“Hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak pantas dijalani” -Socrates
Prabowo dibesarkan tidak dengan kata kalah. Meski tiga kali berusaha mencapai tangga Presiden dan tetap kalah, tapi dirinya tidak menyerah. Kepribadiannya yang dipuji sekaligus dikritik telah menciptakan bayangan kebesaran padanya. Prabowo berbeda dengan SBY, apalagi Luhut. Tidak segan bersekutu dengan kelompok konservatif dan mahir membina hubungan dengan siapa saja.
Prabowo tumbuh di lingkungan elite dan dibesarkan dengan keyakinan kalau dirinya memang penting. Meski pernah dihukum gara-gara perkara penculikan, tapi dirinya jadi pusat kesetiaan banyak anak buahnya. Tim Mawar yang disebut belakangan telah jadi nama yang dikaitkan terus pada dirinya. Tim Mawar adalah masa lalunya yang memang terus berusaha menghantui karir politiknya.
Jauh berbeda dengan SBY apalagi Wiranto, dirinya memainkan isu nasionalisme, patriotisme, hingga keadilan pada batas yang menjangkau logika awam. Mereka inilah yang berada di posisi pinggir, yang dikalahkan oleh pembangunan, dan terus-menerus merasa terancam. Tampilannya menjadi mimpi kebesaran banyak rakyat yang terus saja merasa kecewa dengan hasil demokrasi.
Prabowo bicara penuh semangat dengan retorika yang menyerang. Baginya, keadilan adalah kosa kata yang terus dipompakan. Meski secara keagamaan Prabowo tidak punya sejarah cemerlang di gerakan Islam, tapi dirinya dipercaya sebagai penerus cita-cita ulama. Setidaknya, ulama yang memutuskan untuk memilih dirinya. Prabowo berusaha memenuhi imaginasi umat yang sampai sekarang merasa ‘minoritas’.
Maka, gema isu yang dibawakan khas pendekatan keamanan: Indonesia terus dijajah, terancam oleh kekuatan China, dihantui oleh komunisme, hingga disesatkan oleh paham liberal. Isu-isu itu beredar dengan volume luar biasa hingga rakyat awam bersedia melakukan apa saja untuk kemenangan Prabowo. Tidak pernah dalam sejarah politik orang mendukung dengan menyatakan kebencian pada musuh politiknya lewat cara vulgar, tidak masuk akal, dan tidak beradab.
Di tangan Prabowo, politik memang bernuansa pertarungan. Medan laganya bisa di kotak suara dan bisa pula di jalanan. Sasaranya bisa siapa saja: para petahana maupun panitia pemilu yang ditengarai berbuat curang. Maka, ekspresi politik yang dibawakan adalah menepis semua fakta, tidak mempercayai survei , bahkan percaya kalau dirinya memang didzalimi. Cara yang memang mujarab.
Ternyata gaya berpolitik seperti ini mengail suara banyak. Gerindra meroket posisinya ke empat besar di antara PDIP, Golkar, dan PKB, mengalahkan jauh Demokrat partainya SBY apalagi Hanura yang didirikan Wiranto. Pencapaian Prabowo dalam berpolitik tidak sekedar meraih dukungan fanatik dari pendukungnya, tapi menempatkan partainya duduk di posisi tertinggi.
Pasti ada banyak jawaban mengapa situasinya bisa seperti ini? mulai dari efek ekor jas, hingga jas Prabowo yang memang memikat banyak pemilih. Tapi semuanya itu memberi petunjuk betapa labilnya sistem politik yang kita bangun. Karena, politik tidak melibatkan partisipasi kritis, tapi mobilisasi yang mengumbar perasan fanatis. Kita memang tahu, partai politik tidak mampu untuk mengembangkan kesadaran politik yang demokratis dan kurang cakap mengelola diri sebagai partai modern.
Tidak demokratis itu tampak dari bagaimana pola pengelolaan partai masih didominasi oleh pendiri, keluarga, hingga sekutunya. Rentan konflik, mudah diintervensi, dan tidak mandiri. Bahkan, sebagai partai politik, mereka kurang mengakar dan tidak memiliki basis yang kuat. Riset Edward Aspinal dan Ward Berenschott membuktikan itu semuanya. Wajar jika kemudian aktor politik tampil individual, mengatakan sesuatu sesukanya, dan gilanya didukung oleh pengurus hingga massa pendukungnya.
Gerindra berbeda dengan Demokrat apalagi PDIP, tetapi partai ini punya kesamaan: menampilkan figur sentral ketua Partai, mendukung semua pernyataan ketua Partai, dan memberikan kebebasan sepenuhnya pada ketua Partai. Pasti kepribadian Mega, SBY, dan Prabowo berbeda, tapi ketiganya juga punya kesamaan pandangan: demokrasi yang dicapai ini pantas dilindungi dan tuntutan politik radikal apapun musti diakomodasi dalam sistem yang ada.
Hanya kali ini, Prabowo muncul dengan gaya berpolitik yang baru: mengail kerisauan rakyat pada keadilan menjadi soal raksasa dan itu dipecahkan bukan melalui teori revolusi, tapi kepercayaan bahwa dirinya yang bisa mengatasinya. Resep ini memang agak hiperbolik, tapi hebatnya resep ini mendapatkan dukungan luar biasa, bahkan orang berani mempertaruhkan nyawa untuk mencapainya.
Prabowo bukan fenomena, tapi itulah benih dari gagalnya bangunan demokrasi. Tidak mampu secara progresif mendesak barisan status quo dan memberi pintu kesempatan luas untuk tampilnya kekuatan lama. Pada ujung pidato terakhirnya, Prabowo meminta massa untuk tidak berunjuk rasa di gedung MK dan semua menganggap itulah pidato terbaiknya. Kini, Prabowo bukan hanya orang penting, putera terbaik, tapi juga manusia baru.
Yang selalu ingin dilepaskan dari citra Orba, yang selalu dipercaya sebagai ksatria oleh pendukungnya dan bahkan jadi juru selamat bagi masalah bangsa. Meski dibesarkan dalam keluarga kaya raya, selama Orba hidup di seputaran Istana, tapi Prabowo kini merajut jejak baru: Pemimpin yang berusaha taat konstitusi dan percaya pendukungnya mampu melakukan apa saja untuknya.
Pertanyaan besarnya kalau kemudian Prabowo kalah di MK, apa yang musti dilakukan oleh pendukungnya? Ya, mari kita saksikan bersama, karena soal ini tidak ada lembaga survei yang mencoba meramalkanya!(*)