“Kaum muda dibuat gila oleh Alam seperti orang mabuk oleh anggur” -Aristoteles
“Andai saja tak ada usia antara sepuluh dan dua puluh tiga, atau kaum muda tidur masa itu: karena di antara kedua usia itu kerja remaja hanya menghamili gadis, membantah orang tua, mencuri, berkelahi” -William Shakespeare
Rusuh di Jakarta menyisakan pertanyaan pedih tentang anak muda. Hampir pelaku aksi yang menyumpahi polisi, hingga korban terjangan peluru adalah anak muda. Mereka yang masih berusia sekolah dan berada di bawah tanggung jawab orang tua. Lewat pemberitaan media tampaknya orang tua meyakini anaknya ikut demonstrasi hanya karena ajakan temannya. Sebagian malah belum punya hak berpolitik untuk memilih. Kesimpulan sementara anak-anak ini dibujuk, diprovokasi, dan terpapar oleh kampanye politik yang kian brutal.
Anak-anak muda ini masih berusia sekolah. Seharusnya mereka habiskan waktu untuk belajar, mencintai pengetahuan, dan menikmati organisasi. Pilihan mereka malam itu adalah aksi ke Kantor Bawaslu dan ikut memprotes hasil pemilu.
Sebelumnya di antara mereka ada yang begitu membenci Jokowi. Sehingga ingin memenggal lehernya segala. Polisi meringkusnya dan di penjara ia merasa bersalah. Anak-anak muda yang mempercayai bahwa berpolitik itu mirip dengan berkelahi. Persiapannya hanya emosi dan ungkapannya adalah memusuhi.
Anak-anak muda yang hidup dengan bekal utama media sosial. Di sana tumpahan informasi gelap, terang, dan sesat berbaur. Mereka berkumpul dalam komplotan WA grup yang punya keyakinan sejenis, menaruh minat pada soal yang sama, dan membenci hal secara bersama. Ikatan kolektif itu meleburkan kepribadian mereka sehingga lebih mudah untuk memobilisasi mereka ketimbang meminta pandangan satu per satu di antara mereka. Pada suasana seperti itulah keberanian jadi mahkota dan menyatakan apa saja dengan kebencian bisa membuatnya jadi idola.
Anak-anak muda ini dikelilingi oleh suasana hidup yang kompetitif. Sistem sosial yang bertumpu pada penghambaan mereka yang tak punya pada yang memiliki segalanya. Dalam kehidupan yang dikelilingi oleh perkara kesenjangan sosial, maka anak-anak muda tak punya banyak pilihan. Berada di sekolah dengan kultur yang selalu menaruh curiga pada yang punya pandangan berbeda dan meremehkan mereka yang tak memiliki kemampuan akademik yang tinggi. Rasa kepercayaan diri anak-anak muda bisa tumbuh hanya dalam moralitas kawanan. Mereka dikenal dalam kelompok dan diperantarai oleh kelompok.
Politik lalu melihat mereka sebagai pasar potensial. Sebagai pemilih pemula yang jumlanya luar biasa banyaknya. Ditanamkan kesetiaan pada partai dan tokoh partai. Diikat kesetiaannya pada dogma dan doktrin yang diucapkan oleh petinggi partai. Kemudian dilibatkan dalam arus massa untuk mendukung tokoh partai. Tak disentuh dengan pendidikan politik yang kritis serta tak diberi wawasan yang cukup mengenai demokrasi. Bagi elite, anak-anak muda ini adalah pasukan luar biasa. Bisa berperan ganda; sebagai pendulang suara sekaligus pendukung aktivitas partai.
Di tengah gejolak kompetisi politik yang memanas, maka anak muda jadi tergiur untuk terlibat. Bagi mereka mungkin politik menyajikan apa yang tak ada di sekolah: penghargaan, persaudaraan, dan ikatan sesama teman. Bukan partai politik yang melakukan itu, tapi rasa perkawanan di antara mereka yang terbentuk ketika ikut dalam aksi. Bisa jadi mereka tak ada urusan dengan kandidat yang berlaga, tapi mereka punya kepentingan untuk terlibat aksi bersama teman yang seusia. Karena memang begitulah ciri anak muda.
Mereka butuh aktualisasi dan tantangan. Anak-anak muda ini memang memerlukan petualangan. Mereka memburu kebaruan. Bagi mereka, resiko itu sesuatu yang menantang dan pantas ditaklukkan. Resiko itu kalau perlu dijemput. Maka sebenarnya normal saja jika remaja itu nekat, sedikit brutal, dan kadang kala tanpa perhitungan. Terdapat landasan ilmiah untuk menyimpulkan hal semacam ini. Pada sejumlah riset yang dirintis untuk melihat otak anak-anak remaja, membuktikan bahwa otak anak remaja memang belum selesai tumbuh! Wajar kalau kemudian mereka bertindak bodoh dan konyol. Tapi riset ini kemudian dibantah!
Bukan otaknya yang belum sempurna, tapi tantangannya yang membuat mereka terlibat segalanya. Hal-hal yang memicu adrenalin pasti digemari oleh remaja. Maka remaja selalu tertantang untuk melakukan tindakan beresiko: terutama ketika resiko itu memberikan imbalan yang mereka inginkan. Laurence Steinberg, psikolog perkembangan melihat hal itu dengan menguji coba mengemudi dalam sebuah test video. Ketika situasi mengemudi tenang maka remaja ‘tenang’ secara emosional, tapi ketika ditambahkan unsur yang penting, situasinya jadi berubah. Misalnya unsur teman. Ini yang bisa menjelaskan kenapa bersama kerumunan mereka tampak nekat dan berani melawan resiko.
Kebaruan, kegairahan, dan teman sebaya itulah yang tampak pada aksi menolak hasil pemilu. Bukan perkara politik yang diributkan, tapi momentum aksi itu mempertemukan ketiga unsur tersebut. Jika demikian, apa tindakan menangkap dan menghukum adalah pelajaran baik bagi mereka? Mungkin baik untuk pertimbangan stabilitas, tapi sebenarnya tidak mendidik untuk masa depan. Sebab hukuman penjara akan mempertemukan mereka dengan kriminal yang lebih punya kemampuan mempengaruhi, mengajari, bahkan meningkatkan unsur pemberontakan dalam diri mereka. Hukuman terbaiknya sesuai dengan ciri perkembangan mereka.
Bawa anak-anak muda ini ke lingkungan yang berbeda. Lingkungan yang membuat mereka lebih toleran, lebih memahami hal yang berbeda, dan tertantang untuk terlibat berbagai program kemanusiaan. Tak mudah pastinya, tapi baiknya diuji coba karena kita selama ini hanya percaya akan ‘hukuman’ yang bisa buat jera. Terbukti di banyak tempat, hukuman bukan solusi terbaik dalam menangani soal-soal yang berkait dengan ketidakpuasan atau pemberontakan atas tatanan yang dianggap tak adil. Mereka ikut aksi mungkin karena ajakan teman atau bisa jadi paparan informasi yang tak benar. Menghukumnya, apalagi memukulinya akan memberi pelajaran mereka di masa depan.
Kalau sebuah rezim yang kehabisan legitimasi hanya bertahan karena rasa takut warganya. Dan bisa jadi anak muda berusaha untuk mengguncang pandangan ini dan itu mungkin bisa benar atau bisa juga keliru. Tapi yang penting pahamilah bahwa mereka ‘cuma’ anak muda. Yang pernah jadi anak muda pasti tahu betapa menariknya masa itu dan kita semua pasti melewatinya dengan ‘keliru, kacau, dan melakukan hal yang kadang mustahil’ begitu saja. Maka sekali lagi jangan buat anak muda menjadi pemberontak yang sebenarnya.(*)