Catatan dari Kampus Biru

Oleh Anggalih Bayu Muh. Kamim (Alumnus Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM)

***

Assalamua’alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh,

Yang terhormat,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM dan jajarannya

Kepala Prodi S1 Departemen Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM

Dosen-dosen Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik UGM

Serta, Hadirin yang Berbahagia.

Pertama-tama, kami haturkan puji syukur kepada hadirat Allah SWT disebabkan dengan rahmat dan karunia-Nya lah, kita dapat berkumpul pada siang hari ini pada kesempatan yang bahagia. Sebelumnya, kami sampaikan terima kasih kepada pihak akademik Fisipol UGM yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyampaikan pidato wisuda mewakili rekan wisudawan yang lain  pada siang hari ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada orang tua yang telah mendukung perjalanan kami hingga hari ini. Kepada guru-guru kami, Prof Purwo, Mas Gaffar, Mbak Aziz, Mbak Linda, Mas Hari, Mas Hanif, Mas Nanang, dan dosen-dosen Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM yang telah memberikan kucuran pengetahuan pada insan yang haus akan jalan-jalan alternatif ini. Pihak akademik Fisipol Mas Rudi, Mas Helmi, dan lain-lain yang telah direpotkan oleh kami selama ini dalam berbagai urusan.

Selain, mengucapkan terima kasih atas berbagai proses dan kesempatan yang diberikan di kampus biru ini. Kami ingin menyampaikan berbagai keluh kesah yang menjadi keresahan saya bersama dengan kawan-kawan dan guru-guru saya. Menurut kami, problem serius kampus biru sebagai wadah pembelajaran adalah masalah mengatasi “kesulitan belajar bersama” baik dalam hal institusi maupun pada level mahasiswa. Kami hanya akan menceriterakan bagaimana “kesulitan belajar bersama” itu tumbuh pada apa yang sering diglorifikasi orang-orang mengenai “pergerakan mahasiswa.” Prof. Purwo Santoso (2011) sebenarnya telah mengidentifikasi upaya kemandegan dalam proses pembelajaran ini dengan menunjukan bahwa orang sibuk melahirkan penjelasan secara “apa adanya” bukan berdasar penafsiran untuk mencari “ada apa-apanya.” Proses pembelajaran dianggap hanya ada di dalam kelas, seolah-olah kemudian aktivitas keorganisasian terlepas dari perlunya penggunaan dimensi ontologi, epistemologi sampai dengan aksiologi gerakan.

Proses pergerakan yang sama sekali tidak memiliki bingkai yang memadai itu terus mengintrodusir gagasan tentang “agen perubahan”, “moral force”, dan lain-lain. Lebih celaka lagi akibat tidak adanya bingkai itu mahasiswa yang selalu mengaku dirinya sebagai “pejuang pemikir, pemikir pejuang,” tapi kenyataannya dalam program organisasinya dalam mengukur keberhasilan ranah gerak dilihat berdasarkan capaian seberapa piala yang didapat, berapa persen proker yang dikerjakan, dan lain-lain. Sungguh ini tidak ada bedanya dengan kemandegan keilmuan yang sebatas mengukur keberhasilan produksi pengetahuan dengan capaian-capaian administratif itu (Santoso, 2011). Gejala patologis sebenarnya juga sudah didiagnosis oleh Prof. Heru Nugroho (2012) dengan sebutan “banalitas intelektual.” Lebih lanjut saya ingin meneruskan refleksi Prof. Heru Nugroho dengan menafsirkan problem banalitas intelektual pada level mahasiswa.

Pertama, hal yang menunjukan adanya banalitas itu adalah gejala “pengkhianatan intelektual,” di mana nilai-nilai pragmatis dibandingkan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan (Nugroho, 2012). Aktivitas yang seolah keilmuan kelihatannya tidak pernah membawa upaya diseminasi pengetahuan yang kemudian bisa dialogkan dan dialektikakan bersama. Upaya mereka dalam mengikuti berbagai acara berlabel pengetahuan itu jangan-jangan semata hanya itu upaya naik kelas sosial. Hal itu bisa terlihat dari berbagai perhelatan kegiatan PKM, lomba-lomba esai, LKTI, dan lain-lain sangat sulit untuk ditindaklanjuti bahkan untuk level aksiologis yang paling dasar, yakni memberikan penjelasan mengenai suatu fenomena. Hal ini lebih mengerikan lagi kala kami sendiri berada di kelompok studi terlihat mayoritas pengurus minim perhatiannya pada proses penelitian, padahal mereka mem-branding diri sebagai “kelompok studi”. Kalau begitu kenapa tidak sejak awal saja mereka men-declare sebagai kelompok lomba.

Kedua, gejala berikutnya seperti yang dirumuskan Nugroho (2012) adalah “intelektual pamer.” Pada level mahasiswa, banyak oknum men-declare dirinya sebagai “aktivis” dan “pemikir” bahkan diberi berbagai label dalam berbagai acara motivasi bukan untuk berceritera tentang apa yang didalaminya, tapi lebih banyak berkutat tentang romantisir heroisme tanpa membaca konteks historis dan sosial-politik yang berbeda. Bahkan, BEM KM (Badan Elite Mahasiswa Keluarga Mahasiswa) yang sering mengklaim sebagai corong “pergerakan ugm”, selama kami sendiri penulis di dalamnya kenyataannya berbagai “pergerakan” yang dihasilkan tidak didukung dengan basis argumentasi yang memadai. Bahkan, menjadi hal yang sangat biasa kajian dihasilkan hanya 1-2 hari sebelum teknis lapangan sebatas dengan mengambil sumber dari berbagai pemberitaan media. Hal itupun dalam teknis lapangan dan aksi bisa berubah bahasa tuntutannya. Celakanya heroisme tentang mahasiswa sebagai “aktivis” dan “pemikir” itu terus dipelihara hingga kini dan sulit menggugurkannya. Heroisme itu kemudian digunakan oleh oknum-oknum elite mahasiswa untuk menebar berbagai motivasi tampil dalam berbagai acara tanpa mau berkaca pada proses internalnya yang bermasalah.

Selanjutnya, adalah fenomena klobotisme, di mana seolah-olah terdengar hingar-bingar kritisisme, tapi sebenarnya tidak jelas isinya (Nugroho, 2012). Hal itu terlihat dengan upaya BEM KM UGM misalnya yang selalu ingin mengkritisi pemerintah pusat, tapi kajian dan basis argumentasinya sangat membingungkan. Misalnya, seumur hidup saya baru tahu bagaimana bisa pembuat kajian justru seolah mendiskreditkan respondennya, seperti dalam “kajian BEM KM UGM” yang menyebut mahasiswa UGM yang tidak menonton debat capres sebagai LOL dan masih banyak lagi. Lebih parah lagi, sebenarnya berbagai organisasi mahasiswa satu sisi ingin mengkritisi pemerintah pusat, tapi pada kesempatan justru menghidupi wacana yang disponsori oleh negara dan borjuasi seperti SDGs, Disrupsi, Bonus Demografi, dan lain-lain untuk sebatas kegiatan event.

Hal ini menjadi penunjuk gejala berikutnya yang oleh Nugroho (2012) yang disebut sebagai “intelektualisme bazaar,” di mana seolah wacana pengetahuan “yang ilmiah” ditebar ke sana kemari tanpa memberikan sumbangsih yang jelas. Kita sering melihat berbagai kegiatan seminar, kompetisi lomba, konferensi, dan lain-lain lebih mirip ajang unjuk gigi untuk gagah-gagahan tanpa mengkritisi terlebih dahulu wacana pengetahuan yang mereka angkat. Orientasi dari kegiatan itu sama sekali bukan pengembanga keilmuan, tapi sebatas event organizer.

Refleksi ini menjadi penting, Saudara untuk melihat kembali permasalahan politik & politis yang sangat erat dan dekat dengan kita. Pertanyaannya, kemudian benarkah mahasiswa itu seorang “pejuang pemikir, pemikir pejuang.” Atau juga bisa dimaknai jangan-jangan proses ini sendiri terjadi karena mahasiswa itu sendiri sebagai rakyat dalam posisi tertindas, sehingga tidak sempat untuk melakukan produksi pengetahuan disebabkan terpaksa harus menghamba pada jebakan neoliberal untuk terus mempertahankan kegiatannya? Maka jangan-jangan kita tidak usah pusing seperti dengan membuat tipologi lain seperti “Intelektual Jalan Ketiga” untuk menjembatani kekuasaan dan masyarakat sipil serta pasar (Lay, 2019), mengingat semenjak level mahasiswa sendiri problem patologis kelindan antara kekuasaan, modal dan kampus telah terjadi.

Sekian yang dapat kami sampaikan, apabila ada kesalahan dan kata-kata yang kurang berkenan di hati, kami minta haturkan mohon maaf.

Wassalamualaikummusallam wr.wb.

DAFTAR PUSTAKA

Lay, Cornelis,”Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan,” (Makalah disampaikan pada Rapat Terbuka Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada 6 Februari 2019).

Nugroho, Heru,” Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam, (Makalah disampaikan pada Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada 14 Februari 2012 di Yogyakarta).

Santoso, Purwo,”Ilmu Sosial Transformatif,”(Makalah disampaikan pada Rapat Terbuka Majlis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada 19 April 2011).

———

Pidato wisuda ini kena screening oleh birokrat kampus. Tetapi tetap disampaikan ketika Anggalih maju ke mimbar pidato wisuda di Fakultas. Ucapan yang terlontar, “Apa itu screening-screening pidato wisuda?” untuk menunjukkan bahwa naskah pidatonya kena screening. Ia juga mengatakan, “Di kelas kita diajarkan untuk memperjuangkan kebebasan akademik, lho kok naskah kami malah di-screening dan diharuskan berisi motivasi ke wisudawan lain”.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0