Nalar Naluri (Pegiat Social Movement Institute)
***
Selamat datang, Duhai penolong si fakir dan si miskin!
Selamat datang, Duhai ruh nan abadi, selamat datang!
Selamat datang, Duhai pembawa cangkir bagi pencinta, kami menyambutmu! –Sepenggal syair Mevlût, Süleyman Chelebi
Hantamlah orang hina untuk membuat mereka tunduk.
Berilah orang mulia untuk membuat mereka membalas dengan royal.
Lantaran orang hina itu berhati busuk dan congkak,
Neraka dan penghinaan adalah “lawang rendah” bagi mereka.
Sungguh Tuhan telah menciptakan dua tempat pemujaan:
Nereka untuk orang cendala dan kebahagiaan bertingkat-tingkat bagi orang berbudi. -Matsnawi
Maulid
Di Turki, maulûd atau mevlût berarti puisi atau sastra yang ditulis untuk memuliakan kelahiran Nabi, dan bahkan, secara lebih umum, kehidupannya. Namun, banyak umat muslim di berbagai penjuru dunia menyambut maulid dengan beragam cara, yang paling banyak di antaranya ialah dengan mendengarkan khutbah, melantunkan ayat suci, mendendangkan qawali-qawali,* membuat ghazal-ghazal yang indah, bersedekah kepada kaum miskin, dan menyalakan lentera.
Di Indonesia tak jauh berbeda, shalawat-shalawat banyak dilantunkan, qasidah dimainkan, mimbar khutbah berdengung, hadroh bertalu-talu, ada yang membaca tilawah, makan bersama di masjid, melakukan pawai obor dan menyalakan lilin, serta bersedekah untuk orang miskin.
Tentu tak semua umat muslim menganjurkan perayaan maulid, bahkan beberapa di antaranya secara terang-terangan menganggapnya terlarang. Mereka para teolog ortodoks menyatakan perayaan-perayaan semacam itu sebagai “mengada-ada” (bid’ah). Sang Pembaharu, Ibn Taimiyyah (w. 1328 M), terutama dengan penuh semangat menyerang peringatan-peringatan semarak seperti itu, “yang tidak dibenarkan dan juga tidak dilakukan orang-orang muslim kurun awal.”
Mereka yang bermazhab Hanbali dan mazhab Maliki, yang memiliki basis di Afrika Utara, dengan jelas menentang peringatan yang berlebih-lebihan pada 12 Rabi’ al-Awal itu―pada suatu hari yang adalah juga hari ulang tahun wafatnya Nabi Saw., baik musik maupun bersuka-ria diharamkan.
Tanpa mengurangi perhomatan kita terhadap baginda Rasulullah Muhammad saw, semoga kita mendapatkan syafaatnya, maka marilah kita merayakan maulid dengan mengenang dan menelisik kembali tauladannya sebagai Nabi orang tertindas dengan terus-menerus merapalkan syair-syair puitik cinta terhadapnya sekaligus menjaga nyala obor perlawanan.
Selama beberapa dasawarsa belakangan ini, tampak semakin banyak kecenderungan di seluruh Dunia Muslim untuk menggunakan maulid guna mengungkapkan gagasan-gagasan modernis. Di Pakistan, seluruh bulan Rabi’ al- Awwal diisi dengan mengingat Nabi Saw. dan peranan etika, politik dan sosialnya (Annermarie Schimmel dalam bukunya: Dan Muhammad adalah Utusan Allah).
Jika pada masanya musuh utama Nabi, kita ingat dengan nama Abu Lahab dan Abu Jahal, yang selalu mengusik jalan dakwah Nabi, mencampakkanya, bersikap pongah, selalu membangga-banggakan sifat borjuisnya, dan suka menindas rakyat kecil, maka sudah barang tentu wujud rupa Abu Lahab dan Abu Jahal itu di zaman kita sekarang bermetamorfosis dengan banyak wajah, dan di masa kini kita mengenal salah satunya yakni oligarki.
Marilah kita sejenak merenungi dan merefleksi kembali seruan-seruan sang pembebas yang ajarannya kini banyak ditinggalkan oleh mereka kaum muslimin yang larut dalam kedamaian palsu alih-alih menerapkan nilai Islam sebagai agama perlawanan.
Peringatan lahirnya sang Nabi dimaknai sebagai pembawa obor bagi dunia kelam, yang sinarnya sebagai penerang umat tertindas. Dia-lah sang pembebas para budak, menentang penguasa dzalim, dan berdiri bersama orang-orang miskin. Marilah kita bershalawat atas Muhammad Saw., mengenangnya dengan penuh kegembiraan sekaligus kesedihan.
Bulan 12 Rabi’ al – Awal adalah momentum bagi mereka yang memegang teguh panji Islam dengan tangisan yang tiada berhenti menetes di kala penguasa kian terang-terangan mempertontonkan kebiadapan keadilan, kesombongan yang dibalut dengan tipuan “kesederhananaan,” suka merangkul para kaum agamawan untuk diberikan kursi kekuasaan alih-alih menegakkan pilar-pilar kesucian ajaran Rasulullah.
Mencermati situasi hari-hari belakangan ini, nampaknya kita harus menjadi umat yang tak pernah bosan untuk mengutuk dan yang tak pernah gentar untuk melawan. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh kaum muda, pelajar, mahasiswa, buruh, tani, dan rakyat dengan tema “Reformasi Dikorupsi” tentu akan diberkahi oleh Allah SWT melalui perantaranya Muhammad Saw. Kanjeng Nabi pasti gembira melihat umatnya bersemangat menegakkan kebenaran.
Kelahiran Muhammad Saw. telah memberikan syafaat buat kita semua, memberikan harapan yang bersinar, kegembiran yang terus menerus bergetar, menghapus kesedihan atas penindasan, membuat bumi dan langit saling mengecup hingga orang-orang takjub memandangnya, bintang gemintang pun tersenyum menyambut kedatangannya.
Tak heran, hamburan rangkaian kata cinta dipahat dengan indah menggambarkan sosoknya yang agung, bagi siapapun hatinya tergugah, tak terbatas pada kaum muslimin, Perdana Menteri Negeri Hyderabad yang beragama Hindu menuliskan, “Apakah aku kafir atau mukmin sejati Allah saja yang tahu, siapa diriku ini! Namun yang kutahu: aku pelayan sang Nabi, Sang penguasa Madinah, Kota Suci.”
Ketika Dia lahir semua orang bahagia, membawa hawa sejuk, tanaman bunga bermekaran, kebun-kebun petani tumbuh subur, jin, manusia, bintang-bintang mengucapkan selamat atas kedatanganya di bumi. Kala itu cahaya menerangi rumah Aminah, Dia lahir dengan pancaran cahaya, Mariyam (ibunda Isa as) dan Asiyah (Istri Firaun) perempuan-perempuan suci membantu Aminah dalam persalinan.
Nabi kita tercinta Muhammad Saw hadir dengan keagungannya di hadapan kita dan membawa rahmat yang melimpah bagi setiap orang membaca shalawat atasnya.
Tasawuf Progresif
Tasawuf atau mistisisme adalah ilmu peleburan, reuni bersama Ilahi, mereka yang menekuni ilmu ini adalah mereka yang telah menapaki jalan tertinggi dalam jalur keberislaman, makrifatullah. Tak hanya berasik-asik dengan ekstase menari singularitas, melainkan aktivisme praksis (tanggung jawab sosial) mereka berada dalam lingkungan sosial semestinya menjadi ukuran bahwa ia telah menjalankan tradisi tasawuf dengan baik.
Indonesia bukan hanya surplus angkatan muda yang siap menjadi tenaga kerja serta kelak (jika revolusi tak pecah) akan dimanfaatkan oleh Negara dan para kapitalis untuk menghasilkan pundi-pundi laba. Namun kini, Indonesia juga surplus Habib, Kiyai, maupun Ustadz yang jamaahnya melimpah merentang dari ujung pulau Sumatera hingga sudut timur Papua.
Namun kita masih menantikan figur pemberontak yang berani menentang kekuasaan dzalim, membela hak orang miskin, atau misalnya ikut turun ke jalan untuk mendukung tuntutan kaum muda, mahasiswa, buruh, tani, dan rakyat dalam tema yang bau gosongnya masih melekat diingatan kita: pengkhianatan Negara.
Orang-orang yang gugur terjun langsung ke medan pertempuran melawan kedzaliman dan penindasan mendapat penghargaan yang cukup tinggi di mata Tuhan sebagaimana ada pada tradisi sufi, selain dijamin oleh Allah SWT diampuni dosanya juga diganjar Surga. Setidaknya doa-doa khusus dibuatkan kepada mereka dan tercantum di buku tahlil: memanjatkan doa kepada Syech Abdul Qadir al- Jilani, kepada mereka para syuhada dan mereka yang telah berada di alam kubur.
Jalaluddin Rumi melukiskan peran syuhada dengan cukup tegas dan radikal dalam Matsnawinya, “jika seorang syuhada kotor oleh darah, janganlah kau cuci darah itu. Darah itu lebih baik ketimbang air di mata syuhada.”
Indonesia memiliki sangat banyak tradisi tareqat-tareqat lengkap dengan majelis-majelisnya. Salah satunya ialah tareqat Qadirriyah. Tarekat ini adalah salah satu tarekat dengan jumlah pengikut terbesar pada abad ke 12 hingga kini.
Komunitas tarekat Qadirriyah adalah perkumpulan sufi yang paling kuat di Aljazair Barat, kepala tarekat itu ialah pria tua bijak yang bernama Muhiddin. Beliau merupakan tak lain dan tak bukan adalah bapak dari Syekh Abdul Qadir Al Jilani.
Tarekat Qadiriyah yang kemudian dititpkan kepada Syech Abdul Qadir Al Jilani di masa kolonialisme Prancis atas Aljazair, menjadi riuh dan bermakna luhur. Beliau begitu gagah dan heroik di mata dunia. Perlawananya atas kolonialisme dan penindasan serta ketidakadilan hadir dengan berani menentang itu semua.
Beliau adalah Amirul Mukminin yang pernah ada dan selalu membekas di hati para kaum Muslimin.
Eugene Rogan menuliskan kisahnya dalam sebuah buku tebal, Dari Puncak Khilafah (sejarah Arab-Islam sejak era kejayaan khilafah Utsmaniyah), Dia (Syech Abdul Qadir) telah menjadi pemberontak yang disegani dan ditakuti oleh pemerintah kolonial Prancis. Sosoknya berwibawa dan rupanya yang tampan tak menghilangkan sifat kecerdasan dan ilmu keugahariannya di tengah masyarakat.
Victor Hugo memuji Abdul Qadir Jailani dalam bait le beau soldat, le beau prêtre ― yang berarti, “prajurit tampan, imam tampan”. Petualanganya diabadikan dalam lukisan minyak yang indah oleh seniman zaman Romantis, Horace Vernet (1789-1863).
Kita mempunyai banyak sufi yang mengajarkan arti kesetaraan, berani menentang penguasa, berbuat kebajikan membela orang miskin dan menolak menikmati status quo. Hagiografi sufi Tadzkiratul Auliya yang dituliskan oleh Fariduddin Attar misalnya, menceritakan salah satu dari sekian banyak figur sufi, sebut saja Fudhail Ibnu Iyadhl, sosok yang berani menasehati (menentang) khalifah Harun al-Rasyid. Ceritanya begitu sayang untuk dilewatkan, begini ceritanya.
Suatu malam, Harun al-Rasyid memanggil Fazal Barmaki, anggota istana favoritnya. “malam ini, bawa aku menemui seorang yang bisa menunjukkan kepadaku jati diriku yang sebenarnya,” kata Hasan pada Fazal. “Hatiku semakin lelah dengan segala kebesaran dan kebanggaan.”
Fazal membawa Harun ke rumah Sufyan al-Uyainah. Mereka pun mengetuk pintunya.
“siapa itu?” Sufyan bertanya.
“pemimpin Kaum Mukmin,” jawab Fazal.
“mengapa Sultan sampai harus repot-repot?” tanya Sufyan.
“seharusnya aku diberi tahu, sehingga biar aku saja yang menghadap.”
“Bukan orang ini yang kucari,” ujar Harun. “Dia menjilatku seperti yang lainnya.”
Mendengar apa yang terjadi, Sufyan berkata, “bila demikian, Fudhail bin Iyadh-lah orang yang engkau cari.” Kemudian, ia membacakan ayat ini: Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh?
“Jika aku mencari nasihat-nasihat yang baik, maka ini akan mencukupi,” ujar Harun.
Mereka pun mengetuk rumah Fudhail.
“siapa itu?” tanya Fudhail.
“Pemimpin Kaum Mukmin,” jawab Fazal.
“Ada urusan apa Sultan denganku, dan apa yang harus kulakukan dengannya?” tanya Fudhail.
“Bukankah sudah menjadi kewajiban untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?” sergah Fazal.
“Jangan ganggu aku,” seru Fudhail.
“Haruskah aku masuk dengan daulat atau dengan perintah?” tanya Fazal.
“Tak ada yang namanya daulat,” jawab Fudhail. “seandainya engkau masuk secara paksa, engkau tahu apa yang engkau lakukan.”
Harun pun masuk, namun Fudhail memadamkan lampu supaya tak ada yang dapat melihat wajahnya. Harun mengulurkan tangan, dan disambut oleh tangan Fudhail.
“Betapa mulus dan lembut telapaknya, semoga saja bisa lolos dari api Neraka!” ujar Fudhail.
Setelah mengatakanya, Fudhail pun bangkit dan mulai berdoa. Harun sangat tergugah dan tak bisa menahan isak tangis.
“katakan sesuatu padaku,” sang sultan memohon. Fudhail mengucapkan salam, kemudian berbicara.
“leluhurmu, paman Nabi, pernah meminta kepada beliau, ‘Jadikanlah aku pemimpin bagi sebagian umat manusia.’ Nabi menjawab, ‘Paman, sesaat tadi aku mengangkatmu menjadi pemimpin dirimu sendiri.’ Dengan jawaban ini maksud Nabi adalah ‘Sesaat mematuhi Allah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi oleh umat manusia.’ Kemudian Nabi menambahkan, ‘Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan pada hari Kebangkitan nanti.’”
“Teruskan lagi.” Harun memohon.
“Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah,” Fudhail mengisahkan, “ia memanggil Salim bin Abdullah, Raja’ bin Hayat, dan Muhammad bin Ka’b. ‘Hatiku gundah karena cobaan ini,’ ia memberi tahu mereka. ‘Apa yang harus kulakukan? Karena aku tahu jabatan tinggi ini adalah cobaan, meskipun orang lain menganggapnya anugerah.’ Salah seorang menanggapi, ‘Bila engkau berharap bisa terhindar dari hukuman Allah, pandanglah setiap muslim lanjut usia seolah mereka ayahmu, dan perlakukan muslim yang lebih muda sebagai saudaramu, anak-anak muslim sebagai anakmu sendiri, perlakukan mereka sebagaimana engkau memperlakukan ayah, saudara dan anak.’”
“Teruskan lagi,” ulang Harun.
“Negeri-negeri Islam sebagai rumahmu sendiri, dan penduduknya sebagai keluargamu,” kata Fudhail. “Kunjungi ayahmu, hormati saudaramu, dan berlaku baiklah pada putramu. Aku sayangkan,” tambah Fudhail, “bahwa wajah tampanmu itu akan terbakar hangus oleh api Nereaka. Takutlah pada Tuhanmu, dan patuhi perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikap bijaksana; karena pada hari kebangkitan kelak, Allah akan meminta pertanggungjawabanmu mengenai setiap muslim yang ada, dan Dia akan mencari tahu apakah engkau berlaku adil terhadap semua orang. Jika ada seorang wanita sepuh yang tertidur dalam keadaan lapar, pada Hari itu dia akan menarik pakaianmu dan akan memberi kesaksian yang memberatkan dirimu.”
Harun menangis tersedu-sedu, sampai-sampai kesadaranya mulai hilang.
“Cukup! Bisa-bisa Pemimpin Kaum Mukmin terbunuh karenamu,” tegur Fazal sang wazir.
“Diamlah, Haman,” seru Fudhail. “Engkau dan makhluk-makhlumulah yang menghancurkannya, dan kau berkata akulah yang membunuhnya. Apakah ini pembunuhan?”
Mendengar kata-kata itu, tangisan Harun semakin menjadi-jadi.
“Dia menyambutmu Haman,” kata Harun kepada Fazal, “karena dia mempersamakanku dengan Firaun.” Kemudian, berpaling kepada Fudhail, ia bertanya,
“Apakah engkau punya utang yang yang belum dilunaskan?”
“Ya,” jawab Fudhail. “Utang kepatuhan kepada Allah. Seandainya Dia memaksaku melunasi utang ini, habislah aku!”
“Maksudku adalah utang kepada manusia, Fudhail,” kata Harun.
“Aku bersyukur kepada Allah,” tangis Fudhail, yang telah mengaruniakanku sedemikian berlimpahnya, sampai-sampai tidak ada keluhan yang bisa kusampaikan kepada abdi-abdi-Nya.”
Kemudian Harun meletakan sekantong berisi seribu dinar di hadapannya.
“Ini uang halal, dari warisan ibuku,” katanya.
“Pemimpin Kaum Mukmin,” kata Fudhail, “nasihat-nasihat yang kusampaikan kepadamu ternyata sia-sia belaka. Engkau bahkan telah memulai lagi perbuatan keliru dan mengulangi kezaliman.”
“Kekeliruan apa?” desak Harun.
“Aku menyerukanmu ke jalan keselamatan, sementara kau malah menggiringku ke dalam godaan. Ini benar-benar kekeliruan,” kata Fudhail. “sudah kukatakan, berikan apa yang kau miliki itu kepada yang berhak. Engkau malah memberikannya kepada yang tidak pantas menerimanya. Sia-sia saja tadi aku berbicara.”
Setelah mengatakannya, dia menjauh dari hadapan sang khalifah dan melempar emas itu ke luar pintu.
“Ah, sungguh manusia luar biasa!” seru Harun ketika meninggalkan rumah Fudhail. “Sesungguhnya, Fudhail-lah raja bagi manusia. Keangkuhannya sungguh ekstrem, dan dunia itu sangat remeh di matanya.”
Demikianlah cerita indah itu berakhir, saya membayangkanya andaikan sosok Harun al Rasyid itu digantikan oleh Presiden Jokowi dan Fudhail diperankah oleh Kiyai Makruf, pastinya kekuasaan saat ini bisa “remuk.” Tapi namanya juga berandai, toh nyatanya saat ini memang kekuasaan sedang mengalami “gemuk” oligarki.
Saudara-saudariku yang terhormat, pada bulan maulid ini, semoga kita senantiasa mendapat syafaat, selalu tercurahkan rahmat dan hidayahNya, menjadi pribadi yang berani menegakkan kebenaran, berpandangan jernih dan tak rabun melihat ketidakadilan, tidak memposisikan diri di tengah-tengah dalam menakar neraca kebijaksanaan.
Potongan kuplet berima dari matsnawi Rumi kiranya pantas untuk mewakili: “Berpantanglah; pantang dari pikiran-pikiran samar. Karena ada singa di dalam gurun (pemikiran) itu.”
*Catatan penulis: Ode-ode yang diiringi tabla, sitar, harpa, yang dikomando oleh seorang yang kemudian diikuti oleh vocal group, lantunannya berisi atas cinta terhadap Nabi Muhammad, tak jarang baik mereka yang memainkanya maupun yang mendengarkanya dapat mengalami transendensi, musik yang kualitasnya menakjubkan ini banyak dijumpai di Negara India dan Pakistan.