa kuliah, tubuhnya gemetaran menggelepar di tanah seperti mujair liar, kali ini dengan sebab ingin menghindari kehadiran masa lalu. Pak tua begitu khawatir melihat Ohta seperti kena vibrator raksasa. Dia mengguncang-guncang tubuh Ohta. Menenangkannya dengan mengusap ubun-ubun Ohta. Lambat laun keadaannya berangsur pulih. Tetapi matanya masih terlihat berat.

Ohta menyingkirkan tangan Pak tua dari kepalanya. Segera beranjak pergi dari mukanya. Mengambil kemudi sekuternya, kemudian Ohta mengarah pulang ke rumah tanpa permisi.

Sesampai di rumah, ibunya heran melihat Ohta masuk rumah tanpa salam, menutup pintu kamarnya dengan cara membanting. Dari atas kasurnya, Ohta masih dengan kepala berputar-putar, seolah memutar kembali masa lalunya. Dia berusaha melawan putaran itu di kepalanya yang bagai tornado kenangan. Sekuat tenaga. Terus dan terus. Tapi akhirnya dia kalah. Tak kuasa. Ingatanya kini terbuka ke belakang. Ghofur. Ya, Ali Ghofur Teherani. Saingannya dulu sewaktu di organisasi. Orang yang pernah menantangnya di bursa pemilihan ketua Rohis.

Cerita itu bermula dengan sebuah genggaman hangat. Lalu kecupan. Ke kening Zulaikha. Kekasih gelap, ya, barangkali istilah itu bisa mewakili. Karena pacaran adalah larangan keras bagi aturan organisasi, maka Ohta dan Zulaikha merahasiakan hubungan mereka di hadapan orang-orang. Tapi di saat sepi mereka berjumpa dan melepaskan kangen. Saat kontestasi politik itu datang, tercetuslah ide Ohta untuk menyingkirkan saingannya dalam memperebutkan kursi ketua.

Aku takut bang, nanti kalau kami malah semakin terjerumus bagaimana. Siapa yang bisa menebak kapan lautan nafsu akan datang dan berakhir. Ujar Zulaikha dengan pelukan erat yang masih membungkus Ohta.

Batang hidung mereka menempel dan dua kecupan di kelopak mata Zulaikha dilepaskan Ohta, Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Aku milikmu sepenuhnya. Akulah kekasihmu. Ini hanya sandiwara. Inilah jalan mulia yang tersembunyi, tujuan kita menegakkan martabat organisasi dari pikiran-pikiran pemberontak. Percayalah.

Zulaikha pun mengangguk yakin. Ohta memberi kesempatan padanya untuk keluar terlebih dahulu dari ruang pertemuan mereka yang sempit, gelap, yang berada di belakang laboraturium kima kampus. Kemudian tak lama Ohta pun menyusul menghilang dari ruangan tersebut.

Ohta seperti menggiring Ninik dengan sempurna, tanpa perintah langsung, dengan mempersilahkan perempuan itu maju sebagai calon ketua, kemudian akan mengeleminasinya sendiri. Dan, merayu Ghofur dengan perantara adik kandungnya (Zulaikha), tentu dengan sepengetahuannya. Tetapi pada batasan tertentu. Sehingga aib ini akan terdengar ke telinga pengurus organisasi, Rohis akan membuat sangsi berat. Menggugurkan pencalonan Ghafur.

Semua tenaga solid, fokus menghentikan pergerakan Ghofur, yang semakin hari semakin banyak membuat orang suka padanya. Terutama dengan isi pidato-pidato kampanyenya, yang mengawinkan ide Islam dengan sosialisme, juga membawa-bawa buku Ali Syariati. Selain berpotensi bisa menjadi H. Misbach baru, keadaan tersebut membahayakan jalan dakwah yang sedang mereka galakan di Lembaga Islam Pogung Indonesia-Arabia, LIPIA, yang juga berafiliasi dengan majalah yang dikelola Hari, harian Islam Saud, sebuah ikhtiar menegakakkan Islam Ahlu Sunah Wal Jamaah versi Saudi.

Rencana tersebut berhasil. Ninik sebagai pemecah suara sekaligus orang yang turut berperan menceburkan Ghafur di kubangan fitnah, bekerjasama dengan baik untuk pemenangan kepemimpinan Ohta. Tidak hanya itu, kampus pun buka suara, menonaktifkan secara tak terhormat kepada Ghofur sebagai mahasiswa, juga membekukan UKM Iran karena banyak memperkenalkan pemikiran Ali Syariati. Ini celah bagi kampus, yang telah lama khawatir karena banyaknya slogan-slogan mahasiswa yang mengusung Sosialisme-Islam, pihak universitas resah karena mahasiswa-mahasiswi itu telah lancang memboikot kedatangan salah seorang Gubernur. Mereka menuntut sang Gubernur bertanggungjawab atas perampasan tanah yang dilakukan oleh militer dari petani pesisr, teritori bagian selatan kekuasaan sang Gubernur. Ohta, Ninik, dan Zulaikha yang sembunyi-sembunyi, merayakannya dengan penuh gembira. Mengundang Hari untuk mengisi tausiyah: “Menyongsong Pembangunan Dalam Genggaman Anak Muda Saleh.”

Takdir memang hanya dari Allah. Ohta tak bisa berbuat banyak. Semenjak acara tausiyah tersebut, hati dan mata Zulaikha tak henti-hentinya berdenyut-denyut mengenang sosok Hari. Kealimannya, cara bicaranya seperlunya dan menguasai banyak ayat untuk setiap pertanyaan di dalam forum, membuat Zulaikha semakin tak sadarkan diri. Bukan mengiris-iris jari, dia mencubit-cubit lengannya sendiri. Dia seolah sudah melupakan pacar gelapnya itu. Tak lama setelah tausiyah itu, tersiar kabar, Zulaikha telah menjadi istri dari seniornya yang juga menjadi patron politiknya semasa di kampus, Hari Indah Sotowo.

Ohta masih tak percaya, kekasih gelapnya itu akhirnya dinikahi oleh junjungannya. Tapi karena hubungannya dengan Zulaikha bersifat rahasia, dan peran Hari banyak membantunya diterima di perusahan minyak, Ohta tak ingin menunjukan rasa kecewanya di hadapan Hari, Yang konon masih keturunan kaisar minyak era Soekarno. Di depan Hari, senyuman Ohta semu. Walaupun saat itu genggaman selamat kepada Hari berlangsung di kursi pelaminan.

Tuk tuk tuk….Seorang perempuan mengetuk pintu kamar Ohta dengan mengucap sapaan lembut, memikirkan Ohta dengan sedikit cemas.

Pintu itu akhirnya terbuka, perempuan dengan bayi seumur 6 bulan di gendongannya masuk menuju dipan Ohta.

Apakah semuanya baik-baik saja sayang?

Ohta yang sejak tadi terbaring di kasurnya, bermandikan keringat, rambut kusut, karena memikirkan kenangan panjang, kemudian melepas kacamatanya. Dia melihat perempuan yang menyapannya dengan sorot keanehan, mencoba mengingat-ingatnya. Berbagai memori dan kenangan di kepalanya coba ia rapihkan. Dan ah, dia ingat. Itulah perempuan yang dulu membantunya menyingkirkan Ghofur dalam pemilihan ketua Rohis. Dia kakak kandung Zulaikha. Ibu dari bayinya yang sedang digendong dengan perasaan cemas.

Aaaa…..jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Tadi ketika memancing di danau tiba-tiba kepalaku pusing, mungkin karena keletihan. Tapi kini sudah baikkan kok. 

Pak tua dan anaknya, menjadi riak penyakit yang harus digilas. Ohta seolah menggali tanah yang dalam, dia telah megubur rasa ibah dan rasionalnya. Kehadiran Pak tua dan Ghofur merupakan duri kehidupan. Juga pembangunan. Ohta tak ingin benih-benih pembangkang tumbuh dalam pembangunan.

Ohta melihat mata bayi laki-lakinya. Memikirkan masa depan anaknya. Sebentar lagi akan balita, kemudian masuk TK, SD, SMP, SMA, dan masuk universitas. Dia ingin menjaga puteranya itu. Dan memberi wasiat pada istrinya, Ninik.

Jika nanti seumpama aku tak berjumpa lagi dengannya. Dan dia akan memasuki dunia mahasiswa. Jauhkan dia dari orang-orang pembangkang. Dari komunis gaya baru.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0