Corona, Demokrasi dan Aparat

Kebebasan tak lain hanyalah bayangan hampa bila suatu kelas manusia bisa melaparkan kelas yang lain dengan leluasa (Jacques Roux)

***

Poster itu menampilkan gambar yang sangar: Satpol PP bersedekap sambil memakai masker. Tulisan di poster itu jelas:

Siapa yang tak pakai masker, berkerumun lebih dari 10 orang dan tidak menerapkan physical distancing untuk Hubungi Kami..!!!

Tanda seru ini persis jumlahnya sebagaimana di poster. Artinya tugas Satpol PP berhak memperingatkan orang yang melanggar itu semua. Wewenangnya bukan lagi penertiban PKL tapi siapa saja.

Urusan aparat keamanan kini bukan hanya kejahatan tapi lalu lintas orang. Keyakinan yang terus didengungkan untuk melawan Corona dengan cara penerapan disiplin. Presiden bahkan mengatakan itu berulang-ulang.  Tapi disiplin dianggap sebagai hal mustahil dilakukan oleh masyarakat. Stigma palsu yang minim bukti bahkan lebih tepatnya disiplin memang bukan budaya elite. Korupsi contoh paling gamblang bagaimana elite membangkang isi konstitusi bahkan sengaja menyalah-gunakan wewenang. Disiplin bukan budaya yang dipatuhi, dihormati apalagi diterapkan.

Tapi paling mudah menyalahkan rakyat. Tidak disiplin, nekat mudik dan mengancam keamanan. Rakyat lebih gampang untuk dijadikan tersangka kisruh corona: tidak mau diisolasi, ingin selalu buat keramaian hingga tidak taat pakai masker. Maka dibutuhkan segala sanksi untuk membuat rakyat mematuhi semua yang diinginkan oleh pemerintah. Mandat untuk menegakkan disiplin rakyat itu tak ada lain kecuali dengan mengoptimalkan peran aparat keamanan serta aparat lainnya.

Pelibatan aparat itu bisa dari institusi mana saja: TNI, Polisi hingga Satpol PP. Aparat keamanan yang memang punya reputasi untuk membatasi kebebasan itu sangat terlatih. Di masa pagebluk 65 aparat dengan dibantu oleh milisi membunuhi rakyat yang kena tuduh PKI. Holacaust yang mengguncang dunia itu hingga sekarang tak diadili. Disusul oleh kebijakan penembakan misterius hingga berujung pada penghilangan paksa sejumlah aktivis mahasiswa. Semua pelanggaran HAM yang banyak melibatkan aparat itu tak pernah diusut.

Kini aparat yang sama melakukan tugas serupa: mengawasi rakyat untuk patuh pada protokol kesehatan. Bahkan ada Walikota yang memberi aparat pentungan segala. Mungkin kagum setelah menyaksikan video viral di India dimana aparat memukuli rakyatnya sendiri. Rasanya senang melihat rakyat patuh dengan pukulan. Meski itu menganggap rakyat sama dengan binatang. Sama-sama harus dipukul untuk patuh. Fungsi aparat lebih serupa dengan peran di masa kediktatoran: mengawasi rakyat terus-terusan.

Bahkan lebih buruk lagi karena aparat berhak membubarkan apa saja yang dikuatirkan bisa berakibat buruk bagi kesehatan. Pernah terlihat seorang aparat marah-marah pada panitia hajatan. Begitu pula aparat dibantu oleh massa membubarkan kegiatan rapat bantuan pangan. Tentu yang paling baru aparat menangkap anak-anak muda yang dianggap biang kerusuhan. Tanpa definisi yang jelas aparat kini bisa melakukan apa saja pada rakyatnya. Ingat hanya pada rakyat!

Aparat tak berani menghentikan rapat parlemen yang membahas RUU bermasalah. Padahal itulah RUU yang menimbulkan keresahan sosial bahkan bisa memicu kemarahan banyak lapisan masyarakat. Aparat tak berani menangkap menteri kesehatan yang pada awalnya meremehkan virus corona. Sikap yang membawa akibat tingginya jumlah nyawa yang tewas bahkan mendorong masyarakat mengabaikan banyak protokol kesehatan. Aparat mustahil berani menangkap kepala daerah yang menyuruh masyarakat untuk meramaikan masjid meski itu saran yang berbahaya pada masa corona ini.

Aparat tak mungkin menangkap menteri yang punya kebijakan konyol bebaskan napi. Pembebasan yang malah menimbulkan pekerjaan berat bagi aparat keamanan sendiri. Napi yang tanpa pekerjaan di tengah situasi krisis malah akan menimbulkan gangguan keamanan baru. Sama halnya aparat sulit untuk menangkap peretas WA aktivis atau mengusut biang keladi penyebar hoax penjarahan. Khusus soal semacam ini aparat lebih baik bersikap tak peduli.

Aparat memang jinak terhadap lapisan elite yang seringkali tidak berdisplin. Bahkan tak memberikan tauladan dalam hal kedisplinan. Saya menyaksikan bagaimana aparat memperingatkan relawan tanpa memakai masker sama sekali. Malahan ada pimpinan aparat yang menggelar pesta pernikahan mewah di saat Corona. Kenyataan itu gampang dipahami karena mereka bagian dari elite. Kasta yang diberi mandat untuk mendukung semua tindakan dan keputusan politik apa saja. Keputusan konyol sekalipun.

Mustahil memintanya untuk bersikap adil apalagi menghormati demokrasi. Jikalau ada itu karena pribadi mulia dari para pimpinanya. Seperti saat Kepolisian dipimpin oleh pria jujur bernama pak Hoegeng atau kejaksaan saat dipimpin oleh Baharuddin Loppa. Figur yang berani, adil dan kharismatik itu muncul bukan karena desain organisasi tapi fitrah orang itulah yang baik. Ditempa oleh pengalaman, dilatih oleh pendidikan dan diyakinkan dengan bunyi konstitusi mereka tampil seperti UU yang berjalan. Kini situasinya jauh berbeda.

Melihat indeks ketidak percayaan publik maka parlemen dan aparat masih menduduki posisi yang tak dipercaya. Bukan hanya ketidak-percayaan pada aparat melainkan juga kemampuan pemerintah untuk melindungi tenaga medis. Singkatnya rakyat yang mulai kritis kian yakin kalau pemerintah tak bisa diandalkan sepenuhnya untuk menangani krisis ini. Banyak kemudian masyarakat mengambil inisiatif duluan untuk membantu mereka yang mengalami derita karena corona.

Sebenarnya: tugas pemerintah-dalam situasi sekarang- sangat dibantu oleh gelombang relawan masyarakat sipil. Tanpa bantuan mereka sulit dibayangkan situasi chaos yang bisa terjadi. Skenarionya saja sudah buruk: PHK massal, membludaknya penganggur dan pasien hingga kelangkaan pangan. Jujur jika keadaan ini berlangsung lama dan tanpa kepastian kita mungkin akan menyaksikan gelombang besar gangguan keamanan. Disini jumlah aparat yang tak banyak dengan mandat yang beragam sulit untuk mengatasi gelombang kekacauan yang bisa muncul setiap saat.

Satu satunya cara yang masuk akal adalah melibatkan gerakan rakyat yang sudah membantu dalam situasi epidemi saat ini. Bukan melalui pembentukan milisi tapi memberi peran yang lebih leluasa untuk turut membantu mengatasi krisis. Libatkan para relawan dalam penyusunan aksi tanggap darurat terutama dalam mengatasi berbagai krisis sosial kemanusiaan. Intervensi melalui bantuan atau pelatihan yang menghabiskan dana raksasa bisa tidak efektif ketika salah membaca kebutuhan apalagi dengan data yang simpang siur. Krisis sekarang ini sekali lagi mustahil pemerintah atasi sendiri apalagi dengan cara yang dianggap benar sendiri.

Waktunya pemerintah meraih dukungan rakyat tidak melalui bantuan semata tapi libatkan gerakan rakyat. Jangan lagi bekerja seperti wakil rakyat yang bertindak tanpa sepengetahuan rakyat dan membahas RUU yang secara terang benderang melukai keadilan rakyat. Hanya melalui dukungan pada gerakan rakyat, melibatkan peran mereka dan menerima kritik kita bisa mengatasi krisis ini dengan lebih baik. Setidaknya krisis ini tidak memakan kepercayaan rakyat apalagi membakar harapan mereka. Tapi saya tahu tulisan ini hanya sebuah pengandaian  yang sejatinya sulit untuk diaplikasikan!! (EP)

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0