Jika kami bunga Engkau adalah tembok Tapi di tubuh tembok itu Telah kami sebar biji-biji Suatu saat kami akan tumbuh bersama Dengan keyakinan: engkau harus hancur! Dalam keyakinan kami Di mana pun tirani harus tumbang! (Wiji Thukul, Bunga dan Tembok)
Puisi itu tenar di masa Soeharto. Pesan yang mau dilempar: sangar dan keras. Tak mungkin kekuasaan berdiri hanya diatas ancaman. Tak semua orang takut digertak. Tak semua pihak gampang untuk diancam. Thukul salah satunya. Buruh yang ikut dalam membangun kesadaran. Bait puisinya menggetarkan. Diajaknya rakyat untuk tak mudah percaya. Pada pidato apalagi janji. Hingga dirinya kemudian diburu dan dihilangkan. Thukul bawa pesan menyengat: puisi dapat membawa pemberontakan. Puisi bukan sebuah bualan. Puisi telah jadi monumen dan saksi. Thukul adalah saksi dari kejinya kekuasaan Orde Baru.
Saksi atas sebuah zaman yang kusut. Ketika membaca novel Pramoedya berbuah penjara. Saat bicara suksesi bisa dibawa ke pengadilan. Hanya 36 tahun masa itu berlangsung. Soeharto takluk oleh tekanan massa. Kobaran konflik terjadi dimana-mana. Rezim reformasi terbit menggantikan Orde Baru. Rezim itu yak memuat hanya kebebasan. Tapi juga harapan dan janji. Harapan atas kemakmuran dan janji untuk boleh menyatakan pendapat. Tentu semua itu sebagian terpenuhi. Makmur muncul dalam pidato para pejabat; pertumbuhan melesat dan kelas menengah menggelembung. Sedangkan bebas muncul lewat didirikannya partai politik dan media dimana-mana.
Kini kita berada dalam suasana itu. 20 tahun sudah banyak berubah. Thukul masih hilang dan beberapa kawanya duduk sentosa di tahta. Diatas tahta itu mereka umbar janji: demokrasi dapat mengubah keadaan dan kebebasan bisa bawa berkah. Tapi Wiji Thukul mungkin tak mudah percaya. Dalam pelarian Thukul masih menulis dengan keras:
Wani, Bapakmu harus pergi, Kalau teman-temanmu tanya Kenapa bapakmu dicari-cari polisi Jawab saja:‘karena bapakku orang berani’ Kalau nanti ibu didatangi polisi lagi Menangislah sekuatmuBiar tetangga kanan kiri datang Dan mengira ada pencuri Masuk rumah kita.
Seolah tak ada yang bergeser dari dunianya. Dan memang tak ada yang berubah. Polisi itu masih sering salah tembak warga. Polisi yang sama itu juga mencuri dengan rakusnya. Korupsi simulator SIM hingga rekening gendut adalah petanda. Memberitahu kalau lembaga Kepolisian memang brengsek. Sialnya Polisi tak sendiri: parlemen, peradilan hingga departemen agama mengalaminya. Secara biadab dan sewenang-wenang dipertontonkan paras kekuasaan yang gelap. Kekuasaan yang membajak kedaulatan hanya dengan bualan kebebasan. Tak sekedar itu tanah-tanah rakyat disita dengan alasan untuk kemajuan. Kemajuan yang diramu dengan alasan investasi dan pembukaan lapangan kerja. Motif suci yang selalu ada dalam kandungan sistem kapitalisme. Sistem yang sedari awal tahu bahwa tanah adalah basis produksi yang bisa membuahkan banyak untung. Maka sistem ini kemudian melipat-gandakan kemampuannya dengan menyita serta mengambil-alih.
Tanah-tanah itu disita dengan alasan naif. Penyitaan yang dulu menggunakan alasan: kepentingan umum. Seperti yang terjadi di Kebumen. Tepatnya di desa Setrojenar, kecamatan Buluspesantren. Di pinggiran pantai tanah itu digunakan untuk latihan tempur. Senjata dan peluru berhamburan. Serdadu itu injak-injak tanah yang jadi garapan. Diantaranya buah semangka dan melon. Tak ada yang berani menolak. Tak ada yang berani bertanya. Semuanya tunduk dan mengalah. Sebabnya sederhana, tentara punya pengaruh politik yang tak kecil. Kala itu semua pejabat penting berasal dari pasukan serdadu. Orde Baru menjaga kekuasaanya melalui bedil. Hingga ketika Soeharto terjungkal rakyat memutuskan untuk menentang. Tanah-tanah itu tak ingin lagi dipakai untuk latihan. Mereka ingin gunakan tanah itu seperti dulu: bercocok-tanam. Maka kepentingan berbeda itu lalu bentrok dan bedil menyalak lagi. Entah mengapa puisi Thukul melukiskan suasana muram itu dengan tajam:
Kekuasaan yang sewenang-wenang Membuat rakyat selalu berjaga-jaga Dan tak bisa tidur tenang Sampai mereka sendiri lupa Batas usianya tiba Dan dalam diamnya Rakyat ternyata bekerja Menyiapkan liang kuburnya Lalu mereka bersorak Ini kami siapkan untukmu Tiran! Penguasa yang lalim Ketika mati tak ditangisi rakyatnya.
Suluh Pergerakan tergerak untuk merekam peristiwa itu. Niat kami sederhana: pertarungan ini bukan untuk diberitakan. Kami ingin kita semua jadi saksi hidup: rakyat kecil tak selamanya harus tunduk dan mengalah. Mereka memilih untuk setia pada janji konstitusi: rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Persisnya di dusun Bocor itulah sejarah lalu dilukis dengan terang: rakyat menolak persekutuan najis antara pemodal dengan serdadu. Didahului dengan kesadaran atas ‘kebenaran’ posisinya maka rakyat mulai belajar apa itu gerakan: mengembangkan kesadaran kritis, meluapkan tuntutan-tuntutan pokok yang musti dipenuhi dan bekerja diatas dasar militansi dan pengurbanan. Hasilnya sungguh fantastis: gerakan itu menuai banyak tantangan sekaligus mengubah budaya masyarakat di dalamnya.
Suluh Pergerakan berusaha merekam itu semua dengan taktik jurnalisme gerakan. Menempatkan para reporter dalam kegiatan sehari-hari masyarakat, mengajak semua pihak yang terlibat untuk ikut menuliskan pengalaman dan bersama-sama melakukan refleksi dan pemetaan. Tentu semua usaha itu tak bisa menuturkan secara lengkap apa yang sebenarnya terjadi disana. Tak seluruh suasana emosi, gejolak gerakan dan kegeraman dapat termuat secara utuh. Kami lalu menutup kekurangan ini dengan mencetak rangkaian foto-foto yang bertutur tentang kejadian. Tiap foto akan menghidupkan suasana yang utuh mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Foto itu bukan lagi sebuah berita tapi kenyataan yang hadir dan meyentuh kita semua. Bahwa sebuah gerakan tak bisa hanya hidup dengan modal cita-cita dan harapan melainkan juga nyali serta pengorbanan.
Apa penguasa kira Rakyat hidup di hari ini saja Apa penguasa kira Ingatan bisa dikubur Dan dibendung dengan moncong Tank Apa penguasa kira Selamanya ia berkuasa Tidak! Tuntutan kita akan lebih panjang Umur Ketimbang usia penguasa Derita rakyat selalu lebih tua Walau penguasa baru naik Mengganti penguasa lama Umur derita rakyat Panjangnya sepanjang umur Peradaban!
Derita itulah yang dulu membawa kami semua hingga disini. Menerbitkan sebuah majalah untuk mengenang tiap peristiwa ketidak-adilan. Karena kami semua bagian pula dari korban itu. Kami semua mengalami dan menelan itu semua. Kisahnya panjang tapi mudah untuk diringkas: terbawa oleh semangat aktivis kami bela korban terorisme. Mendampingi dan melakukan intervensi kemanusiaan. Hanya kami tak menyangka bahwa ada ketakutan dan kekuatiran yang tiba-tiba meluap. Diantara kami mulai cemas dan berusaha untuk meruntuhkan apa yang sedang dikerjakan. Kepentingan itu bertaut dengan pimpinan lembaga yang kebetulan jadi pejabat tinggi. Persekongkolan para penakut itu mulai menuai hasil: diancam akan ditangkap, di bui hingga mau dibunuh kami semua dianggap paria. Sangkar nista sebuah Pusat Studi. Rektor di kampus itu bahkan menerbitkan surat pemecatan yang ditanda tangani dengan buru-buru. Hingga surat itu cacat administrasi disana-sini. Tak sekedar surat pemecatan tapi mengirimi semua aktivis Islam dengan nada muram: tak akan dan tak mau berhubungan dengan mereka.
Suasana kampus yang sumpek, pengap dan bacin itu menyadarkan kami semua. Kami kemudian memutuskan untuk bergerak dengan cara yang menurut kami ‘pantas dan patut’ dilakukan. Suluh Pergerakan salah satunya. Majalah yang tiap edisinya akan merekam gejolak yang terjadi di level akar rumput: duka, gejolak dan pertikaian. Terutama pada sisi dimana negara dan modal melakukan persekutuan untuk melakukan eksploitasi. Disana penindasan, ketidak-adilan dan protes bergumul untuk memenangkan pertarungan. Semangat yang jadi landasanya adalah pergerakan dan protes. Kami memulainya dengan edisi Petani Bocor. Digarap dengan cara yang unik: reporter kami pilih yang berpengalaman dalam menulis lalu punya keberanian untuk mencebur lapangan. Hasilnya memang masih jauh dari meyakinkan. Tapi kami puas karena telah memberi bukti betapa kekuatan gerakan tak hanya bersendi pada massa tapi juga gagasan. Bahkan tak sekedar gagasan melainkan militansi dan disiplin. Lukisan itulah yang terekam dalam edisi majalah ini, sebuah edisi yang mau memaknai kembali arti dan peran sebuah gerakan rakyat.
Maka Suluh Pergerakan berangkat dalam suasana yang selalu tak percaya: atas janji demokrasi, pada harapan kemakmuran dan ide agung tentang perwakilan. Kami ingin berkata bahwa masih banyak soal yang belum dibereskan dan terdapat banyak gerakan rakyat yang terus melakukan perlawanan. Suluh Pergerakan ingin jadi ‘saksi sekaligus inspirasi’ bagi kawan-kawan muda yang terus-menerus bergerak, berorganisasi dan bekerja untuk mereka yang selama ini masih ditindas. Selamat menikmati gagasan kami dan semoga kita semua bisa menimba pelajaran darinnya.