Oleh Janeska Mahardika (Penulis buku, “Kepada Wiji Thukul”)
Kado tahun baru kali ini bukan hanya catatan akhir tahun tentang muramnya keadilan kemanusiaan yang telah dituliskan, tidak hanya resolusi-resolusi penting yang sudah dirunutkan, sebuah film dokumenter panjang “Nyanyian Akar Rumput” besutan sutradara Yuda Kurniawan pun akan meramaikan panggung hiburan, kesemuanya berada dalam satu nada yang sama: merawat ingatan.
Bila tak ada aral melintang, Kamis (16/1) “Nyanyian Akar Rumput” akan di putar serentak di bioskop-bisokop sepuluh kota pilihan, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Solo, Medan, Purwokerto, Bandung, Makassar dan Palembang.
Film ini telah berhasil memenangkan Piala Citra Kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia 2018, NETPAC Award dari Jogja Netpac Asian Film Festival 2018, Piala MAYA 2019 Kategori Dokumenter Panjang Terpilih, Honorable Metion Award di Festival Film Figuera Da Foz International Film 2019, Portugal.
Sebelumnya film yang mengangkat sosok Wiji Thukul, “Istiraahatlah Kata-kata” 2017, karya Yosep Anggi telah mampu menskenariokan dengan apik persembunyian Wiji (diperankan oleh Gunawan Maryanto) selama di Kalimantan setelah tak lama kemudian akhirnya dinyatakan hilang karena menjadi buronan illegal dibawah komando rezim Orde Baru. Tak heran film ini diganjar Prize for the Best Emerging Director.
Kini film “Nyanyian Akar Rumput” judul yang juga merupakan nomor puisi dari Wiji Thukul akan menghentak layar bioskop Indonesia. Tentu kita berharap gaungnya tak jauh beda dengan film “Istratlah Kata-kata” yang berhasil meraup jumlah penonton membludak, antusias anak muda untuk menonton film ini tak disangka begitu melonjak, semoga “Nyanyian Akar Rumput” menelan nasib keberuntungan yang sama.
Film berdurasi 112 menit tersebut diangkat oleh Yuda merekam kisah hilangnya Wiji Thukul dari sudut pandang keluarga, Ia memulainya dari cerita putra Wiji, Fajar Merah (Ika Yuniati, Solopos).
Fajar membuat grup musik bernama “Merah Bercerita” sejak 2010 secara aktif menyebarkan dan melipatgandakan pesan-pesan puisi Wiji yang telah dilagukan, puisi-puisi Wiji dikenal tanpa tedeng aling-aling, lugas, dan mudah dicerna, bahasanya adalah bahasa rakyat kecil yang rentan teralienasi.
Tak terhitung sudah berapa banyak panggung yang digebrak oleh Fajar Merah untuk mendendangkan puisi-puisi ayahnya. Saya rasa, di setiap event dia melantunkan lagu-lagunya dengan penuh kegembiraan sekaligus kesedihan. Kegembiraan itu jelas karena dirinya bersyukur masih bisa secara leluasa berkesempatan jumpa penonton dan pendengar dari berbagai kalangan juga generasi untuk berbagi sebuah karya yang isinya ialah berita musim kemarau keadilan sekaligus menebar sepenggal optimisme dari nasib penuntasan pelanggaran kemanusiaan.
Tentu kesedihan yang masih tersisa ialah sebuah “sikap” dari pemerintah akan keseriusan mereka dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan pelanggaran HAM yang kini masih berjalan. Alih-alih menyeret nama-nama yang terlibat dalam kejahatan HAM ke meja pengadilan, pemerintah malah menyediakan karpet merah bagi mereka untuk duduk di kursi penting kekuasaan.
Sebagaimana yang sudah-sudah dalam dua kali kesempatan riuh pilpres dilalui oleh Presiden Joko Widodo, beliau berjanji dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia juga termasuk kasus penghilangan Wiji Thukul.
Kalkulasi politik yang tidak menyertakan agenda peradilan bagi penjahat kemanusiaan di dalam birokrasi pemerintahan Joko Widodo akan sama saja menjadi momok bagi kekuasaanya untuk bisa dipercaya oleh publik dan mengharap penuh partisipasi masyarakat.
Untuk menjawab kecurigaan publik akan keseriusan Pemerintahan Joko Widodo bersama Kabinet Indonesia Maju, Presiden harus tegas, peduli dan maksimal dalam mengatasi iklim Hak Asasi Manusia. Ibarat awan mendung tebal menggantung, seperti itulah kondisi cuaca Hak Asasi Manusia di Indonesia hari-hari ini.
Wiji Thukul adalah romantisme yang afektif bagi kita semua. Kiprahnya dalam dunia sastra dan juga sebagai seorang aktivis turut serta menumbangkan tirani otoritarian Orba serta melahirkan harapan baru era reformasi, meski dirinya harus menjadi korban penghilangan paksa.
Di pertengahan jalan dan dalam kondisinya saat ini amanat reformasi tercoreng oleh kebangkitan oligarki, pelemahan lembaga penting negara (seperti KPK) dan menjamurnya “politik kebohongan” dengan fenomena post truth.
Nyanyian Akar Rumput adalah satu nomor puisi dipersembahkan Wiji kepada mereka “yang terbuang” untuk senantiasa selalu merawat pikiran kritis, menjadi akar rumput yang menjalari jiwa dan rasa, menyiraminya dan menyemainya dengan penuh cinta. Sosok Wiji adalah puisi abadi. Sekali lagi. Dia. Menegaskan asosiasinya sebagai subaltern dan ingin menyeruakannya tanpa terwakili, “kami pindah-pindah, menempel di tembok-tembok, dicabut, terbuang, kami rumput, butuh tanah, dengar! Ayo gabung ke kami, biar jadi mimpi buruk Presiden!”.
Kita patut bersenang karena film ini bisa menyambangi kota Palembang, film ini penting, terutama bagi mereka yang peduli akan sebuah sejarah dan arti penting memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Untuk itu sisihkanlah waktu, jangan lewatkan.