Kau tak bisa mempelajari kegelapan kalau kau membanjirinya dengan cahaya (Edward Abbey)
***
Kabar tak enak muncul di Universitas Islam Indonesia (UII). Tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu anak muda. Seorang yang populer yang wajahnya terpampang sebagai mahasiswa terbaik. Korbanya banyak dan kini beritanya kemana-mana. Ajaib sekali kampus sampai tak mencium gelagat culas pada oknum yang selalu memberi ceramah agama. Gejolak mulai muncul disana-sini dan tekanan terjadi ketika kasus ini akan dibuka ke publik. Kampus yang selalu mengkampanyekan moral itu seperti ditampar oleh tanganya sendiri.
Tak hanya UII tapi kampus lain juga mengalami kasus sama. Pelecehan seksual yang sering diselesaikan dengan cara sederhana: melokalisir masalah, membawa para pihak untuk berdamai dan mengubur masalah itu selama-lamanya. Begitu pula kasus lain seperti plagiat hingga tuduhan keterlibatan kampus dalam proyek pengrusakan lingkungan. Kampus dicemari oleh tindakan oknumnya yang mengatas-namakan pengetahuan untuk perbuatan yang merugikan kepentingan rakyat. Maka wajar jika muncul pertanyaan apa peran kampus hari ini?
Saat kuliah tatap muka tak ada sama sekali. Padahal kampus dulu secara ketat membangun tradisi absensi. Kehadiran di ruang kuliah jadi prasyarat utama sehingga absensi dijalankan melebihi sekolah SD pada umumnya. Percaya sekali kampus dengan keyakinan kalau kehadiran di ruang kuliah adalah syarat utama memperoleh pengetahuan bahkan keberhasilan. Kini semua itu menguap karena Corona. Kuliah tatap muka diganti dengan sistem on line yang mahasiswa bisa berpenampilan sesukanya, bisa sambil apa saja bahkan dapat berbarengan dengan kegiatan apapun.
Begitu pula gedung megah yang dibangun kampus dengan biaya luar biasa kini kosong tak ada penghuninya. Lapangan parkir yang luas, ruangan kuliah yang dipercantik bahkan kantin yang telah disulap seperti arena bola kini tak berfungsi sama sekali. Proyek infratsruktur kampus yang selama ini jadi bahan promosi tak bisa digunakan sama sekali. Malah kampus harus dipaksa membiayai perawatan yang pasti biayanya tidaklah kecil. Ibaratnya kita seperti menanam investasi yang sia-sia karena virus Corona yang pasti bermutasi terus-terusan akan menghajar keyakinan kita pada bangunan kampus yang kita percantik begitu rupa.
Terutama keyakinan kita pada gelar yang dipuja-puja. Bayangkan sejak lama kampus telah meletakkan orientasi komersial dengan cara membabi buta: menetapkan tarif pembiayaan sesukanya, menempatkan fakultas tertentu dalam taraf biaya yang mahal sekali hingga terus mendorong orientasi pasar sebagai tujuan utamanya. Akibatnya terasa sekarang ini: jumlah tenaga medis yang terbatas karena memang biaya masuk Kedokteran tinggi sekali, ketergantungan pada alat medis dari luar karena memang kampus tidak didorong untuk mengambil prakarsa membuat alat sendiri hingga validasi bantuan untuk orang miskin yang kacau balau karena kampus memang tak dilibatkan sama sekali.
Terlalu lama kampus merasa yakin benar dengan peranya selama ini. Menjadi mitra penguasa maupun pengusaha sehingga lebih memilih untuk mempersempit ruang kebebasan akademik hingga orientasi pasar yang membuat kampus memperlakukan pembiayaan berdasarkan atas kasta sosial. Itulah yang dinamai dengan UKT hari-hari ini. Bahkan kampus yakin sekali dengan pembangunan gedung megah akan mampu menampung mahasiswa sebanyak-banyaknya. Malah ada PTS yang mendirikan gedung khusus untuk ruang pendaftaran mahasiswa baru. Kelihatan percaya diri, arogan dan yakin kalau keadaan tak berubah sama sekali.
Kini Corona setidaknya membuat Kampus belajar bahwa keyakinanya selama ini perlu dikoreksi. Pengetahuan yang jadi komoditasnya kini ditantang untuk terlibat dalam pengatasan epidemi ini. Mampukah kampus mengambil peran progresif di saat masyarakat sipil bergerak dengan semangat saling membantu dan pemerintah yang tampaknya kedodoran dalam menyelesaikan masalahnya. Bisakah kampus melalui pengetahuanya membantu masyarakat menjalani situasi hari-hari ini dengan lebih optimis, sabar dan percaya diri. Sanggupkah kampus ikut memecahkan persoalan kesehatan, ekonomi, kebudayaan hingga politik terutama akibat efek dari Corona. Buah pikiran apa yang mampu ditelurkan oleh kampus yang jumlahnya banyak dalam mengatasi bencana kemanusiaan yang luar biasa ini?
Pertanyaan ini pantas dijawab untuk memastikan bahwa kampus punya sumbangan terutama untuk masyarakat yang terdampak. Kalau hanya kuliah on line saja kampus seperti hidup dalam dunia rutinitas yang merasa keadaan seperti sedang berjalan normal. Jika hanya memberi discount pulsa itu seperti perusahaan telekomunikasi yang mengservis pelanggan. Apalagi jika tetap memberlakukan pembayaran UKT seperti biasanya kampus seperti tak tahu diri sama sekali. Bukan mengurangi beban masyarakat malah menambah beban yang sudah ada. Kini waktunya memang kampus bertanya apa yang bisa dilakukanya hari ini?
Corona tak hanya membasmi nyawa tapi juga pekerjaan dan harapan. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sekaligus harapan untuk merawat hidup yang lebih baik. Setidaknya sebagai gudang pengetahuan dengan orang pintar di dalamnya kampus bisa memberi pandangan pada situasi ini. Minimal memberi keyakinan pada rakyat bahwa keadaan sesulit apapun bisa diatasi dengan pengalaman yang sudah terjadi. Atau memberi bantuan pengetahuan pada pemerintah bagaimana memberi bantuan yang efektif, data akurat hingga sasaran yang tepat. Sebab soal corona ini memanjang kemana-mana: mulai tenaga medisnya hingga dampak sosialnya.
Lebih jauh bisa memberi prediksi tatanan sosial apa yang akan terbentuk pasca Corona. Bisakah kita mempertahankan orientasi pembangunan yang memuja pertumbuhan ekonomi sekaligus membuka diri pada investasi sebagai solusi? Teruskah kita menjadi negara yang tergantung segalanya pada negara luar dengan belajar dari kekacauan kita dalam tangani corona? bahkan bagaimana wajah interaksi sosial masyarakat yang selama pendemi mudah curiga dan berjarak pada siapa saja? Bagaimana mempertahankan kepercayaan sosial pasca pendemi ini? jawaban semuanya itu biasa diantarkan oleh kampus melalui berbagai cara yang bisa membantu dalam pengatasan epidemi ini.
Memang pukulan virus sangat keras pada dunia pendidikan. Tapi sebagai Perguruan Tinggi yang punya mandat sebagai kekuatan perubahan maka peranya mustahil hanya sekedar bagi masker atau sanitizer semata. Saatnya masyarakat ditunjukkan bahwa kampus layak mendapat penghormatan karena sumbanganya pada masyarakat di era krisis sosial yang keji ini. Begitu pula pemerintah waktunya melibatkan kampus untuk menangani krisis sosial yang pasti akan meledak begitu cepat. Bagi para akademisi yang kini duduk di jabatan publik waktunya anda menunjukkan sikap sebagai seorang yang memiliki pengetahuan bukan lagi politisi.
Corona menyadarkan kita semua bahwa pendidikan urusanya bukan sekedar pembangunan apalagi pasar kerja tapi juga perlindungan pada yang lemah, keberpihakan pada yang tak berdaya hingga pemecahan masalah kemanusiaan yang jadi resikonya. Jika itu tak mampu dilakukan oleh kampus maka waktunya kita sudahi saja kepercayaan pada perguruan tinggi: berdiri tanpa peran sosial yang berarti dan tumbuh tanpa sikap keberpihakan yang jelas. Waktunya kampus memberi jawaban dengan langkah nyata! (EP)