“Bila semboyan dan tuntutan sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik dapat jadi gelombang hebat yang makin lama makin kuat sehingga mampu meruntuhkan banteng ekonomi dan politik.” -Tan Malaka
***
Tempo edisi akhir tahun ini mengangkat tokoh 2019 adalah massa aksi. Massa aksi yang memprotes kemunculan berbagai RUU bermasalah serta membanjiri jalanan dengan caranya yang unik. Menyatukan semua kekuatan sipil yang selama ini porak poranda: aktivis gerakan, seniman bahkan selebritis. Malah ada kekuatan pelajar yang menjadi aktor penting juga dalam massa aksi.
Laporan ini istimewa, karena merakit jawaban atas tiga pertanyaan fundamental dalam tata politik di Indonesia: polarisasi para pendukung yang berkobar dalam istilah cebong dan kampret, masih besarnya potensi gerakan mahasiswa sebagai oposisi jalanan dan betapa efektifnya aksi massa sebagai strategi penekan kekuasaan.
Variabel yang mempengaruhi banyak dan laporan Tempo sangat berguna. Terutama untuk memahami mahasiswa yang selama ini dianggap pragmatis, egois dan individualistik. Seolah mahasiswa mustahil untuk terlibat dalam aksi jalanan karena ditekan oleh lingkungan kampus yang terus menuntut kedisplinan dan ketaatan. Menjadi mahasiswa seakan tugasnya hanya kuliah melulu untuk kelak menjadi sarjana pencari kerja.
Stigma itu populer karena sunyinya aksi-aksi mahasiswa dan betapa keringnya tradisi diskusi di kampus-kampus. Mayoritas kegiatan hanya dipadati oleh training pembekalan diri atau yang lebih kacau lagi menjadi wirausaha. Seolah urusan mahasiswa adalah bagaimana mendapat uang sejak dini dan mendapat pekerjaan mapan di kemudian hari.
Padahal kalau dijenguk lebih dalam sebenarnya gerakan mahasiswa sudah bergeliat lama. Terutama sejak mundurnya agenda demokrasi serta membesarnya kekuasaan partai politik. Jika mau diliput sejenak, semenjak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) direcoki tampaknya keprihatinan aktivis gerakan mahasiswa mulai muncul. Protes di sejumlah kota walau tak sebesar kemaren tetap terjadi. Khususnya di kalangan akademisi.
Para dosen yang sebagian adalah alumni gerakan 98 dan generasi berikutnya merasa nilai demokrasi mulai terancam serius. KPK disandera dengan banyak peristiwa membuat mereka sadar kalau musuh-musuh demokrasi kian percaya diri. Hendak menghabisi KPK sekaligus ingin merotontokkan bangunan reformasi yang dulu dibela sama-sama.
Tapi pemicunya tak hanya KPK, terdapat juga konflik agraria yang di beberapa tempat mendapat pembelaan mahasiswa. Mahasiswa mulai menyaksikan bagaimana proyek infrastruktur yang digenjot oleh pemerintah malah membawa musibah luar biasa pada para petani. Protes banyak petani di kawasan konflik ikut melibatkan mahasiswa sebagai pendukungnya. Bahkan ada petani yang meyerbu kampus segala.
Komitmen keberpihakan kampus mulai dicurigai. Terutama saat kebebasan akademik dipasung begitu rupa. Acara diskusi dibubarkan, dosen kritis diancam, dipecat bahkan pers kampus dibredel. Kombinasi situasi ini meruncingkan suasana pergerakan yang diam-diam mulai percaya dengan metode massa aksi. Mereka meyakini kalau mahasiswa waktunya turun ke jalan.
Siasat lama ini ternyata sangat efektif. Massa yang membanjiri jalanan terbukti menjadi kekuatan penekan yang luar biasa. Parlemen tak bisa berbuat banyak kecuali menunda semua agendanya. Bahkan istana mau tak mau mendengarkan suara jalanan hingga meminta semua RUU ditunda pembahasanya. Ternyata aksi massa masih mujarab sebagai sebuah metode oposisi.
Tapi mengapa usia aksi massa itu tak lama? Tak sebagaimana Hongkong yang anak-anak mudanya hingga pelajarnya terus protes hingga habiskan waktu berbulan-bulan? Dan mengapa pula kematian tragis mahasiswa Kendari tak membuat gema gerakan mahasiswa makin membesar tapi malah menyusut dan kemudian pelan-pelan menghilang?
Sayang mingguan Tempo tak menjawabnya. Hanya menyatakan dalam opini yang singkat: ‘Memang betul aksi itu hanya bertahan beberapa hari. Ada banyak penjelasan. Di antaranya main pukul aparat, pengalaman demo yang terbatas, dan tak kukuhnya basis ideologi mahasiswa’ Opini ini seakan menggiring pandangan bahwa aksi massa kemaren seperti kekuatan macan kertas: lemah di bawah riuh dipermukaan.
Maka mudah dipukul oleh aparat, gampang dibelah dan yang pasti daya tahanya lemah. Benar belum ada riset atau tanggapan mengenai itu semua. Dan Tempo memang tak membongkar perkara ini dalam laporanya. Tapi tesis pengalaman demo yang terbatas itu penting untuk jadi titik pijak. Sebab terentang jarak panjang antara aksi bersejarah 98 dengan aksi mahasiswa september 2019 yang baru berlalu.
Demo seperti adegan masa lalu yang diakui efektifitasnya tapi enggan untuk dipelajari sebagai taktik. Bahkan mulai muncul banyak kecurigaan mengenai manfaat dan efek demonstrasi. Sering muncul stigma demonstrasi bisa menciptakan anarkhi dan demo hanya membuat kerusakan ketimbang pemenuhan tuntutan. Sayang tesis ini tak banyak dibantah sehingga seolah menjadi pembenaran.
Saya berusaha menyanggahnya dalam dua buku Bangkitlah Gerakan Mahasiswa dan Bergeraklah Mahasiswa. Demonstrasi tetap efektif ketika itu menjadi aksi massa yang didukung secara militan oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Karena demonstrasilah yang menjadikan massa menjadi kekuatan raksasa yang bisa mekar karena agitasi, propaganda dan orasi.
Ketrampilan praktis dan taktis ini mulai menghilang dalam kursus-kursus gerakan. Tan Malaka bahkan menyatakan….kamu, anak-anak muda…dengan pidatomu, tegakkanlah mereka yang lemah, bukakan mata yang buta, korek kuping yang tuli, bangunkan yang tidur, suruh berdiri yang duduk dan suruh berjalan yang berdiri….
Statmen klasik ini memberi petanda bahwa dalam aksi massa ketrampilan semacam ini diperlukan. Di samping kemampuan untuk mengatur massa aksi, mengelola bantuan hingga mengatasi serbuan. Tentu untuk punya kemampuan agitasi butuh pupuk ideologis yang tepat unsur-unsurnya. Di sisi ini gerakan ideologis semacam HMI hingga LMND penting untuk mengambil peran.
Pengalaman 98 memberi peta yang menarik: gerakan mahasiswa tumbuh diatas sejarah kelompok studi sekaligus penggalian gagasan kiri. Dipandu oleh situasi ekonomi yang kacau balau maka mahasiswa memberi pukulan paling keras pada tahta Orde Baru. Tentu sesudah pengorbanan sejumlah mahasiswa kiri yang diculik, hilang bahkan hingga kini tak ditemukan keberadaanya. Dasar gerakan mahasiswa di masa silam adalah kombinasi: represi, pengalaman dan ideologi.
Waktunya mahasiswa kini memperkuat gagasan, pengalaman dan keterlibatan. Sebab kekuasaan yang dulu sempat dihabisi oleh angkatan 98 kini bangkit lagi. Aktornya sama: Wiranto dulu pengawal Soeharto sekarang penasehat Jokowi, Prabowo dulu menantu Soeharto kini Menteri Pertahanan dan Golkar yang dulu diperkuat oleh Cendana kini membesar bersama partai lainnya.
Tempo benar memilih tokoh 2019 adalah aksi massa mahasiswa. Kini kita memerlukan mahasiswa kembali, tak hanya untuk turun ke jalan, tapi terlibat dalam pembelaan atas sejumlah masalah kemanusiaan. Libatkan sejak dini mahasiswa di Aksi Kamisan, ajak serta mereka dalam advokasi petani dan berikan ruang mereka untuk bersama aksi buruh. Kampus sebaiknya mendukungnya sebab jika menghambatnya maka sejarah akan mencatat dengan tinta hitam para akademisi yang berkhianat pada nurani.
Selamat datang tahun 2020 dan selamat datang aksi massa mahasiswa! (Eko Prasetyo)