“Musuh kita bukan virus (Corona) ini sendiri, melainkan ketakutan, rumor dan stigma.” (Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jendral Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
“Tatanan lama telah hancur, sebuah dunia baru tercipta, dan semua di sekeliling kita berubah” (Abdullah bin Abdul Kadir Munshi)
***
Kesibukan penguasa hari ini berlipat ganda: antara mengatasi Corona dan bagaimana meyakinkan rakyat terkait RUU Omnibus Law. Biasanya, presiden mampu atasi soal rumit apapun. Namun, kali ini tampaknya butuh cara yang berbeda. Resep yang selama ini berjalan dalam penyelesaian perkara ialah; mengajak bicara, penuhi kebutuhanya dan libatkan dalam istana. Paling tidak itulah kunci untuk menaklukkan oposisi. Tapi, Corona tak bisa diajak berunding—dan virus itu tidak punya partai sama sekali.
Serangan virus itu begitu luar biasa sehingga semua negara melakukan upaya istimewa; Italia konon akan menggelar semua laga sepak bola tanpa penonton, Pemerintah Inggris berupaya memperlambat virus dengan meliburkan sekolah serta membatalkan pertemuan-pertemuan yang dihadiri banyak orang, dan Perancis akan mengerahkan Angkatan Darat untuk membuka rumah sakit militer.
Lalu, bagaimana dengan sikap Indonesia? Kita mulai membuat protokol. Polisi diberi mandat untuk menangkap para penimbun masker. Bahkan pengusaha masker diminta untuk meningkatkan produksi. Kini untuk bertemu Presiden dan Wakil musti diperiksa suhu badan. Korona membuat kita waspada pada siapapun meski itu berasal dari partai yang sama bahkan jika punya keyakinan serupa. Korona melatih kita untuk mencurigai siapapun.
Berbeda dengan Omnibus Law yang kita percaya bisa atasi segala persoalan investasi. Walau kandunganya banyak digugat, pemerintah dan parlemen tetap yakin kalau resep untuk meningkatkan pertumbuhan harus dengan melahirkan Omnibus Law. Protes digelar di mana-mana untuk mengkritik kandungan isinya dan pemerintah tetap percaya semua masukan nanti akan ditampung.
Kemudian mana yang ditangani lebih dulu? Omnibus Law sudah diserahkan ke Parlemen. Apabila ada masyarakat sipil yang menolak, dipersilahkan untuk beri masukan. Pokoknya Presiden minta waktu 100 hari. Insya Allah Parlemen bisa memenuhinya. Karena, berkaca pada pengalaman revisi UU KPK kemarin saja bisa 40 hari. Soal perundang-undangan, Parlemen kita punya kecepatan yang menakjubkan.
Masalahnya sekarang, apa memang betul dunia usaha tetap bekerja dengan logika yang dipahami oleh pemerintah? Butuh keringanan aturan, butuh kemudahan berusaha dan butuh buruh yang murah? Soal ini kita musti belajar dari apa yang terjadi pada virus SARS-CoV-2. Virus yang menghantam China—negara yang selama ini diramalkan akan menjadi kekuatan ekonomi dunia terbesar setelah AS.
Virus ini mampu mengguncang pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kini direvisi oleh Bank Indonesia: dari 5,1 – 5,5 persen menjadi 5 – 5,4 persen. Adapun Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) merivisi dari 5,04 persen menjadi 4,74 – 4,84 persen. Angka tersebut hanya untuk menyatakan ekonomi sedang tertekan. Pada tahun 2019 saja pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,02% atau terendah sejak 2016. Masyarakat yang terkena imbasnya.
Lihat yang terjadi: setelah masyarakat mendengar bahwa ada warga di Indonesia yang positif Corona, mereka mengalami kepanikan. Paling kentara adalah aksi borong bahan pokok dan masker. Spekulan lalu mulai mengambil untung dengan menaikkan harga dan membuat barang-barang yang dibutuhkan menjadi langka. Toko daring kadang dijadikan etalase para spekulan menjual produk. Taktik perdagangan yang culas yakni mengail di tengah ketidak-pastian.
Kenaikan harga pasar itu memicu ulah untuk membuka kran impor. Gula menjadi salah satu komoditas yang stoknya termasuk kategori cukup tetapi kini mulai didengungkan untuk impor. Begitu pula bawang putih, daging sapi/kerbau, bahkan beras segala. Kepanikan telah mendorong para spekulan untuk mengambil kesempatan dan kita jadi tahu postur ekonomi kita yang sebenarnya. Yakni ekonomi yang sangat tergantung dan rentan dicampuri para spekulan.
Omnibus Law hanya menjawab kebutuhan investasi. Pasal-pasalnya banyak yang bermasalah. Tapi yang tak diperhitungkan adalah para ‘penumpang gelap’ yang ada dalam Omnibus Law. Penumpang gelap ini muncul begitu cepat, mudah beradptasi dan berpengaruh. Pada kasus Corona, saja sudah tampak bagaimana spekulan mampu memainkan kepanikan publik. Sampai kini tak ada protokol yang jelas dalam mengatasi aksi para spekulan.
Virus ini bukan hanya membuka kesadaran akan lemahnya kekuatan ekonomi kita. Tapi Corona juga telah memperlihatkan betapa ‘ketidak-pastian’ itu sulit diantisipasi dengan cepat. WHO, yang sudah sejak dini curiga bahwa Indonesia rentan terkena Corona, ditanggapi dengan sinis oleh sejumlah pejabat. Bahkan ada menteri yang sebelumnya tak yakin Corona bisa menimpa warga Indonesia. Rasa percaya diri yang berlebihan bukan hanya cerminan sikap yang congkak tapi wajah ketidak-tahuan atas apa yang terjadi.
Kita harus mengakui kalau negara ini tak berdaulat sepenuhnya. Nyaris dalam soal ekonomi kita sangat tergantung. Data time-series menunjukkan, setiap 1 persen penurunan ekonomi China akan turut menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,2%. Padahal wabah virus korona diperkirakan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi China dari 6 persen ke 3,5% (Kuncoro, Kompas 26-2-2020) ringkasnya ekonomi Indonesia rentan dengan apapun yang terjadi di luar sana, terutama yang terjadi di China.
Maka, Corona dan Omnibus Law punya hubungan erat: keduanya berdampak pada ekonomi, keduanya bertitik tumpu pada kepercayaan publik dan keduanya dipengaruhi oleh situasi luar. Ringkasnya, kedua hal tersebut menyangkut soal kepercayaan. Soal yang hari-hari ini masih berada pada taraf mengkhawatirkan. Walau proyek infrastruktur digenjot habis-habisan, tapi daya saing Indonesia berada di urutan 50, menurun dari posisi ke -45.
Sebabnya apa? Buanyakk banget: soal birokrasi, harapan hidup, indikator kesehatan hingga kemampuan melakukan inovasi. Kebanyakanya bukan soal aturan tapi kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kualitas warganya. Lebih menyakitkan lagi itu artinya investor tak mudah untuk hinggap ke sini karena kurang ‘yakin’ dengan kemampuan yang kita miliki. Paling banter arus modal portofolio yang jangka pendek.
Soalnya bisa dirunut jauh: demokrasi yang merosot kualitasnya, pelanggaran HAM yang belum diadili hingga korupsi—yang KPK-nya malah kena amputasi. Virus Corona menjadi petunjuk paling pasti bagaimana negara menanganinya: lebih cekatan, lebih terbuka atau lebih waspada. Jadi mulailah berhenti untuk merasa percaya diri kalau kita bisa mengatasi semuanya sendiri.
Rasa percaya diri itu baik tapi jika terlampau berlebihan itu tanda kurang tahu diri. Sebaiknya, mulai sekarang dengarkan keluhan sektor pekerja tentang ancaman Omnibus Law, berikan peluang untuk WHO membantu atasi Corona dan percayalah untuk membereskan lebih dulu rumah kita dari para spekulan maupun penjahat kemanusiaan. Jangan buka pintu rumah terlampau lebar kalau penghuninya masih banyak diisi oleh para penyamun.
Jadi mari kita sedikit berendah hati untuk belajar mendengar bukan terus ingin didengarkan dan dipercaya! Sejarah membuktikan Orde Baru yang terlalu percaya dengan kemampuan dirinya pada akhirnya hanya rumah boneka yang ambruk begitu saja! (EP)