Membaca The Metastases of Enjoyment; Six Essays on Woman and Causality Bagian Satu (Slavoj Zizek, Verso 1995)
oleh: Maria Adriani
Rape Culture?
Sehari sebelum Hari Pendidikan Nasional, saya mendengar berita pelecehan seksual di perguruan tinggi, lagi. Terus terang, untuk masalah ini, saya muak sekali. Sebab, kasus-kasus pelecehan, kekerasan seksual di institusi yang seharusnya memegang teguh etika dan norma, justru ditimbang secara timpang dengan “nama baik kampus”. Bukankah, kasus Agni yang masih kita ingat itu pun demikian? Dan kasus-kasus Agni-Agni yang lain?
Kebanyakan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus, diselesaikan dengan hal yang paling absurd, yaitu secara “baik-baik”, misalnya menikahkan penyintas dengan pelaku, atau “tawaran” untuk korban (di)keluar(kan) dari institusi. Jika negosiasi ditawarkan pun, ia dilakukan dengan hal yang absurd pula; mempertemukan penyintas dengan pelaku dalam sebuah ruang sidang.
Bukankah sebuah “tawaran” yang absurd, karena justru tidak menimbang relasi kuasa dan trauma, dan sama sekali tidak berpihak pada penyintas? Bisakah dibayangkan bagaimana Agni-Agni ini hidup penuh tekanan di kemudian hari? Bukankah, terlalu banyak kasus pelecehan, kekerasan seksual justru di dunia pendidikan? Dan sekarang, akankah kita mengulangnya lagi?
Kasus yang baru-baru ini marak, melibatkan seorang yang “sempurna”. Kasus ini banyak dianggap remeh sebagai “kenakalan remaja” biasa, karena tidak melibatkan koitus. Namun, bisa jadi kasus ini menjadi penanda masuknya kita dalam dunia “normal baru” dengan bergesernya dunia nyata ke dunia cyber. Pertama, metode cyber justru dapat dengan mudah memecah pendapat mengenai batasan pelecehan seksual. Kedua, karena situasi #stayathome yang mereduksi kemampuan koreksi sosial terhadap dunia “intim” individu, yang sangat mungkin menjadi pelumas metode kekerasan seksual yang serupa.
Di sinilah justru hal ini perlu diperbincangkan. Di mana batasnya, sebuah pendekatan disebut dengan pelecehan, atau bahkan kekerasan seksual? Bagaimana disebut pelecehan jika jarak dilibatkan melalui teknologi media? Bagaimana dengan perdebatan panjang hukum positif di mana bukti dan siapa saksi, yang justru secara mental tidak berpihak pada penyintas? Seberapa jauh faktor relasi kuasa sudah kita pertimbangkan dalam melihat kasus-kasus pada ruang privat karena “stay at home” tersebut? Apakah peran teknologi dapat membuat setara relasi kuasa sehingga bisa disebut “suka sama suka” karena ketiadaan bukti dan saksi? Bagaimana pula “politik-politik” pelaku, institusi(-institusi), bahkan pengamat perlu dipertimbangkan? Sejauh mana sebuah “like”, “love”, atau “share” di media sosial perlu kita telaah bersama untuk membedah: Apakah (jangan-jangan) kita dalam frekuensi berpikir yang sama dengan pelaku, yang memandang perempuan sebagai objek seksual, dan soal pelecehan hanyalah menunggu waktu dan kesempatan?
Oke, untuk pertanyaan terakhir tadi, Anda boleh marah. Tetapi sebelum Anda marah, saya beri cerita kecil.
Pada saat kasus Agni mencuat beberapa tahun lalu, seseorang dari kalangan pendidikan tiba-tiba menceletuk, “Lihat tuh, untung kamu (mahasiswi) sekolah di sini. Coba kalau di (nama institusi, yang tidak perlu saya sebut), ngeri betul lho itu”. Yang menceletuk adalah seorang yang keren banget; kebapakan, pintar, baik, punya keluarga yang harmonis, punya karier yang bagus, dosen yang disukai mahasiswa. Yang membuat saya bagai tersiram air dingin saat itu adalah, saya menyaksikan sendiri saat satu-dua tahun sebelumnya, ketika situasi jauh lebih sibuk, seorang mahasiswi pingsan dan digotong ke sebuah ruangan. Ya. Orang yang berceletuk itu memegang tangan mahasiswi tersebut, mengusap-usapnya perlahan. Oh tentu, memegang tangan bukan hal yang luar biasa, bukan? Kalau “suka sama suka”, bukan pelanggaran etik, bukan? Bagaimana dengan relasi kuasa dosen dan mahasiswi yang kebetulan bimbingan skripsinya? Sayang? Tidak melanggar moral, bukan? Apalagi pelecehan seksual?
Nah, justru permasalahannya di situ; tepat di pikiran kita sendiri.
Yang sering membuat orang tidak habis pikir adalah sosok sempurna yang justru melakukan perbuatan keji itu. Di mata hukum memang, kesalahan, hukuman, dan tanggung jawab dibebankan pada orang per orang. Tetapi, dengan semakin banyaknya kasus yang demikian, mungkinkah kita membaca penanda-penanda ini dari perspektif lebih luas?
Untuk mencoba memahami hal-hal semacam ini, saya mengajak pembaca untuk mengintip sedikit pemikiran Slavoj Zizek yang mengulik soal kekerasan seksual dan objektifikasi terhadap perempuan. Terbit di saat ekonomi kapitalis dunia bersinar-sinar seperti kembang api, The Metastases of Enjoyment, seperti pada judulnya adalah kumpulan essay pembedahan kekerasan yang “gila”, di luar nalar, di luar norma, melalui psikoanalisis Lacan dan tradisi Marxis. Zizek membagi buku ini menjadi 2 bagian; pertama yang menjelaskan bagaimana kekerasan seksual termasuk pelecehan dibentuk oleh kapitalisme, dan bagaimana sistem-sistem menisbikan “laten”—yang-lain—yaitu perempuan dalam bagian kedua.
Pada paragraf-paragraf berikut, saya akan mengajak pembaca “mencicipi” pemikiran Zizek dalam buku tersebut. Selanjutnya, yang saya tulis adalah resume bagian satu, dengan sebisa mungkin menjelaskan dengan bahasa sehari-hari yang lebih mudah daripada memahami psikoanalisis yang rumit. Pada beberapa bagian, contoh-contoh disediakan untuk memperjelas konsep psikoanalisis yang rumit. Namun begitu, karena bukan psikolog ataupun psikoanalis, saya berusaha memisahkan pembacaan buku ini dari kasus-kasus pelecehan seksual yang saya sebut di atas.
The unbearable is not the difference. The unbearable is the fact that in a sense there is no difference. (Zizek, Metastases of Enjoyment 1995)
Bagian 1: Kapitalisme dan Kekerasan Seksual
Zizek mengawali buku ini dengan penelusuran kritik psikoanalisis. Psikoanalisis, karena ia menjadi dasar pisau analisis pengembangan diskursus ilmu pengetahuan baru (misalnya teori-teori paska-kolonial, posmodernisme, dll). Zizek mempertanyakan jauh mendasar; sejauh mana sebenarnya psikonalisis berkembang, dan di mana posisinya dalam konteks “kapitalisme-hari-ini”. Ia mendeskripsikan kapitalisme-hari-ini’ sebagai “the late capitalist Narcissistic mode of subjectivity”, yaitu kapitalisme melihat ‘yang lain’ sebagai gangguan penuh trauma yang terus menginterupsi ruang ‘my Ego’ yang semakin sempit. Zizek melihat kapitalisme sebagai pengkonstruksi alienasi, dengan masyarakat yang semakin kompetitif merebut atau mempertahankan sumber daya, di mana konflik horizontal justru didekatkan pada masyarakat umum dan dijauhkan dari pemilik modal yang diuntungkan. Namun, kapitalisme hari ini berbeda dengan yang lampau. Kapitalisme hari ini bergerak dalam masyarakat posliberal yaitu ketika agen yang merepresi masyarakat tidak lagi bertindak jelas dalam pola-pola yang memaksa individu untuk melakukan kontrol diri sebagai bagian dari sistem, melainkan menjadi semacam agen penghipnotis yang justru menawarkan kebebasan; ‘enjoy yourself!’.
Namun begitu, bukan berarti individu-individu dalam masyarakat kapitalis hari ini memiliki kebebasannya. Bagai keluar dari mulut singa masuk mulut buaya, justru, mereka adalah ego-ego yang direpresi (repressed ego). Kapitalisme yang multipola dan abstrak ini tetaplah berbasis kompetisi, alienasi/ekskavasi sumber daya. Kompetisi membuat individu-individu teralienasi dari modal dan kapasitasnya, hingga individu-individu ini melihat yang selain dirinya sebagai pengganggu. Namun karena berada dalam sistem tersebut, mau tidak mau individu-individu ini menerima apa yang mereka tidak bisa terima, dengan cara membuat rasionalisasi atas tindakan yang sebenarnya tidak sesuai dengan nuraninya. Orang-orang yang langsung berkomentar menyoal pakaian yang dikenakan perempuan ketika mendengar kabar pelecehan seksual, menurut saya, termasuk orang yang melihat golongan lain sebagai pengganggu, dengan rasionalisasi penandaan pakaian.
Dalam psikoanalisis, seorang individu yang sehat akan memediasi hasrat libidinal, kebutuhan, dan keinginannya untuk mencapai keadaan “win-win” dengan kontrol kesadaran dan norma sosial. Proses ini dinamakan sublimasi, dan Ego adalah hasil proses tersebut. Proses mentransformasikan dorongan bawah sadar yang banal, yang tidak bisa diterima masyarakat, ini memerlukan refleksi diri yang ketat, di mana individu mengevaluasi dirinya secara objektif, mengenali motivasinya yang sebenarnya, pendeknya, mengenali dirinya sendiri. Proses sublimasi tidak sekali jadi, tetapi memerlukan percobaan dan adaptasi terus menerus. Menurut Zizek, pada masyarakat kapitalis hari ini, sublimasi dan ego yang sedemikian tidak didapati dengan mudah. Yang terjadi adalah kegagalan sublimasi yang direpresi (repressive desublimation).
Untuk menjelaskan mekanisme sublimasi yang direpresi, Zizek mengajak pembaca untuk napak tilas teori-teori psikoanalisis. Yang kemudian saya singkat, yaitu pembentukan pseudo-ego, overvalueing, gagalnya norma sosial, dan superego by default.
Pertama-tama, karena kapitalisme memaksa represi ego berlangsung terus-menerus, kompetisi semakin ketat, sebagai mekanisme defensif, terjadilah glorifikasi ‘aku’ pada diri individu tersebut. Glorifikasi ‘aku’ ini merupakan sebuah pseudo-ego, ego yang palsu, di mana individu membuat hasrat libidinal—termasuk perversi (penyimpangan seksual)—untuk di’normal’kan dan di’sosialisasi’kan, dengan cara mentransfernya sebagai ‘kebutuhan’.
Dorongan nafsu, bahkan preversi sekalipun, oleh Freud dikatakan normal. Tetapi, manusia yang sehat mempunya mekanisme kesadaran untuk mentransformasikan energi libidinal tanpa menjadi binal. Pada individu dengan pseudo-ego ‘aku’, yang terjadi adalah kesadarannya membuat rasionalisasi dari tindakan yang ada karena dorongan nafsu. Individu mencomot sesuatu dari luar dirinya, dan kemudian menjadikannya alasan untuk normalisasi hasrat libidinal. Jadi proses pembentukan pseudo-ego berjalan instan. Alias, tidak ada kontrol sosial yang bekerja. Tidak ada kontrol diri (ego) yang bekerja.
Bagaimana glorifikasi-aku bisa terjadi latah pada hari ini? Pertama, menurut Zizek, kita tidak bisa memungkiri bahwa kita hidup dalam masyarakat posliberal. Dunia kita sudah jauh berbeda dari jaman Freud menulis tiga esainya yang fenomenal. Posliberal yaitu bahwa kebenaran, kuasa, subjektivitas tidak tunggal. Semua individu sah memiliki normanya sendiri, bisa jadi hukumnya sendiri. Mengapa? Karena zaman ini memungkinkan seorang individu untuk mencopot sebuah teks dari konteksnya dan membuat teks baru yang sama bobotnya dengan teks sebelumnya.
Rasionalitas, praktik, teknik, dan agen, bisa dirangkai sedemikian rupa, sehingga hukum-hukum, norma-norma yang ada dapat dibuat sebagai medium penghipnotis massal. Diktasi. Dogma. Pembajakan dogma. Pembajakan teks besar-besaran. Yang membuat saya merinding, bukankah hari-hari ini kita sering dijejali dengan simbol-simbol yang seolah-olah menyampaikan makna yang luhur, tetapi sebenarnya di balik itu, adalah permainan dagang belaka? Tentu membaca penanda mana yang demikian, membutuhkan usaha ekstra.