Kebenaran lebih gampang muncul dari kesalahan daripada dari kebingungan (Francis Bacon)
Pertanyaan yang menarik bukanlah ‘Apakah kita peduli dengan orang lain? Melainkan ‘Seberapa pedulikah kita dan siapa orang lain yang nasibnya kita peduli? (Frank Hahn)
Negara adalah mesin yang rumit, yang tak dapat kita susun ataupun jalankan tanpa mengenal seluruh bagiannya. Kita tak bisa menekan atau mengendurkan yang satu tanpa menganggu yang lain…. (Diderot)
***
Entah apa pertimbangan pemerintah memutuskan kebijakan yang selalu berubah-ubah. Mulai dari pembatasan kemudian relaksasi dan kini memperbolehkan warga di bawah usia 40 tahun untuk beraktivitas kembali. Semua itu diputuskan seperti tanpa pertimbangan dan tergesa-gesa. Padahal sampai kini angka kematian akibat Corona masih tinggi dengan kemampuan pengetesan yang masih minimal. Semua belum beres sedang kebijakanya menganggap semuanya sudah separo beres.
Entah apa yang sesungguhnya terjadi di istana. Siapa yang sebenarnya mengambil keputusan dan masukan siapa saja yang jadi pertimbangan. Harusnya kalau soal penanganan virus pakar kesehatan yang pertama kali dimintai pandangan. Minimal menteri kesehatan bukan menteri ekonomi apalagi menteri perhubungan. Mustinya penanganan virus yang lebih didahulukan mengingat inilah kunci untuk segalanya. Jerman, Belanda, Australia hingga Singapura melakukan pelonggaran setelah ada bukti kalau penularan virus itu melemah.
Bukti itu berupa data ilmiah yang jadi landasan untuk mengambil keputusan. Hari ini bukti itu seperti hilang: data yang sesungguhnya tentang mereka yang tertular belum sepenuhnya dipercaya, jumlah angka kematian sekalipun kurang diyakini hingga krisis ekonomi yang dikatakan berulang kali juga tidak dapat dipastikan angka serta analisisnya. Semuanya itu seperti hilang dari peredaran sama halnya dengan para menteri yang tak semua memberi komentar, pandangan bahkan analisis. Paling tidak menteri kesehatan yang belakangan ini hilang semua peryataanya.
Hanya Polisi yang meyakini tentang ancaman Anarkho yang katanya akan melakukan penjarahan. Alkhamdulillah sampai sekarang aksi itu tak terjadi dan itu bisa menunjukkan dua hal: polisi sudah mengantisipasi atau polisi lagi menciptakan fantasi. Hanya Polisi yang menangkap Ravio Patra yang konon melalui pesan WA mengajak untuk melakukan aksi penjarahan. Berita yang lebih banyak mengumbar pertanyaan ketimbang penjelasan: Ravio kaitanya apa dengan anarkho dan pernahkah ada selama kehidupan di dunia ini, seorang peneliti mengajak untuk menjarah? Semuanya tak perlu dijawab karena krisis bisa menghilangkan segalanya. Termasuk akal sehat segala.
Krisis ekonomi akan berlangsung lama tapi krisis akal sehat sudah terjadi. Jika dulu elite bilang Corona itu seperti flu biasa bahkan biasa diatasi dengan doa kini yang terjadi malah lebih tak masuk akal lagi. Corona virus yang mau tidak mau kita harus bisa hidup damai bersama mereka. Pertanyaan dari peryataan ini adalah apa maksudnya? Berdamai dengan virus itu istilah kesehatan, politik, ekonomi atau istilah buatan yang tak jelas tujuanya? Mengatakan itu bukan hanya keliru tapi membuat akal sehat kita jadi tak diperlukan lagi. Andai semua virus itu diajak berdamai maka mekanisme apa yang bisa dipastikan kalau virus tak akan menyerang tubuh kita. Mengajak virus berkoalisi atau melibatkan virus dalam kekuasaan?
Tidak digunakanya akal sehat merupakan salah satu ciri kepanikan. Contoh kepanikan yang nyata adalah berbedanya pernyataan satu sama lain. Satunya memastikan tak ada mudik sama sekali, lalu yang lain bilang ada relaksasi untuk transportasi dan kemudian boleh lah yang usia di bawah 40 tahun melakukan kegiatan lagi. Semuanya kebijakan itu bukan mengatasi persoalan tapi memastikan memang ada persoalan pemahaman yang saling bertabrakan. Memahami apa sesungguhnya definisi virus, bagaimana beroperasinya dan cara penangananya. Sungguh tanpa bekal pengetahuan yang cukup kita bisa tergiring untuk bertindak konyol.
Kekonyolan ini bisa berbuah petaka ketika apa yang kita yakini terjadi sebenarnya hanya fantasi. Keyakinan bahwa virus Corona itu akan mereda secepatnya tanpa ada pemeriksaan yang meluas, pembatasan yang dipatuhi dan bantuan sosial yang terfokus hanya jadi keyakinan naif. Keyakinan yang malah membuat kita tidak tahu apa yang perlu diprioritaskan dan tak mengerti mana yang tidak harus diputuskan. Meski terlambat tapi ada baiknya akal sehat segera kita gunakan untuk memastikan kalau yang kita hadapi kali ini bukan politisi, parpol atau himpunan massa aksi. Ini virus sekali lagi virus!
Kita tak mungkin berunding denganya karena hidup di alam yang berbeda dan mereka tak punya jubir sama sekali. Bahkan kita tak bisa menggerakan polisi untuk menangkapnya malah ada polisi yang kena virus Corona. Tak ada politisi apalagi menteri yang mampu melobby-nya karena memang virus ini tak bisa diajak ‘berdamai’ apalagi tukar menukar kepentingan. Virus ini hanya mau berkembang bebas diantara tubuh manusia dan satu-satunya aktor yang bisa melawanya sementara ini hanya tenaga medis. Profesi yang sayangnya kurang didengar pertimbanganya. IDI yang terus melakukan masukan, kritik dan pandangan sebaiknya mulai diajak bicara secara serius.
Tak hanya IDI tapi epidemiolog yang bisa mengetahui bagaimana sebenarnya pergerakan virus. Paling tidak mereka bisa memberi masukan bagaimana penyusunan kurva epidemi yang benar sehingga seluruh kebijakan apapun perlu bersandar pada data yang sahih. Menurut teorinya kurva epidemi penting dibuat karena bisa menjadi ukuran sukses tidaknya intervensi termasuk kapan sebaiknya dilakukan pelonggaran. Kita bukan hanya tak memiliki kurva tapi juga kita membiarkan saja kritik atau masukan itu sebagai ocehan tak berarti. Padahal efeknya sudah dirasakan dimana virus tak gampang ditaklukkan malah meluas ke sejumlah propinsi. Kasihan tenagamedis harus jadi tumbal itu semua.
Karena hanya tenaga medis yang mampu menangani itu semua. Mulai libatkan mereka dalam semua kebijakan publik sehingga tak ada keputusan apapun tentang virus Corona yang dikomplain oleh IDI. Sungguh itu satu-satunya pilihan masuk akal sekarang ini ketimbang tetap mempertahankan pandangan bahwa virus itu bisa hidup damai bahkan kekuatiran saya virus ini dianggap sebagai potensi yang bisa meningkatkan citra. Terbukti sekarang ini sudah ada diskusi bagaimana membuka tempat wisata dengan cara berdamai dengan virus. Petunjuk konyol yang membuat kita semua sebenarnya sedang menuju sebuah misi bunuh diri massal. Di samping cara seperti ini seperti membajak akal sehat juga kita diam-diam setuju dengan teori konspirasi.
Memahami virus sebagai produk jahat yang bisa diredakan dengan cara berkoalisi dengannya bukan memeranginya. Meyakini kalau virus itu memang tak bisa dimusnahkan maka satu satunya cara adalah menerima kehidupanya dalam hidup sehari-hari. Kemudian muncul istilah yang pemahamanya belum terang tapi sudah coba digagas: Herd Immunity. Membangun basis infeksi yang luas di masyarakat hingga penyakit ini akan berhenti menyebar karena mayoritas orang tidak akan rentan. Padahal menurut banyak pakar kesehatan Herd Immunity bisa dilakukan jika sudah ada vaksin yang ditemukan. Lagipula tanpa ada infrastruktur kesehatan yang memadai kita bisa kewalahan menangani pasien yang membludak jumlahnya. Corona benar-benar musuh nyata melebihi komunis, teroris apalagi anarkhis!
Mungkin kita belum tenggelam tapi virus itu telah merusak banyak harapan. Terutama harapan investasi, pertumbuhan ekonomi hingga pemindahan ibu kota. Semua ambisi itu mereda bahkan mungkin musti dikoreksi lagi. Tapi kita masih punya harapan pada publik yang saling membantu sesamanya, publik yang masih patuh pada perintah untuk di rumah saja dan publik yang mendengar apa kata para tenaga medis. Tugas pemerintah sebaiknya melindungi kepercayaan publik yang selama ini percaya kalau memerangi virus itu jauh lebih penting ketimbang menerima kehadirannya. Banyak sudah penduduk mati karena virus itu dan tenaga medis yang meninggal karena ikut melawanya. Ingatlah bapak Presiden:
Rakyat dulu bertarung satu sama lain untuk menempatkan anda ke tahta dan saatnya anda bertarung habis-habisan melawan virus Corona bukan malah berdamai apalagi menerima dengan maklum keberadaan virus yang terbukti merampas nyawa. (EP)