Memaknai Keberlangsungan AKSI KAMISAN JOGJA

oleh Yose Rizal Triarto

Menuliskan opini tentang Aksi Kamisan Jogja sebagaimana yang telah rutin dilakukan oleh kawan-kawan Social Movement Institute (SMI) sejujurnya bukanlah sebuah hal yang mudah. Yang membuat saya pergi berlari membuka-buka halaman internet untuk mencari bahan tulisan ini selama seharian, yang justru pada akhirnya malah membuat saya terdiam, stuck, menyerah dengan data dan kata, sebelum akhirnya saya putuskan untuk menuliskan opini ini menurut sudut pandang pribadi – hati nurani saya sendiri.

Jujur, awalnya saya memang tertarik dan pengen kaos gratis dari Social Movement Institute (SMI) dengan warna hitam dan tulisan obor merah menyala Suluh Pergerakan. Amat kontras dengan background kaos hitamnya. Terlihat simpel, keren dan berani memang. Tapi apa iya sesederhana itu konsep pembuatan kaosnya? Entah kenapa setelah membaca-baca liputan kegiatan Aksi Kamisan Jogja sendiri, lalu saya amati lekat-lekat gambar kaos gratisan itu rasanya saya mendapat impresi kesan kuat bahwa walau saat ini background dunia sekeliling yang boleh saja berwarna gelap, pastilah masih ada secercah harapan, obor keberanian Suluh Pergerakan yang semoga saja masih akan terus ada dan dibawa oleh kawan-kawan anggota dan simpatisan Social Movement Institute (SMI) ke depannya. Amiin.

Baiklah saya akan sebutkan dengan jujur kenapa rasanya sulit sekali menulis tentang Aksi Kamisan Jogja yang saya sebutkan di awal tadi. Pertama, walaupun saat ini saya telah berdomisili di Jogja sejak awal Februari 2014 yang lalu, belum pernah sekalipun saya mengikuti Aksi Kamisan tersebut. Paling banter yang saya tahu adalah melihat sepintas kegiatan Aksi Kamisan itu di Tugu Pal putih dari dalam bus TransJogja sepulang dari beberapa pekerjaan freelance saya. Itu pun hanya sekali dua kali saja. Selebihnya saya beruaha mencari tahu apa itu kegiatan Aksi Kamisan Jogja lewat jelajah di dunia maya yang memang bisa saya lakukan saat ini. Jadi bagaimana bisa saya menuliskan satu hal yang belum pernah saya lakukan sama sekali? Bukankah ini sama artinya saya ingin berjalan-jalan di bulan padahal kedua kaki saya masih menjejak erat di bumi?

Kedua, saya tahu pertama tadi memang masih sepintas, kemudian akhirnya makin serius setelah saya membaca-baca liputan kegiatannya di beberapa media online bahwa Aksi Kamisan Jogja bukan sekedar aksi biasa. Aksi Kamisan Jogja ada sebagai bentuk representasi diam namun terus aktif bertanya dan meminta kepada siapa saja, pemerintah khususnya, dan masyarakat umum lainnya yang melihat, mengetahui, mendengar, dan merasakan tentang apa yang dibawakan dalam tiap kegiatan aksinya. Mohon maaf bila saya salah mengartikannya dan silahkan koreksi saya untuk hal ini juga. Nah jadi bagaimana bisa saya menuliskan opini tentang suatu kegiatan yang dengan sadar telah dilakukan secara terus menerus dengan tidak melulu memikirkan soal untung ruginya secara serentak, solidaritas tanpa jemu? Rasanya sampai sini saja saya sudah merasa unworthy banget. Karena bagaimanapun saya masih memikirkan kebutuhan dan ekonomi keluarga dalam kesehariannya.

Tapi akhirnya saya putuskan untuk tidak ingin menyerah dengan pertanyaan dan kedua hal tersebut. Walau secara pribadi belum pernah ikut Aksi Kamisan Jogja secara langsung dan masih menanggung kebutuhan keluarga tiap harinya, bukan berarti saya berhenti dan tidak mencoba menulis. Anggaplah opini ini berasal dari far experience, pengalaman jauh, seseorang di luar kawan-kawan anggota dan simpatisan Social Movement Institute (SMI). Tidak ada rugi dan salahnya menulis dan membacanya bukan?

Kamis, 18 Januari 2007 adalah hari pertama berlangsungnya Aksi Diam di depan Istana Presiden. Sebagaimana namanya, Aksi Kamisan adalah salah satu kegiatan pada hari Kamis yang dilakukan rutin bersamaan di beberapa kota-kota di Indonesia. Dalam Aksi Kamisan umumnya membawa isu-isu sosial yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Awalnya Aksi Kamisan diprakarsai oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang kemudian menjalar hingga ke beberapa kota di Indonesia, salah satunya Yogyakarta.

Aksi Kamisan menjadi salah satu kegiatan rutin pada hari Kamis yang dilakukan serentak di beberapa kota-kota di Indonesia. Dalam Aksi Kamisan umumnya mengusung isu-isu sosial yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Awalnya Aksi Kamisan diprakarsai oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang kemudian menjalar hingga ke beberapa kota di Indonesia, salah satunya Yogyakarta.

Di Jogja sendiri kegiatan Aksi Kamisan rutin dilakukan setiap hari Kamis di pusat titik kota Yogyakarta, tepatnya di Tugu Pal Putih pada sore hari. Aksi Kamisan selalu konsisten mengusung isu-isu yang terkait dengan HAM, lingkungan dan lain-lain. Aksi tersebut memiliki sebuah jargon yang sering diucapkan beberapa peserta Aksi Kamisan di Jogya, yakni “Merawat Ingatan, Melawan Impunitas”. Jargon atau kalimat tersebut terus disuarakan bertujuan untuk mengingatkan kita atas pelanggaran HAM yang terjadi era orde baru hingga reformasi saat ini.

Tak jarang Aksi Kamisan juga dilakukan sebagai aksi solidaritas atas penindasan, penggusuran, pembungkaman dan hal-hal lain yang merongrong kesejahteraan masyarakat. Kesadaran masyarakat terhadap ketidakadilan yang terjadi menjadi dorongan beberapa peserta untuk memutuskan ikut dan tergabung dalam aksi  tersebut, khususnya di Yogyakarta.

Peserta Aksi Kamisan di Yogyakarta umumnya didominasi oleh kalangan mahasiswa maupun masyarakat sipil. Peserta aksi itu di Yogyakarta, memiliki konsep aksi diam, yaitu dengan berdiam diri beberapa waktu disekitar area Tugu Pal Putih dengan membentangkan poster-poster propaganda atau tuntutan atas ketidakadilan yang terjadi sesuai dengan isu yang diangkat saat Aksi Kamisan berlangsung,

Walaupun beberapa kali dilakukan dengan adanya beberapa orasi dari peserta Aksi Kamisan, hingga sampai saat ini Aksi Kamisan Yogyakarta tetap dalam konsistensinya untuk terus menyuarakan ketidakadilan yang terus terjadi di masyarakat. Mereka berjuang untuk terus mengingatkan kita bahwa kehidupan sedang tidak baik-baik saja.

Diam dan berdiri sebagai pilihan,  karena “diam” tidaklah berarti telah kehilangan  hak-hak sebagai warganegara,  dan “berdiri” melambangkan  bahwa korban ataupun keluarga  korban pelanggaran HAM adalah warga negara  yang tetap mampu berdiri untuk menunjukkan  bahwa punya hak sebagai warga di bumi pertiwi Indonesia dan sadar bahwa hak itu tidak gratis bisa didapat, terlebih-lebih  ketika pemerintah  tidak mau peduli.  Diam, juga untuk menunjukkan diri sebagai bukan perusuh, bukan warganegara yang susah diatur dan juga bukan warganegara  yang membuat bising  telinga,  tetapi tetap menuntut  pemerintah  untuk tidak diam.

Bagi saya, keberlangsungan Aksi Kamisan juga bermakna totalitas kesadaran akan hidup dan kemanusiaan yang lebih luas. Kehadiran aksi dalam diam memberi sebentuaksik tanda eksistensi bahwa sebagai manusia peserta Aksi Kamisan dari kawan-kawan anggota dan simpatisan Social Movement Institute (SMI) telah dan terus dengan sadar memberikan dan mendidik kita semua bahwa sekali lagi hidup ini harus berubah dan tidak boleh menyerah. Semoga Aksi Kamisan Jogja tetap terjaga konsistensinya, akan terus ada dan membawa perubahan yang nyata. Amiin.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0