“Bagi saya, manusia tidak bisa dibedakan anatara mereka yang beriman dengan mereka yang ateis. Tetapi dibagi di antara mereka yang tertindas dengan mereka yang menindas.” (Carlos Aleberto Libiano Chisto, Teolog Pembebasan)
“Orang yang diam ketika menyaksikan keburukan adalah setan bisu.” (Rasulullah SAW)
Mataram — Sejak kurun 2016 etnis Uighur jadi sasaran murka. Pemerintah Cina menyiksa mereka karena curiga: dianggap ingin melepaskan diri dari RRC, distigma terlibat dalam jaringan terorisme internasional, hingga dituding melakukan pemberontakan yang membahayakan penguasa. Hannah Arendt memberitahu prasangka dapat menyulut kekerasan terhadap sesama manusia. Kesewenang-wenangan yang menimpa 10 juta rakyat tak berdaya itu merupakan bukti nyata bagaimana pretensi-demi-pretensi dilemparkan untuk melegitimasi siksa.
Sudah 3 tahun lamanya ratusan ribu etnis Uighur dilucuti kemerdekaannya. Dalam kamp-kamp di Xinjiang mereka hidup terpenjara. Hanya saja Pemerintah Cina mendaku kamp itu menawarkan pendidikan dan pelatihan secara sukarela. Tetapi seabrek dokumen resmi serta hasil investigasi sejumlah jurnalis membeberkan fakta yang sebaliknya. Konsorsium Jurnalis Investigatif International (ICIJ) mendedahkan orang-orang yang ditahan harus ditempatkan ke dalam tempat yang disulap seiras penjara: keamanan tinggi, disiplin ketat, hukuman, dan tidak ada yang boleh keluar sampai sudah dipastikan tak berbahaya bagi penguasa.
BBC Indonesia bahkan mewartakan, dokumen lain mengonfirmasi skala luar biasa dari penahanan. Salah satu lembaran resmi yang bocor mengungkapkan ada 15 ribu orang dikirim ke kamp sampai mereka dapat mengubah perilaku, bahasa, bahkan kepercayaan. Pemerintah Cina begitu cerdik dalam melaksanakan meluncurkan kemanusiaan. Itulah mengapa penanggalan kebebasan dan penyiksaan terhadap etnis Uighur bisa disembunyikan. Ben Emerson QC selaku Pengacara HAM—sekaligus penasehat Kongres Uighur Dunia—menjelaskannya dengan kalimat sarat kegetiran:
“Sangat sulit untuk melihat semua ini selain sebagai skema cuci otak massal yang dirancang dan diarahkan pada seluruh komunitas etnis. Ini adalah transformasi total yang dirancang khusus untuk menghapus Muslim Uighur Xinjiang sebagai kelompok budaya terpisah dari muka bumi.”
Melalui dokumen lainnya disampaikan bahwa dengan mudah 40.557 orang ditahan karena dicurigai. Itulah mengapa Pemerintah Cina mendeklarasikan sikap bengis: jika tidak mungkin untuk menghilangkan kecurigaan mereka harus dikirim untuk pelatihan terkonsentrasi. Lembaran yang bocor menjelaskan juga bagaimana penguasa untuk melacak dan menangkap warga Uighur di luar negeri—tak peduli sudah memegang kewargaan negara yang sedang ditinggali.
Dalam kondisi umat yang seperti itu para pemimpin muslim terlihat bungkam. Mereka sepertinya cuma bisa simpati, bukan malah empati terhadap penindasan yang menimpa masyarakat Islam. Tokoh-tokoh kegamaan kemudian nampak tak lebih berani ketimbang seorang pesepak bola. Adalah Mesut Ozil rela menghadapi perlakuan diskriminatif Pemerintah Cina akibat keberaniannya memprotes angkara murka.
Pemain Liga Inggris itu tidak mencercah kebiadaban penguasa Cina dengan ceramah melainkan kenekadan seorang penyerang. Dia tak bisa mengalunkan ketangkasan bunyi Qur’an dan hadist dengan berang. Bahkan saat menentang kekuasaan diktator ia tidak mengenakan sorban, tasbih, maupun songkok haji—yang membuat dirinya kredibel—persis orang suci. Tetapi hanya bermodalkan seragam lapangan hijau dan naluri seorang pesepak bola, Ozil melayangkan tendangan pada gawang tirani. Ulah heroiknya seakan mencoba menyegarkan kembali maklumat dari Pramoedya Ananta Toer:
“Merasa kasihan tanpa berbuat sesuatu adalah sesuatu kemewahan yang tak berguna. Kalau benar perasaan itu murni, orang harus membantunya. Apakah dengan pikiran, perbuatan, atau pertolongan.”
Petuah menggugah dari Pram sepertinya diikuti Akademisi dan Peneliti Politik Islam melalui tulisannya yang penuh sangsi. Lewat penanya Hasnet Lais menelanjangi para tokoh keagamaan yang abai. The Independent mengabarkan proposisi hadir bukan saja menggunakan akal dan hati, tapi juga naluri penentang mereka yang lalai lagi lunglai:
“Keheningan memalukan politisi Muslim terkait kejahatan Cina terhadap Uighur lebih dari sekedar kisah pengkhianatan. Ini adalah kisah tragis tentang bagaimana globalisasi lebih diagungkan daripada hak asasi manusia.”
Dari Hasnet masyarakat Islam dunia diberitahukan pemerintah muslim gagal mendesak tindakan koersif Cina. Lemahnya mereka itu lebih disebabkan kerja sama Ekonomi Eurasia: program perdagangan, telekomunikasi, dan infrastruktur telah membuat negara pendukungnya bungkam dan membuta. Melalui kerja sama itulah para penguasa akan merekonstruksi Jalur Sutra untuk menghubungkan Cina ke pelosok Asia. Namun ambisi Presiden Xi Jinping justru membahayakan orang-orang ringkih tak berdaya. Karena untuk memperlancar distribusi komoditi—minyak dan gas—maka penguasa menghalalkan segala cara. Etnis Uighur yang mendiami jalan kapital kemudian sengaja dihardik dengan pelbagai prasangka. Tuduhan palsu dilontarkan hanya untuk membersihkan penduduk dari garis niaga, bukan karena ingin memberi pendidikan dan pelatihan yang begitu rupa.
Melalui kamp-kamp konsentrasi maka para warga Uighur dicuci otaknya. Pencucian dilakukan agar rakyat menyetujui, mendukung, dan berpikir lazim pada kebijakan yang akan dicanangkan penguasa. Xi Jinping tidak hanya berusaha menundukan rakyatnya sendiri, tapi juga membonsai negara lainnya. Mereka dikuasai bukan melalui senjata dan penjara, melainkan uang yang mencipta bahagia sekaligus membawa petaka. Itulah mengapa atas nama rekonstruksi Jalur Sutera maka penguasa Islam ditundukan lewat kekuatan dana. Adalah Pakistan yang bisa menjadi contoh utamanya: dia acuh-tak-acuh menentang pengekangan kemerdekaan muslim Uighur karena takut proyek-proyek pembangunannya berhenti dibiayai Cina.
Pakistan tidak sendirian berada dalam radius kekuatan modal Cina. Peneliti Turki Mustafa Akyol memaparkan pembukangaman telah menjalar ke mana-mana. Karena Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) berhasil dibuatnya kikuk. Dengan menjadi mitra utama OKI maka Cina mampu membuat banyak penguasa muslim takluk. Ketaklukan mereka itu semata guna mengamankan keuntungan dari Proyek One Belt. Lagi-lagi program ini menyangkut pemberian pinjaman dana pembangunan penebar penyakit. Tengok saja bagaiaman Partai Komunis Cina—yang sudah bersetubuh dengan kapitalisme—melayangkan korespondensi begitu menggonggong: Beijing akan membantu Turki mengamankan stabilitas ekonomi tetapi dengan syarat Ankara berhenti membuat pernyataan tidak bertanggung jawab soal kebijakan Cina terhadap etnis di Xianjing.
Turki mungkin masih bisa selamat dari ancaman kekuatan modal Cina karena pinjamannya tak seberapa. Tidak sama dengan Zimbabwe, Nigeria, Sri Langka, dan Indonesia: mereka semua berada dalam posisi tersandera. Indonesia saja—dari data Bank Indonesia—utangnya membumbung ke angkasa: 2014 total pinjaman luar negerinya adalah US$ 7.87 miliar, 2015 menaik jadi US$ 13.6 miliar, 2016 melambung sampai US$ 15.1 miliar, hingga 2018 sudah mencapai US$ 16 miliar. CNN Indonesia mengekspos soal investasi dengan negara-negara asia, Xi Jinping berkomitmen menganggarkan US$ 40 miliar. Itu semua agar perdagangan yang mengalir sejak 2000 tahun lalu di Jalur Sutera kembali segar, lancar, dan terutama menggiur-giur.
Mengetahui laba maha besar yang bisa dipetik dari Jalur Sutera maka Xi Jinping rela melancarkan usaha yang bertalu-talu. Dia secara cekatan membangun hubungan kerja sama dengan negara-negara Asia Selatan, Organisasi Shanghai, hingga berkelakar mengumumkan rencana dagangnya dalam KTT APEC di Beijing pekan lalu. Rentetan kerja konsolidasi yang dilakukannya penguasa-kapitalis berbaju komunis itu juga mengkin merembes tamu undangan dari Indonesia—pemimpin ormas Islam, sejumlah wartawan, beserta akademisi-akademisi—yang tempo hari ia jamu. Itulah mengapa Wall Street Journal (MSJ) menyebut, sejak isu Uighur kembali mencuat maka Cina mulai meluncurkan gelontoran dana agar gerakan perlawanan layu. Informasi MSJ sepertinya mencoba menjawab kenapa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) merespon penindasan terhadap sesama muslim secara kemayu.
CNN Indonesia mencoba menandingi pemberitaan yang mencoreng Ormas Islam. Dikabarkannya bahwa yang diundang tidak mengakui upaya persekusi gerakan. Mereka kemudian memberikan alasan, bantahan, bahkan hardikan. Muhammadiyah melalui Sekjen PP Muhammadiyah mengatakan organisasinya selama ini sudah menentang pelanggaran HAM di Uighur, sembari menegaskan: Muhammadiyah hanya akan bersikap kalau bukti punya kekuatan. Sedangkan Pimpinan NU Said Aqil Siroj—dalam buku yang diterbitkan oleh NU Cabang Cina—malah meminta warga, terutama muslim Indonesia untuk tidak memercayai pemberitaan media internasional yang baginya sarat kebohongan.
Boleh jadi berita yang di-counter itu merupakan fenomena yang sema seperti di Hongkong: untuk meredam perlawanan rakyat maka Cina mengerahkan bukan saja kekuasaan (negara juga agama) dan uang, tetapi pula dibantu media. Namun dalam konstalasi ini HMI Cabang Mataram angkat bicara. Rilis yang dikirimnya secara inheren berbaik pada ulama. Kabid PTKP Abdul Jamil, SH., menampakan kesan yang sependapat dengan pemimpin NU. Baginya pemberitaan MJS hanya mengada-ngada, tak jelas, dan kekurangan fakta.
“Bahwa tuduhan salah satu media Amerika terhadap beberapa Ormas Islam yang disuap oleh Cina adalah upaya mengadu domba umat muslim di dunia, khususnya di Indonesia,” nilai Abdul Jamil, Mataram, Selasa (24/12/2019).
Jamil tidak terlalu menyoroti persoalan ekonomi-politik global, tapi lebih menyoal lunturnya nilai kemanusiaan dan keagamaan di Xianjing. Dia mengutuk keras tindakan Pemerintah Cina yang nekad melarang pemakaian jilbab, membatasi ruang ibadah, dan menghardik kebebasan beragama yang seharusnya lentur menjadi tegang.
“Tindakan kekerasan dan larangan beragama terhadap muslim Uighur yang dilakukan oleh pemerintah Cina merupakan pelanggaran HAM dan penghianatan terhadap Universal Declaration of Human Right,” tekannya.
Melalui penghormatannya pada prinsip-prinsip kemanusiaan universal, terutama yang menjamin kebabasan beragama, menyatakan pendapat, dan berekspresi. Kabid PTKP itu bukan saja mengaharapkan bangkitnya protes-protes membela hak berkepercayaan, melainkan juga terbitnya persatuan solidaritas pembelaan dan mekarnya empati terhadap mereka yang dizalimi.
“HMI Cabang Mataram mengajak seluruh umat beragama di Indonesia untuk mendesak Pemerintah Indonesia agar menyuarakan dan membela etnis muslim Uighur. Sebab kemanusiaan itu universal, tidak terbatas pada agama, suku, dan perbedaan kulit sekalipun,” serunya.
Dirilisnya sikap HMI Cabang Mataram sesungguhnya bukan hanya mengajak masyarakat Indonesia, tapi juga pimpinan pusat maupun besar dari tiap-tiap OKP yang menyandang simbol keagamaan—terutama PB-nya sendiri. Paling tidak sepertinya ajakan ini juga berharap diresapi oleh Muhammadiyah dan NU agar bergerak bersama massa membuktikan omongannya supaya tak hanya jadi sekadar apologi. Ajakan itu juga sesungguhnya bagaikan sebuah pertanyaan: apakah kehidupan agama, politik, dan ekonomi sekarang dibebalkan oleh keberadaan dari kelas yang diramalkan Ali Syariati? Mereka adalah kelas Qabil yang tak pernah berpihak pada kaum miskin dan tertindas sama sekali(!):
“Wajah agamanya adalah wajah kelas pendeta yang telah mapan, wajah Bal’am Bauri, wajah-wajah para ulama dan biksu. Wajah kekuasaannya dimiliki Fir’aun, wajah para raja dan despot. Wajah emasnya dimiliki oleh Karun, wajah kaum kapitalis dan materialis…. Melalui tiga wajah inilah kelas Qabil melestarikan kekuasaannya atas massa sepanjang zaman. Kelas ini memonopoli kekayaan dengan memeras massa, memegang kekuasaan dalam bentuk pemerintahan, dan berbagai institusi untuk mendominasi massa, serta menyalahgunakan agama untuk membenarkan legitimasinya sebagai hierarki penguasa dalam sejarah.”
Penulis: Muhammad Afran