“Saya melakukan ini karena Anda, orang dewasa, tidak peduli masa depan saya” -Greta Thunberg, Inisiator Mogok Sekolah untuk Iklim
Bayangkan kalau tiba-tiba ada pengumuman bahwa sekolah sejak saat ini bubar! Saya rasa ini menjadi pengumuman yang menggembirakan untuk semua siswa sekolah. Mereka tidak lagi harus bangun pagi, tak lagi mengerjakan PR, tak lagi dituntut untuk meraih nilai tinggi, dan yang penting sekali tak lagi harus ikut aturan yang sebenarnya banyak dari mereka tak setuju. Siswa-siswa akan hidup dengan siklus yang menyenangkan, berbeda, dan penuh kejutan.
Paling tidak mereka akan bangun sesuai keinginan masing-masing. Lalu orang tua akan mengajak bicara untuk pertama kalinya tentang kegiatan apa hari ini. Sungguh hubungan yang berubah adalah antara orang tua dan anak. Biasanya ketika ada sekolah, orang tua dengan gampang menyerahkan semua urusan ke sekolah: mulai dari pelajaran hingga moral. Bahkan, banyak orang tua yang sangat senang kalau anak sekolah berasrama karena tak ada urusan lagi. Tahunya mereka, anak masuk asrama, orang tua bayar, dan berapa tahun kemudian anak berubah seperti yang diiklankan oleh asrama.
Lalu mereka akan berteman dengan sesamanya tanpa sekat. Tidak ada yang bodoh dan pintar karena ujian ikut lenyap. Tidak ada lagi yang kaya dan miskin karena sekolah kita hancurkan. Biarkan anak bergaul mengikuti nalurinya sebagai anak serta semua pengetahuan didapatkan mengikuti kebutuhan mereka masing-masing. Hilang rasa senioritas yang dulu dengan cara brutal diterapkan di sekolah. Tiap anak tak lagi dihargai berdasar atas prestasi atau jenjang, tapi rasa pertemanan yang secara naluriah akan membimbing mereka untuk belajar hormat-menghormati.
Bahkan mereka tak lagi berbuat berdasar petunjuk. Sekolah yang terus menerus melakukan indoktrinisasi tentang peraturan jadi konyol karena anak jadi kehilangan kreativitas dan ide militan. Kebutuhan untuk mengatur di antara anak-anak disepakati bersama mereka dan berdasar atas kebutuhan mereka. Tiap anak jadi lebih bebas meyarankan apa yang baik untuk mereka dan tiap anak dapat mengusulkan kegiatan apa yang cocok untuk saat ini. Paling penting, mereka belajar untuk tanggung jawab karena diberikannya kebebasan.
Tentu yang paling menggairahkan mereka belajar atas dasar kebutuhan. Proses belajar tak harus berakhir dengan ujian, tapi bisa juga dengan petualangan. Anak-anak memang mula-mula tak terbiasa dengan lenyapnya sekolah, tapi pasti akan gembira karena hari-hari mereka jauh lebih berwarna. Belajar bukan dari paket bacaan yang pastinya bermuatan tes isian yang menjenuhkan, melainkan pengalaman langsung yang pasti menggembirakan. Ingatlah pada musim libur, anak-anak akan memutuskan belajar dengan cara berbeda, mengetahui apa saja dengan rasa gembira, dan percaya kalau pengetahuan tak harus melalui sekolah.
Pasti mereka akan punya ide kreatif yang unik, mengejutkan, dan pastinya heboh. Teknologi hari ini yang tak mungkin mampu dikejar oleh kurikulum sekolah bisa dimanfaatkan oleh mereka dengan cerdik. Coba lihat para pahlawan media sosial yang besar dan terkenal muncul, pastinya bukan karena ketataan pada pelajaran. Tak ada pelajaran sekolah yang mendidik Anda untuk meraih follower yang banyak. Bahkan mana ada pelajaran sekolah bagaimana membuat quote-quote yang keren. Singkatnya, anak-anak akan menemukan kegairahan baru seiring dengan bubarnya sekolah.
Sekolah kemudian berperan sebagai situs masa lalu. Bisa jadi bahan kunjungan dan pelajaran. Biarkan tempatnya tetap berdiri untuk mengenang apa yang sudah dilalui oleh banyak generasi. Bangkunya yang coklat bisa jadi kisah yang mengharukan. Papan tulisnya yang kusam dapat jadi pelajaran di masa depan tentang konyolnya pengetahuan yang diperagakan saat itu saat anak-anak masih diminta mencatat ulang hingga menghapalkannya. Kaos olah raga, baju seragam, hingga buku pelajaran dapat digunakan sebagai kenangan atas loyalitas semua anak muda pada institusi sekolah. Tiap anak bisa bercerita tentang sekolah dan ketika sekarang dibubarkan, tiap anak juga bisa mengatakan manfaatnya.
Juga, guru-guru tidak lagi dibebani harus mengajar anak-anak yang kadang menyebalkan. Mereka bebas untuk mengajar siapa saja yang perlu. Jika tak ada yang butuh guru, mereka dapat berkarya apa saja: misalnya seperti membuat buku yang tak seperti buku pelajaran, menciptakan motivasi untuk gemar membaca dengan cara baru, dan yang penting mendidik anak guru sendiri. Guru-guru akan lebih santai, tidak dibebani harus menciptakan anak unggul, dan yang penting tak harus mengikuti kurikulum yang gonta-ganti. Guru akan mendidik siapa saja yang mereka inginkan dan belajar mengikuti apa yang mereka ingin.
Tentu yang paling kena imbas adalah arus lalu lintas. Berkurang sudah jumlah pelajar yang buru-buru datang ke sekolah, tak lagi berebut untuk naik angkutan, dan pagi pasti akan lebih longgar. Yang ada hanya pekerja, pegawai, dan penjual sayur. Motor juga akan berkurang karena tak ada kebutuhan untuk melakukan perjalanan ke sekolah. Lebih menyenangkan lagi tak ada wisata sekolah yang biasanya dipenuh oleh bus-bus raksasa yang membikin macet jalanan. Berkurang polusi, berkurang kemacetan, dan berkurang pengeluaran.
Lalu anak-anak akan jadi seperti apa? Mereka akan belajar sesuai kebutuhan mereka. Pelajaran yang penting adalah bagaimana berteman yang menyenangkan, bagaimana memperbanyak teman, dan bagaimana bekerja sama dengan teman. Mereka akan peduli atas soal sekitar mereka, bukan pelajaran yang kadang tak seperti yang mereka harapkan. Mereka bahkan bisa peduli pada soal-soal besar jika itu menyangkut masa depan mereka. Ingin tahu contohnya?
Greta Thunberg, anak Swedia usia 15 tahun, yang protes pada pemerintah karena kebijakanya tak selaras dengan Kesepakatan Paris 2015. Dia tolak sekolah karena buat apa belajar jika isi buku pelajaran tak bisa diamalkan dalam kenyataan. Ia ajak orang tuanya yang penyanyi opera untuk tidak naik pesawat karena pesawat penyumbang emisi karbon. Ia kecewa pada sekolah yang menyatakan sesuatu tapi tak mengerjakannya. Greta memilih belajar dengan organisasi lingkungan. Hasilnya?
Ia mengilhami 1,6 juta siswa di lebih 300 kota penjuru dunia untuk bicara lingkungan. Gerakan protesnya yang dikenal sebagai ‘Jumat untuk Masa Depan’, membawanya untuk diundang ke Konfrensi PBB untuk ceramah mengenai perubahan iklim. Greta diundang pula menjadi pembicara di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Kini keluarganya jadi rumah pendidikan baginya. Ayahnya seorang aktor menjadi vegeterian, rumahnya dipasang panel surya, dan menanam sayur di halaman mereka sendiri. Greta, konon akan menjadi kandidat penerima Nobel tahun ini.
Greta kecewa dengan situasi dan kecewa dengan sekolahnya. Ia protes sendiri, soal lingkungan jadi masalah pribadinya, dan ia putuskan untuk melawan dengan caranya. Anak Swedia yang radikal ini tumbuh dengan proses belajar mandiri, didukung oleh orang tuanya, dan memulai perubahan dari rumahnya sendiri. Ia menjadi pertanda dunia bahwa sekolah sesungguhnya tak memberi banyak pelajaran. Keresahan dirinya yang didukung oleh orang terdekatnya menjadikan Greta tumbuh sehat, produktif, dan radikal!
Setujukah anda dengan pembubaran sekolah?(*)