Jacques Ranciere (terjemahan artike L’essence de l’Etat contemporain, diambil dari https://legrandcontinent.eu/fr/2020/03/10/la-crainte-et-lessence-de-letat/ diunduh tanggal 23 Maret 2020)
Alih bahasa: Maria AdrianiE
Catatan editorial Le Grand Continent.eu:
Filsuf Perancis, Jacques Ranciere mencatat penanda-penanda krusial bertransformasinya negara kontemporer; yaitu dengan mengeksploitasi rasa ketidak-amanan pada setting logika global, melalui penggunaan hal-hal yang justru kontradiktif yang dikaitkan dalam susunan yang tidak lumrah.
Pada 29 Februari 2020, pemerintah Perancis akhirnya menetapkan reformasi pemotongan anggaran negara untuk jaminan kesehatan dan pensiunan, dengan persetujuan 49,3% dari Majelis. Walaupun, usulan reformasi tersebut sempat menimbulkan protes sosial terbesar dalam lima puluh tahun terakhir, belum lama lalu (Desember 2019). Di hari yang sama, pemerintah secara perdana mengumumkan ketentuan penanganan coronavirus, yaitu dengan larangan berkumpul dan pembatasan mobilitas bagi yang teridentifikasi. Kedua hal yang seolah-olah bertolak-belakang ini menempatkan warga dalam posisi yang paling rentan. Hal ini aneh jika kebetulan belaka. Walaupun, memang, virus tersebut tiba-tiba muncul, tetapi ia digunakan untuk mengenalkan konsep tentang hubungan negara dan warga negara, yang mungkin tampak saling bertentangan.
Oleh karena itu, alangkah bijaksana jika kita bersama menengok kembali kronik yang disampaikan oleh Jacques Ranciere pada musim panas tahun 2003, ketika saat gelombang panas melanda Perancis dan menimbulkan korban para lansia yang tidak sedikit, yang pada saat yang sama mereka juga dihadapkan pada reformasi anggaran jaminan kesehatan dan pensiun disisi yang lain. Penulis (Jacques Ranciere) telah berbaik hati memperkenankan kami untuk menuliskannya kembali, dengan syarat untuk tidak memperlakukannya sebagai nabi.
Negara dan Gelombang Panas
Saat kita bertahan menghadapi gelombang panas, pemerintah kita (Perancis) mengakui secara implisit bahwa ia tidak berkuasa mengendalikan panas dan dingin, termasuk juga mengakui tidak mempunyai daya untuk memprediksi seberapa jauh gelombang panas ini berefek pada mereka, kehidupan sesama, dan bernegara.
Mungkin terlihat seperti sebuah refleksi yang tulus, tetapi, pemerintah yang sama, di saat yang sama, merencanakan sesuatu yang tampaknya berlawanan. Yaitu, sebuah affair besar; pengurangan anggaran untuk jaminan warga dalam pekerjaan, upah, pensiun, dan kesehatan. Hal ini muncul seolah-olah wajar, bersama merebaknya wacana tentang semangat moral kebaikan; yang sebenarnya meletakkan resiko pada individu-individu, dan bertentangan dengan kewajiban negara terhadap warga; sebagai pelindung.
Pada keadaan yang demikian, perkenankan kami menakar kontra-efek yang mungkin terjadi: saat ketika negara harus memutuskan mengurangi anggaran kesehatan, dengan alasan bahwa kesehatan berhubungan langsung dengan cara hidup (individu), termasuk didalamnya durasi dan perlindungan kesehatan dari wabah yang mengancam. Ini bukannya sebuah kontradiksi yang tidak disengaja, melainkan justru masuk akal ketika dilihat dari logika global. Apa yang dipertaruhkan pada reformasi tersebut, dengan bagaimanapun kita menyebutnya, sebenarnya bukan tentang perbaikan atau glorifikasi heroik moralitas individual melawan negara-yang-kebangetan. Melainkan, perubahan sistem horisontal dan asosiatif atas solidaritas sosial yang masuk ke dalam ranah individu-individu, yang sebenarnya menggantikan hubungan vertikal warga dan negara yang seharusnya melindungi.
Lalu, negara melindungi kita dari apa dong? Jawabnya sederhana: ketidak-amanan. Kita ingin mengundurkan diri dari dunia yang gagal dan keji seperti yang kita saksikan di tiap-tiap kota dan institusi. Tetapi, ketidak-amanan tidak pernah diidentifikasi, khususnya ketika terkait dengan fenomena-fenomena yang lebih tampak. Ketidak-amanan adalah sesuatu yang bergerak, menular, mengantui, meneror kita, hingga tak terhitung banyaknya. (Bukankah) presiden kita dipilih sebagian orang untuk memecahkan soalan ketidak-amanan di pinggiran kota dan melindungi kita dari ancaman kelompok kanan-radikal (?). Dan bagaimana ia menyelesaikan hantu (ketidak-amanan) tersebut, nyatanya, tidak ada seorang-pun menggugatnya. Disisi lain, justru lebih sering kita menanyai pemerintah, bilakah mereka telah melakukan segala daya yang mungkin untuk memperpanjang harapan hidup kita.
Dengan lagu lama tentang perhitungan dan resiko ini-itu, apa yang sebenarnya terjadi adalah fakta menguatnya relasi-relasi antar individu, daripada negara yang melindungi kita dari bahaya dari [yang biasa dituduhkan –(dalam kasus Perancis)] terorisme Islam[1]. Ini seperti halnya panas versus dingin. Semacam ini berarti pula, pada era sekarang, ketakutan-lah yang mengikat hubungan warga (individu) dan negara.
Karena itu, mungkin baik pula jika kita mengevaluasi kembali apa yang telah kita pahami, alami sejauh ini. Selama ini kita memahami negara kontemporer sebagai negara yang kekuasaannya semakin transparan, sejalan dengan semakin menguatnya arus komunikasi dan perdagangan (global[2]). Kita, bisa jadi berada dalam era konsensus-otomatis; yaitu ketika penyesuaian-penyesuaian diantara kelompok-kelompok akan kuasa tertentu dengan individu-individu yang menginginkan kenyamanan dalam suasana masyarakat demokratis.
Tetapi, sekarang, misalnya dengan merujuk pada invasi Amerika (tahun 2003, terhadap Irak), lagu lama propaganda bohong tentang Ajaran dan kejayaan bendera[3], sebenarnya menyibak kebenaran yang membuat risih: negara-konsensus bukan lagi utuh; ia bukan lagi negara manajer dalam bentuknya yang sederhana (birokrasi). Ia adalah negara yang direduksi sampai kepada esensinya; yaitu negara-tukang pukul[4]. Komunitas yang menyokong dan membentuk negara semacam ini adalah komunitas yang dipenuhi ketakutan, kecemasan.
Permasalahannya, negara mengenali atau lebih tepatnya menduga bahwa melindungi warganya akan berujung sia-sia belaka. Justru dengan tidak melindungi warganya, negara membuktikan kapabilitas kuasanya. Fakta kegagalan melindungi warganya dari serangan yang direncanakan lama (9/11), justru pemerintah Amerika gunakan sebagai bukti tentang perlunya misi preventif protektif dari ancaman tak berbentuk yang ada dimana-mana. Hal yang sama berlaku pula pada pemerintahan kita, pada kejahatan yang sama dan soalan resiko kesehatan. Penjagaan akan marabahaya adalah satu hal, manajemen rasa ketidak-amanan adalah satu hal yang lain.
Opini dominan yang biasa muncul dalam pembangunan logika keamanan yaitu tentang reaksi defensif karena bahaya yang sedang dialami pada masyarakat kita yang sekali-waktu menyeruak, atau tentang sikap reaktif dari kelompok-kelompok yang berada di luar lingkaran kuasa, terpinggirkan, miskin, dianggap fanatik, atau dianggap kelompok teroris. Pada kenyataannya, tidak ada bukti-bukti yang merujuk bahwa “pertunjukan” militer-polisi[5] dan segala peraturan keamanan yang ada bertujuan mengurangi celah si kaya dan si miskin –yang sebenarnya adalah ancaman lebih nyata untuk kita.
Tetapi, diatas semuanya, ketidak-amanan bukanlah serangkaian fakta-fakta, melainkan sebuah metode manajemen kehidupan kolektif. Semua lini media yang membesar-besarkan bahaya, resiko, malapetaka, termasuk pula sikap ragu-ragu para intelektual soal bencana yang sedang diwacanakan, juga soal performansi moralitas “… rada mendingan daripada…”[6], sebenarnya menunjukkan bahwa ketidak-amanan adalah sumber yang tidak pernah akan ada habisnya. Ketidak-amanan bukanlah ketegangan abadi antar situasi. Ia adalah metode pengaturan negara dan bahkan planet ini, yang sangat bisa mereproduksi situasi yang membuatnya tetap ada.
-fin-
Catatan penjelas:
[1] Dalam teks asli, Ranciere menggunakan “ceux de l’islamisme et du terrorisme”. “Ceux de”, terjemahan langsungnya yaitu, penerjemah ganti dengan “yang biasa dituduhkan”, karena penerjemah melihat keberpihakan Ranciere secara umum kepada pihak-pihak yang dituduh sebagai pengganggu. Dalam kasus Perancis pada tahun tersebut, terorisme-Islam adalah hantu itu.
[2] Dalam ekonomi global, kuasa institusi non-negara berbending lurus dengan tingginya konsentrasi kapital. Lihat:
https://www.mediaed.org/transcripts/Requiem-for-the-American-Dream-Transcript.pdf
[3] Pada invasi Irak 2003, Amerika menggunakan (doktrin-doktrin) agama dan nasionalisme, walaupun sebenarnya, penguasaan ladang minyak bumi.
[4] Ranciere menyebut “l’Etat policier”, terjemahan langsungnya adalah negara polisi. Namun demikian penerjemah, mengambil inisiatif dengan merujuk pada konsep lama Ranciere; “the Police”, yang bukan merujuk pada fungsi sosial (polisi sebagai pengaman masyarakat), tetapi sebagai konstitusi simbolik masyarakat. Inti dari “the Police” bukan berada pada represi atau kontrol terhadap masyarakat. Tetapi pada pembagian/pendistribusian sensibilitas atas dasar tahu-sama-tahu. Aspek informalitas dan simbolik ini, yang mendorong penerjemah mengambil kata “tukang pukul”. Term lain yaitu “tukang teror”,“berandal”, atau mungkin “klithih” lebih tepat ya? Untuk pengenalan konsep “the Police” bisa merujuk : https://thoughtleader.co.za/bertolivier/2014/02/06/ranciere-and-the-police/
[5] Operasi Artemis di Afrika Utara oleh Perancis. Juga aliansi Perancis dan negara-negara uni Eropa bersama Amerika melawan Al Qaeda.
[6] Ranciere
menggunakan “moindre mal”, atau dalam bahasa Inggris lesser evil. Untuk pengenalan konsep “lesser evil”, silakan lihat:
https://www.nytimes.com/2004/05/02/magazine/lesser-evils.html
Catatan Penerjemah:
Essay “Esensi Negara Hari Ini”, sebenarnya dituliskan kembali pula secara lebih sederhana dalam versi bahasa Inggris. Penerjemah sebelum membaca versi Perancis, telah terlebih dahulu membaca versi bahasa Inggrisnya. Namun, penerjemah berinisiatif mengambil versi bahasa Perancisnya, setidaknya karena dua alasan. Yang pertama karena versi bahasa Perancis jauh lebih sederhana, dan oleh karena itu menjadi mudah untuk kita menggunakannya untuk mengenali penadaan-penandaan yang ada dalam lingkungan keseharian kita di Indonesia yang juga sedang mengalami masalah sama via pandemik SARS-CoV-2. Bukankah, penanda-penanda disebut di atas diam-diam berkeliaran disekitar kita?
Yang kedua, secara keilmuan, sepanjang kita mampu, pembacaan terhadap teks asli memungkinkan kita, pembaca, mendalami sentimen dan posisi penulis dengan lebih pas. Namun disisi lain, penerjemahan adalah pula sebuah aksi politis, yang tidak luput dari sentimen dan posisi penerjemah. Bagaimanapun, seperti yang Ranciere singgung, dimensi etik akan membatasi pergerakan dalam ranah-ranah individu. Moral itu urusan pribadi, dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara sosial. Namun, justru itulah yang dengan mudah mendekonstruksi kluster-kluster pergerakan. Kita sangat boleh misuh (menyumpah-serapahi) pada anggota dewan yang seenak-udelnya menggunakan hak keistimewaan sebagai “negara” justru disaat kelangkaan perlengkapan tes memaksa membuat prioritas. Tetapi, tentu saja tergantung pada posisi, kapabilitas, dan sensibilitasnya masing-masing individu, misuh-misuh dan muntah-muntah di sosial media, bisa jadi akan membuat guncangan yang dibutuhkan untuk membikin peka, namun bisa pula tidak.
Pada hidup keseharian, masyarakat Indonesia membuktikan bahwa humanisme selalu hidup. Moralitas dan kebutuhan kita berada dan berguna bagi yang lain cukup tinggi. Kebaikan pasti akan menang pada akhirnya. Namun permasalahannya adalah, seperti yang dikatakan Ranciere, basis pergerakan yaitu karena moralitas apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara (vertikal), berubah menjadi tanggung jawab individu-individu (horisontal). Deklarasi gawat darurat dan sekaligus “pengakuan dosa” ketidakmampuan mengkontrol social-distancing, sebenarnya sangat terkait dengan kebijakan perlindungan dan jaminan kerja, misalnya, yang tentu tidak bisa diselesaikan dengan himbauan. Mau tidak mau, sambil membagi-bagi kebutuhan pokok hari ini pada mereka yang paling rentan, kita tidak boleh melupakan itu. Karena O.. bukankah selain negara ini gemar sekali berteater (Clifford Geertz), seperti pernah disinyalir James T Siegel, bahasa kita yang cair dan egaliter ini memungkinkan pula mereka untuk lari dari tanggung jawab?
Untuk teks asli, silakan cek pada laman ini:
https://legrandcontinent.eu/fr/2020/03/10/la-crainte-et-lessence-de-letat/
Versi bahasa Inggris, ditulis oleh Caroline de Gruyter,
ada pada laman ini:
https://www.ecfr.eu/article/commentary_fear_of_loneliness_how_the_state_uses_insecurity
Catatan:
1. Jacques Ranciere, sering disebut anti-filsuf yang publikasinya baru mulai masuk ke pembaca berbahasa Inggris sejak sekitar tahun 2009-2010an. Sebagai yang menyaksikan Revolusi Pelajar 1958 di Paris, ia mengkritik posmodern, mengkritik Marxist dan neo Marxist, mengkritik Althusser -gurunya sendiri, bahkan mengkritik bapak filsafat Plato (lewat kritik estetika, politik, dan etik). Nah lo? Walaupun demikian, konsep-konsepnya selalu berawal dari kebertindakan dan proses, dan bukan dari abstraksi kajian fenomenologis ataupun semata-mata berangkat dari liberalisme gagasan. Sehingga, banyak juga yang mengatakan kalau Jacques Ranciere itu seorang Anarkis-Realis. 🙂
2. Maria Adriani adalah seorang penggemar Ranciere, berlatar belakang pendidikan arsitektur dan tata kota (sangat idealis dan utopis), pernah menjadi dosen (masih tersisa hasrat untuk membikin pemahaman), dan sekarang menjadi konsultan, periset, dan pegiat kritik pendidikan via Sekolah (Bukan) Arsitektur. Sangat suka dengan fusion, ia juga seorang introvert yang ketika baterai sosialnya habis, kemudian “lari” ke K-Pop di kamar kerja yang dipenuhi buku-buku kiri. Mengingat konsep-konsep Ranciere masih jarang dibicarakan di Indonesia, bisa jadi pembacaannya terhadap konsep-konsep Ranciere berbeda dengan pembacaan orang lain. Jika demikian, Maria terbuka dengan segala upaya untuk mendiskusikan hal-hal tersebut.