Oleh Nalar Naluri (Pegiat Social Movement Institute)
Judul Buku : Pangerang dari Timur
Penulis : Iksaka Banu & Kurnia Efendi
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, Februari 2020
Tebal : × + 594 hlm; 23,5 cm
***
Angin pagi, kepada si bijak dari Barat sampaikan ini:
Walaupun sayapnya luas membentang, kearifan masih terbelenggu.
Dapat cahaya dibikinya halus, namun yang sanggup menempa hati adalah Cinta.
(Muhammad Iqbal, “Pesan Kepada Barat”)
Kolonialisme memang menyimpan luka bagi setiap bangsa yang disinggahinya. Peperangan, perampasan, adu domba, eksploitasi adalah hal yang ajek kita temui. Namun apakah tidak ada barang setitik keuntungan yang bisa kita petik dari kolonialisme? Yuval Noah Hari dalam “Sapiens” telah membuat mata kita terperanjat cemas. Karena kolonialismelah sebuah bangsa mengimpor keyakinan agama, bahasa, pengetahuan, teknologi bahkan berbagai revolusi.
Mungkin karena barat (Eropa) sudah kadung terjerumus dalam stereotipnya yang busuk: kolonial. Meski tak semua negara Eropa gemar menjajah tapi sinisme terhadap dia kita kulum mentah-mentah. Dibabat rata. Lantas tak meninggalkan cerita menarik untuk direnungkan secara mendalam. Sebagaimana sosok “Pangeran dari Timur” yang ingin disodorkan Iksaka Banu dan Kurnia Efendi kepada sidang pembaca.
Raden Saleh yang menjadi titik pusat eksplorasi dari buku ini menjadi tokoh sentral yang semangatnya terpatri ke generasi seabad berikutnya: kepada Syam; Syafei; Ratna dan; Ho Pit Liong. Mereka semua adalah peletak batu pondasi awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Cita-cita sama yang membelit Raden Saleh. Tentu bukan hanya mereka. Kita tak akan mengesampingkan perjuangan kolektiv rakyat, simpatisan, tokoh, kaum muda, agamawan, solidaritas yang membayangkan komunitas terbebaskan. Sebagaimana Benedict Anderson menampiknya dalam “Imagine Community.”
Menariknya dalam buku ini, selain mengulas dan meneliti sejarah panjang Raden Saleh―yang konon telah menguras waktu 20 tahun lamanya Kurnia Efendi dan Iksaka Banu berjibaku jatuh bangun meriset, seolah menjadi catatan kontradiksi yang hidup di masing-masing keduanya. Mereka berdua (Kurnia dan Banu) seperti melukiskan kembali desain-desain interior jiwa pemberontakan halus Raden Saleh sekaligus perangai oportunismenya. Kelincahan dan kepiawaian mereka berdua mendesain cerita kiranya sudah terendus sejak lama ketika sama-sama mencercap ilmu desain grafis di institusi satu almamater.
Banu membuka bab pendahuluannya―berlatar gegap gempita perayaan malam tahun baru. Muda-mudi anak moderen Bandung tahun 1924 yang kelak beberapa di antara mereka menjadi martir kemerdekaan Indonesia. Kurnia menyusulnya pada bab “Titik Awal” periode 1820: ketika itu sorot mata Raden Saleh yang masih polos dilukiskan gelisah, tiba di pelataran Administratiekantoor van’s Lands Plantetuin Buitenzorg. Raden Saleh menunggu-nunggu dengan perasaan gamang. Keputusan meninggalkan negeri timur (Hindia Belanda) kemudian dilarung ke barat (Eropa) adalah pilihan yang serius menantinya di ujung tubir pintu para cendikiawan pemerintah Hindia Belanda.
Kecerdasan Raden Saleh memang sudah diketahui oleh kerabat dekatnya Kanjeng Paman Bupati Terbaya yang juga merupakan keluarga dekat Pangeran Diponegoro, ratu adil, panatagama, revolusioner Perang Jawa yang tersohor itu. Sarip, panggilan Raden Saleh lainya, pandai sekali menggambar manusia, hewan dan tetumbuhan. Pamanya Bupati Terbaya memperkenalkan kemenakanya kepada Baron van der Capellen bersama Profesor Carl Reindwart. Hingga akhirnya mempermudah Sarip berkelana ke Eropa untuk mendalami ilmu seni lukisnya.
Setibanya di Belanda, Sarip menyusuri setiap sudut kota, bergumul dengan hiruk pikuk, bermukim di ‘s Gravenhage dan kemudian memilih belajar di sekolah lukis milik Cornelis Kruseman di Prinsegracht. Studio lukis ini berada di tepi kanal dengan deretan pepohonan rindang. Sarip banyak membantu Kruseman (gurunya) menyelesaikan lukisan wajah para bangsawan, jendral dan pahlawan. Di studio ini juga Raden Saleh berjumpa pertama kali dengan Hendrik Merkus de Kock. Jendral de Kock (bagi pemerintah Belanda) adalah pahlawan kebanggaan, tapi sinar mata Raden Saleh mengingatnya sebagai pembunuh. Dia orang licik, menjerat Pangeran Diponegoro untuk dilucuti. Perang Jawa mulia diredup redamkan olehnya. Dicederai kesuciannya. Karena alasan inilah Raden Saleh disetujui pemerintah Hindia Belanda studi seni ke Eropa. Semata-mata memutus mata rantai ideologi pemberontakan. Karena bibit kecerdasan, intelektual, perlawanan, seperti menurun secara genetik dari kerabatnya. Pemerintah Hindia Belanda khawatir jika tak segera diungsikan ke Eropa, Sarip kecil akan tumbuh menjadi duri bagi kepentingan mereka.
Kebesaran Raden Saleh berdenyut kencang di jantung Eropa. Di Dresden, dia diperkenankan Pangeran Adipati Ernst II, melukis lebih banyak lagi setelah pangeran tersebut terpukau oleh lukisan romantisme yang menggemparkan perhatian Eropa, ‘Penunggang Kuda Arab Diterkam Singa.’ Dia disambut Raja Saxon dan sebagian besar Pangeran dari konfederasi Jerman. Dia berhubungan erat dengan Pangeran Adipati Sache-Cobourg-Gotha. Namun tidak demikian ketika dirinya kembali ke tanah air. Kesepian akut menderanya. Kesohoranya disapu angin tropis khatulistiwa yang tragik. Kolonial Belanda masih menganggap rendah kedudukannya. Meski sanjungan menyundul langit ia peroleh di negeri barat sebagai “Pangeran dari Timur”―ia tetap melatah menuruti aturan pemerintah penjajah sebagai kelas bawah. Bahkan, maaf. Derajatnya disetarakan dengan monyet.
Cobaan serasa bertalu turun. Berbagai tuduhan menghujam. Perilaku di luar batas kesopanan Agen Van Sprew dan Residen Hendrik Jeronimus Christiaan Hoogeveen membuat suasana hati Sarip tak menentu. Kesehatannya semakin menurun. Ia dituduh sebagai dalang kerusuhan di Bekasi sekitar Batavia. Trah pemberontak disangkut pautkan ke dirinya karena menetes dari pamannya Pangeran Terbaya hingga kerabatnya Pangeran Diponegoro. Meski terbukti tidak benar, perlakuan kasar tak terhormat menimpa keluarganya dan istrinya Raden Ayu Danudireja yang juga keturunan ningrat Kraton Yogyakarta. Seolah mencari penghiburan hati yang kini sudah beranjak tua dan sakit-sakitan, Sarip menghadap orang nomor satu di Hindia Belanda, Gubernur Jendral Johan Wilhelm van Lansberge. Raden Saleh mengajukan hibah agar bisa melancong ke Eropa dengan alasan memenuhi undangan Adipati Agung Saxen-Coburg-Gotha. Pemerintah Hindia Timur mengabulkan permintaanya dan menyanggupi membiayayai separuh akomodasinya. Selebihnya Raden Saleh menjual semua asetnya: kereta, kuda, tanah dan lukisannya. Akhirnya rombongan itu berangkat terdiri dari: Raden Saleh, Raden Ayu, Sarinah (anak angkat), serta dua orang wanita pelayan rumah tangga.
Tak begitu lama mereka menikmati Eropa, kemudian akhirnya memilih pulang dengan keadaan yang semakin memburuk. Eropa, saat mereka tiba sekeluarga, sudah bergerak cepat dengan aliran impresionisme. Keahlian romantisme Raden Saleh, menjadi kuno di hadapan masyarakat seni. Aliran seni kini beralih kiblat. Tak terkecuali dengan pangeran-pangeran besar yang ia kenali. Dalam kemurungan itu Raden Ayu menderita kanker usus kronis. Terdiagnosa ketika mereka telah merencanakan pulang kembali ke tanah Jawa.
Di titik akhir, ketika Raden Saleh sekeluarga telah pulang di tanah Jawa, keadaan tidak semakin indah. Kwasi Boakye, seorang pangeran Ashanti Afrika yang telah diadopsi sejak kecil oleh Belanda, kini bertugas sebagai bawahan setia Gubernur Jendral Hindia Belanda―melaporkan dengan kenangan berkesan. Ingatanya pesiar ke masa kecil umur 9 tahun, ketika itu ia berusaha duduk dengan tenang, kemudian gemulai lincah kuas-kuas dari tangan Raden Saleh menjilati kanvas, membentuk wajah bocah pangeran kulit hitam yang polos. Boakye melaporkan perkembangan terakhir Raden Saleh yang khawatir terhadap dua orang berbahaya. Pertama adalah Hoofd Demang Buitenzorg, Raden Aria Mangkuwijaya. Dan, salah seorang jongos yang pernah mencuri lukisannya.
Hingga kemudian Jumat, 23 April 1880 “Pangeran dari Timur” Saleh Syarief Bustaman, cahaya terang dunia kesenian Hindia Timur, menghembuskan nafas terakhir di Buitenzorg. Sebelum detik-detik kematiannya, Raden Saleh sempat curiga merasakan semua gejala di sekujur tubuhnya seperti ada memasukan racun dalam dosis besar ke sarapannya. Banyak orang mengiringi jenazahnya. Pejabat, ambtenaar, Kanjeng Tuan Asisten Residen, Tuan Boetmy, tuan tanah, haji-haji, perkumpulan Islam, orang-orang Jawa hingga pelajar Jawa dari Landbouwschool. Empat bulan berselang, istrinya Raden Ayu menyusul. Mereka dikubur berdampingan.
Perdebatan tentang peran Raden Saleh Syarif Bustaman, dalam berbagai sumbangsihnya pada bangsa, kesenian dan, petualanagnya selama di Eropa, hingga detik ini masih begitu hangat untuk didiskusikan. Ikhwal layak apa tidaknya dia dijadikan pahlawan dari kalangan ningrat, saya rasa akan begitu kering untuk dipergunjingkan. Sosok personalnya begitu kosmopolit. Sulit bagi kita untuk tidak mengakui sisi asketiknya. Poliglot ini sudah melawan penjajahan narasi tunggal Belanda melalui lukisannya, “Penangkapan Dipanegara 1857.” Lukisan itu adalah cerita riak kelicikkan Hendrick Merkus de Kock―yang menundukan Diponegoro alih-alih mengkihianati perundingan gencatan senjata.
Raden Saleh adalah orang paling gemas melihat olok-olokan rasialisme. Karena itu dia pernah menjalin cinta dengan beberapa perempuan kulit putih. Baik dari kalangan ekpatriat, maupun perempuan kelas menengah. Contancia Winckelhaagen janda kaya berkebangsaan Jerman dan Jonghe van de Velde gadis blonde Belanda, adalah perempuan yang pernah singgah di hatinya. Meskipun semuanya berakhir kecut.
Raden Saleh adalah kolektor sejarah, pengagum keindahan, tragedi, horror, ketegangan, kekacauan, kebuasan hidup, yang semuanya tertuang dalam warna tebal, berlapis-lapis, berani, kontras gelap-terang, hingga mengerucut bagai piramida. Sebagaimana warna aliran romantisme itu sendiri dan tarekat Vrijmetselarij yang menyertainya. Romantisme adalah melawan ugal-ugallan Revolusi Industri dan kemapanan. Ya, hidupnya memang esentrik, karena itu gaya bohemian pernah diresapinya sewaktu studi seni di negeri Belanda.
Lepas dari sisi perlawananya, Raden Saleh juga tak menolak berbagai penghargaan kerajaan Belanda atas kesempatanya menimba ilmu seni lukis, menjadi pelukis istana dan tahta kesohoranya di dunia seni lukis romantisme. Raden Saleh merupakan pelopor seni lukis modern Indonesia. Dengan goresan romantisme yang ia pelajari di Eropa, menjadikan dirinya murid tauladan, penuh bakat, beprestasi dan kelak menjadi orang besar. Kemampuan dan anugerah yang ia sandang membuatnya berkesempatan bergaul dengan pangeran-pangeran Eropa, sastrawan besar, musisi populer dan maestro seni lukis dunia.
Patriotisme dan oportunisme Sarip bercampur dalam adonan cat minyak, menyapu kanvas remang-remang hidupnya. Hal itulah menjadi inti perdebatan antara Syam dan Syafei―merebut hati seorang gadis manis, Ratna Juwita Van Geelman, yang penasaran pada sosok Raden Saleh. Syam boleh saja terampil dalam menjelaskan pengetahuan lukis. Punya wawasan luas aliran seni romantisme―yang kemudian membuat hati Ratna meluber bagai lava pijar. Karena peran Syam jugalah sosok Raden Saleh dikenal baik oleh Ratna. Tapi Syafei adalah redaktur koran progresif Tjermin Priangan hadir di tengah-tengah mereka dengan gaya amboi. Sedikit berandal, nakal, kritis, berani, bernyali molotov, pintar, tergabung dalam perkumpulan “kiri” membuat cinta Ratna melekat abadi padanya. Meski Syam telah menjadi volksraad dan menikahi Ratna, tapi cinta Ratna kepada Syafei tak lekas membusuk, sekalipun Syafei berada dalam pembuangan di Boven Digul. Tanah Merah. Tempat pengasingan kaum intelektual. Pemberontak radikal kiri bersemayam.
Novel sejarah panjang ini seperti mencari kembali “Pangeran dari Timur.” Terselamatkan gelora cinta Syam, Sayafei, Pit Liong dan Ratna―yang ditulis oleh Iksaka Banu. Syam adalah bos arsitek yang mempekerjakan Syafeei. Syam sendiri mempunyai banyak teman dari kalangan atas. Seleranya pun borjuis. Mencintai Ratna sampai mati. Sedangkan Syafei adalah anggota PKI. Anak muda dengan amarah revolusi meloncat-loncat. Tapi, Ratna suka dengan gaya brandal, tanpa tedeng aling-aling, macam Syafei.
Berbeda dengan dua pemuda intelektual macam Syam dan Syafei. Ho Pit Liong, keturunan imigran Kanton, adalah golongan kelas bawah. Proletar yang menjadi pesuruh, penghubung dan pemegang prinsip. Karena cinta adalah manifestasi kebebasan, setiap orang menyukainya. Merasukinya. Tak terkecuali Pit Liong. Dia orang kecil berada di ladang perang dingin perebutan cinta. Dia penikmat bait-bait sajak Emily Dickinson, kemudian jatuh cinta kepada Ratna. Wanita yang telah menjadi istri Syam. Wanita yang cinta abadinya hanya untuk Syafei. Bagi Pit, tak ada seorang pun bisa melunturkan cintanya. Alegori dan metafora Emily Dickinson terpahat dalam ke dasar hati Pit. Membuat lakunya lebih menonjol ketimbang bulir-bulir busa orasi Syafei maupun koleksi gagasan Syam. Modal cinta Pit adalah aksi. Bukan diskusi. Dia tak pandai diskusi tapi mampu menerapkan bagaimana sebenarnya manusia bertanggung jawab atas cintanya. Hal itu membuat Pit tak hanya pantas menyandang gelar pangeran cinta, tapi juga berhak atas serpihan “Pangeran dari Timur”.
Membaca novel ini cukup meletihkan mata. Menguras kesabaran. Gaya menuturnya dengan latar selang-seling. Satu bab berbicara tentang kehidupan Raden Saleh, bab berikutnya bicara mengenai tingkah laku muda-mudi gila: Syam, Syafei, Ratna dan Pit. Begitu seterusnya hingga tamat. Waktu, tempat, tanggal, nama, tercatat detail berhamburan bagai pasir dalam ayakan. Meski ceritanya telah dipilah, namun masih berat dan banyak menggunung informasi dari napak tilas Kurnia Efendi―menjelajahi Raden Saleh. Kolaborasi mereka jauh dari kata seimbang. Tapi memang bukan itu barangkali yang mereka inginkan. Mereka saling menambal kebocoran akibat penuhnya daya tampung informasi puluhan tahun menelusuri Raden Saleh. Bobot sejarah lebih membebani penulisan Kurnia, sedang Banu mengisinya dengan plot yang cair.
Di dalam lapisan masayarakat kita hari-hari ini, sangat mudah menjumpai seorang pengusaha menyandang anggota partai, terkadang pemilik partai. Beberapa maju pilkada kemudian memenangkannya. Atau, kerabatanya masuk struktur pemerintahan pusat. Selain memerintah, mereka adalah pemilik tanah luas, disematkan gelar adat dan dipuja orang banyak. Mereka juga terdiri dari kombinasi agamawan, pebisnis, birokrat, purnawirawan militer, pemegang saham media dan tokoh nasional. Kedudukannya mengingatkan kita pada zaman feodalisme: Tunas-tunas pangeran.
Tetapi Diponegoro, Raden Saleh, maupun Pit Liong adalah terdiri dari lapisan berbeda. Mereka pangeran pengembara abadi, menyusuri jalan sunyi sendiri-sendiri. Teralienasi. Melawan. Dan dikenang.
Melalui novel tebal 594 halaman ini, kita akan disuguhkan setetes makna pangeran sejati. Deretan perjalanan panjang pangeran. Dari alunan sejarah, perjuangan, keberpihakan, petualangan, hingga pengorbanan berbuah kemerdekaan. Sungguhkah pangeran hanya milik bangsawan semata?