Judul buku: Pachinko
Penulis: Min Jin Lee
Penerbit: Gramedia, 2019
Tebal: xiv + 490 halaman
“Sejarah mengecewakan kita, tapi biarlah”
Mengapa saya menyukai novel ini? Dilihat dari sisi ketebalan butuh waktu longgar untuk membacanya. Dari sisi pelakunya kita butuh hapal sejumlah nama yang tak mudah diingat. Pada sisi kisah perlu kesabaran karena ini melalui tiga generasi. Saya nekad tetap membacanya karena novel ini seperti kotak pandora: sekali kita membuka halaman awal kita diseret untuk mengikuti arus cerita.
Saya menyukainya mungkin karena tokohnya. Seorang perempuan yang hidupnya untuk mengabdi pada siapa saja: suaminya, kekasihnya, ibunya hingga anaknya. Kim Sunja seorang gadis yang tak mahir membaca tapi selalu bersemangat dalam bekerja. Menikah dengan suami karena keinginan menyembunyikan kehamilanya.
Kekasihnya seorang pria agak tua tetapi dipujanya. Pria itu muncul seperti hembusan angin yang lembut. Laki-laki itu tak hanya memujanya tetapi menghargainya. Saat pria itu ternyata sudah menikah Sunja membencinya, bahkan ingin melupakanya. Disanalah ia bertemu dengan Isak: laki-laki yang jadi pendeta yang diselamatkan oleh keluarganya.
Alurnya hidup dengan sentuhan kisah yang sedih: Isak berusaha mencintai istrinya atau memang itu cara untuk berkorban sebagaimana para utusan Tuhan lainya. Menikahi seorang perempuan yang bisa gelap hari-harinya kalau tidak diketahui siapa yang menghamili. Isak membawa Sunja ke Osaka. Kota yang menjadi alamat kekasih gelapnya, Han Su.
Tapi Sunja sudah menyerahkan diri pada Isak. Ia merasa beruntung karena diselamatkan Isak. Memilih menata rumah tangga bersama keluarga kakak Isak yang hidup miskin. Itulah tahun kelam warga Korea yang tinggal di Osaka: miskin, menjadi warga kelas dua dan selalu dihina. Sunja mencoba hidup dengan keyakinan menjadi istri dan ibu.
Sang anak lahir dan kemudian disusul oleh adiknya. Kedua anak itu berbeda: Noa yang pertama pendiam, pintar tapi juga penuh perhitungan dan Mozayu yang riang, agak bodoh tapi rajin. Dua saudara ini diasuh oleh bibinya, ibunya, paman dan bapaknya. Melewati kemiskinan dan hidup dalam badai perang Dunia ke II.
Perang itu memuntahkan apa saja: kebencian, kelaparan dan kemiskinan. Isac ditahan oleh penguasa Jepang karena dianggap tak mau lakukan ritual penghormatan Jepang. Penahanan kejam yang membuat keluarga Sunja terbuang dan jatuh miskin. Sudut pandang kemiskinan dilukiskan dalam novel ini dengan menyayat, detail dan menyiksa perasaan.
Han Su pria yang pernah tergila-gila pada Sunja datang. Laki-laki ini sudah tumbuh sebagai Yakuza yang piawai dalam situasi apa saja: di tengah konflik tetap jalankan bisnis, makin panas peperangan juga bisa membuat bisnis bahkan berusaha menyelamatkan keluarga Sunja. Sunja tak bisa mengelak: ia mau dibantu tapi tak mau dicintai lagi.
Perjalanan kisah cinta Sunja dan Han Su bukan romantika yang indah: Sanju sudah jadi ibu yang hidupnya harus berhadapan dengan segala bencana perang dan Han Su pria yang sedang menjalankan operasi Yakuza. Romantika mereka berarti karena tidak memusat pada keduanya tapi lingkungan yang berubah di sekitarnya. Berdua mereka berusaha untuk saling membantu meski rapuh.
Terutama ketika Noa tumbuh dewasa. Laki-laki yang percaya bahwa Isak itu bapaknya. Pintar, pendiam dan selalu tak percaya diri sebagai orang Korea. Cita-citanya kuliah di kampus terbaik Jepang: Waseda. Disana ia menemukan kekasih yang berani, militan dan jujur. Tapi itulah awal musibah karena kekasihnya yang memastikan Noah itu bapaknya Yakuza.
Kejujuran itu tragedi. Begitulah yang terjadi pada Noah tapi tidak terjadi pada Mozayu. Pria yang memilih bekerja dengan modal keberanian dan kesetiaan. Walau di tempat perjudian tapi Mozayu setia dengan ibunya. Gajinya diberikan pada ibunya dan yang dinikmati untuknya hanya sekedarnya saja. Mozayu setia, pekerja keras dan disayang oleh bosnya.
Mendaki kehidupan yang lika likunya tragis menjadi kekuatan novel ini. Orang-orang Korea yang berada di Jepang. Dianggap oleh warga Korea sebagai pengkhianat dan dianggap orang Jepang sebagai manusia lapis kedua. Itu sebabnya mereka terjebak dalam identitas ganda: tak bisa mudah diterima oleh keduanya.
Konflik novel ini seperti perjalanan sebuah bangsa yang terus luka: perpecahan Korea yang membuat sejumlah orang punya pilihan bertentangan. Cinta yang ditahan, ditekan dan usaha untuk berdamai dengan masa lalu. Menjangkau hingga tahun 1989 saat Korea tumbuh dengan pertumbuhan ekonomi yang perkasa telah mengubah himpunan besar keluarga Sunja.
Mereka sukses, berlimpah kekayaan dan berpengaruh. Tapi mereka tetap seperti orang terasing di negeri yang sepenuhnya tak merasa dimiliki. Sunja menatap masa lalu dengan getir, bukan karena peperangan tapi pilihan hidup yang membawa akibat menyakitkan. Satu demi satu orang yang dicintainya wafat. Sunja sendirian dengan kenangan yang kuat pada orang-orang yang pernah bersamanya.
Novel ini membuat saya terpaku. Rajutan ceritanya mengalirkan kisah memukau tentang persahabatan, cinta dan nasib sebuah bangsa. Sanju mewakili lapisan rakyat kecil yang lemah, tertekan tapi terus berusaha bertahan. Sanju bukan aktivis hanya seorang ibu yang pernah jatuh cinta lalu berusaha melindungi yang dimilikinya dan tak semua mampu dikendalikanya.
Novel ini membuat hidup bukan sebuah potongan keajaiban tapi lompatan peluang dengan tikungan musibah yang tak terduga. Saat selesai membaca novel ini saya agak letih bukan karena ketebalanya tapi rajutan cerita yang memaksa saya untuk merenungkan sebuah bangsa: ikatan imaginasi yang telah merekatkan orang berbeda untuk memerankan lakon sebagaimana garis sebuah takdir.
Sayang jika anda tak membacanya!